Minggu, 20 Desember 2015

GOOSEBUMPS [2015]

Pertama kali mengenal karya R.L. Stine ini lewat adaptasi serial tv yang juga ditayangkan di salah satu stasiun tv di negeri ini. Jika saya mencoba untuk mengingat-ingatnya lagi, saya lupa tahun berapa. Hanya saja seingat saya, pemutarannya di waktu sore. Dengan keberadaan serial tv “Goosebumps” itu, sore saya menjadi waktu paling menyenangkan sepanjang hari. Hingga kini, sebagian besarnya telah lupa episode apa saja yang pernah saya tonton. Di antara semuanya, mungkin episode “The Haunted Mask” adalah yang paling membekas dalam pikiran. Masuk akal saja, sebab episode satu itu terus berkelanjutan sampai beberapa episode berikutnya.

Dalam adaptasi pertama ke dalam film ini, “Goosebumps” menggunakan cerita biografi-fiksi tentang R.L. Stine yang diperankan oleh Jack Black. Seperti halnya dalam kehidupan nyata, R.L. Stine di sini seorang penulis novel horror--hidupnya nomaden. Adalah tetangga barunya, Zach (Dylan Minnette) menemukan fakta bahwa R.L. Stine sering bermasalah dengan dengan anak semata wayangnya, Hannah (Odeya Rush). Sebelumnya, Zach sempat berkenalan dengan Hannah meski mendapat pertentangan dari ayahnya, Stine. Suatu ketika, ketidaktahanan Zach melihat Hannah yang dikasari ayahnya, membuat ia dan teman barunya, Champ (Ryan Lee), secara tidak sengaja membuka buku misterius dan melepaskan Snowman dari dalamnya.

Cukup mengejutkan bagi saya adalah bahwa “Goosebumps” dibuat dengan pacing yang terbilang cepat. Tidak butuh waktu lama bagi penonton untuk memulai keseruan berpetualang bersama para karakter utama dan hantu (atau monster lebih tepatnya). Pengenalan para karakter seperti Zach, Hannah, dan Champ terbilang singkat tapi sanggup dikemas padat sehingga tidak perlu penggalian lebih mendalam, karakter tersebut menjadi likable. Berbeda dengan Zach dan Hannah yang diset dalam mode ‘normal’, Champ adalah karakter komikal yang menjadi pusat kelucuan di sini. Yahh, secara total film ini cukup menghibur saya dengan segala candaannya dan tidak terasa garing. 

“Goosebumps” disutradarai oleh Rob Letterman. Sekitar 5 tahun yang lalu ia menyutradarai “Gulliver’s Travels” yang juga dibintangi oleh Jack Black di posisi leading role. Sayangnya, dalam film ini, pesona Jack Black sebagai seorang komedian harus tenggelam dari karakter lain; Champ dan Zach. Tidak banyak melontarkan guyonan, Jack Black bermain dengan standard dan cenderung normal-normal saja. Untunglah, perannya sebagai ayah yang over-protective itu tidak menjadi menyebalkan. Naskahnya mengharapkan ia dibuat sebagai sosok penulis yang sociopath, tapi kembali lagi hasilnya tidak sesuai dengan rancangan. Ia terlalu normal untuk karakter yang seharusnya jauh dari normal.

Naskah “Goosebumps” ditulis oleh Darren Lemke. Secara keseluruhan, plotnya memiliki formula yang sangat sederhana sekali; misi mengembalikan hantu (monster) kembali ke dalam buku. Seperti misi-misi sederhana dalam film-film di kelas serupa, film ini akan banyak melibatkan chase scene. Snowman, Werewolf, The Giant Mantis, Living Gnomes, hingga Slappy The Dummy adalah daftar para monster yang meramaikan film ini. Semua dibuat dengan gaya cartoonish. Saya sempat iseng memerhatikan posternya. Jelas sekali terpampang Jack-o’-Lantern di sana. Yang menjadi pertanyaan saya adalah, ke mana perginya Jack-o’-Lantern ?. Mungkin saja ia menjadi karakter minor di sini, berbeda dengan yang saya sebutkan sebelumnya. Namun mengingat penampakannya di poster dalam ukuran yang cukup besar, semestinya Jack-o’-Lantern punya andil lebih di sini.

Selama menonton “Goosebumps”, perhatian saya terpaku pada bagian third act. Rob Letterman sengaja menjadikan third act tersebut sebagai bentuk pemuas hasrat bagi para pecinta horror atau mungkin saja bagi fans berat R.L. Stine berikut dengan karya-karyanya. Entah apa yang ada dalam benak penulis naskahnya, third act tersebut terlihat seperti bentuk daur ulang dari “The Cabin in The Woods” (2012); lengkap dengan badut psikopat yang juga mirip dengan yang ada di “Cabin”. Setidaknya ada tiga buku dari R.L. Stine yang ia perkenalkan karakter “Murder The Clown” di dalamnya. Badut itulah yang muncul dalam “Goosebumps” ini. Tidak tahu mengapa, badut tersebut lebih mirip dengan “Pennywise The Dancing Clown” yang ada dalam novel “It” karya Stephen King. Nah, kemudian saya berpikir lagi; di sini siapa yang ‘meniru’ siapa ?. 

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat berkunjung ke rumah teman yang mengoleksi cukup banyak novel-novel karya R.L. Stine. Pastinya, ia penggemar berat. Dalam rak bukunya, tertata rapi novel R.L. Stine selain manga Detective Conan. Dari seluruh karya Stine, baru satu buku yang sudah saya baca. Judulnya “Broken Hearts”. Ketika menulis ulasan ini, saya jadi teringat masa SMP dimana saya gemar membaca novel seram karya Nazaruddin. Waktu itu, novel tersebut menjadi idaman teman-teman sebaya karena unsur menyeramkannya yang banyak diangkat dari pesona mistis lokal. “Goosebumps” mungkin belum menggaet saya sepenuhnya. Tapi bagi para pecinta novelnya, film ini adalah bentuk ‘layanan kepuasan’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AYO KITA DISKUSIKAN !