Senin, 30 November 2015

THE LITTLE HOUSE [2014]


Pada hakikatnya, sebuah rumah memberikan kenangan tersendiri bagi si empunya. Baik itu kenangan manis maupun pahit, semua tercampur menjadi satu menghiasi tembok dan langit-langitnya lalu menciptakan harmonisasi yang indah. Lebih lanjut lagi, esensi sebuah rumah tidak sekedar melindungi si pemilik dari panas maupun dinginnya cuaca atau hujan serta badai saja. Melainkan sudah lebih dalam lagi ketika rumah juga mengayomi dan memberikan ketenangan serta kehangatan bagi si pemiliknya. Seperti itulah kira-kira apa yang tergambar dalam “The Little House” yang disutradarai Yoji Yamada (The Twilight Samurai, 2002).

Senin, 23 November 2015

TU DORS NICOLE [2014]

Tidak perlu mencarinya jauh-jauh, bila terkadang kebahagiaan itu muncul dari hal-hal sederhana yang ada di sekitar. Namun seringkalinya seseorang belum menyadari itu bahkan memilih pelarian terjauh demi mendapatkannya. Stéphane LaFleur menuturkan keadaan tersebut pada film arthouse hitam-putihnya dengan terjemahan judul “Kau Tidur, Nicole”. Stéphane Lafleur menggunakan salah satu tema yang kerap kali dipakai dalam arthouse, yaitu coming-of-age drama. Cukup beralasan bila menggunakannya, karena coming-age-age sendiri sangat dekat pula dengan tema experience yang mengitari kaum muda-mudi, dalam hal ini pencarian kebahagiaan dalam kesederhanaan. So, pengalaman macam apakah yang coba diceritakan oleh LaFleur dengan naskah yang ditulisnya sendiri ini ?  

Sabtu, 21 November 2015

THE NEW GIRLFRIEND [2014]

**FILM SUPER**

Transvestism adalah istilah yang jamak digunakan untuk mendeskripsikan tingkah laku atau cara berpakaian yang sesuai dengan jenis kelamin yang berlainan. Sebagai contoh, seorang pria yang berpakaian layaknya wanita, dan sebaliknya. Timbul pertanyaan dalam diri saya apakah transvestism merupakan bagian dari penyimpangan seksual ataukah semata hanya kecenderungan tampak ingin seperti lawan jenis ?. “The New Girlfriend” karya sutradara François Ozon mengangkat transvestism ke dalamnya, tapi tidak berusaha untuk lebih rinci dalam menjawab rasa penasaran saya tersebut. “The New Girlfriend” lebih pada pencarian jati diri karakternya lewat kejujuran dalam mengikuti apa isi hati. Diangkat dari cerita pendek berjudul sama karya Ruth Rendell, film ini tidak cukup hanya berputar pada lingkup jati diri semata, tapi juga berkaitan dengan penemuan cinta sejati.

Jumat, 20 November 2015

THE GIFT [2015]


“Dendam masa lalu akibat bullying”. Sebuah pernyataan standar untuk mengawali ulasan ini dan menjadi semakin klise ketika tema serupa kembali diangkat ke ranah film. Klise dalam ide bukan berarti akan berakhir menjadi sebuah film yang buruk jika mampu dikemas menjadi sajian yang menarik. Kembali ke tema “pembalasan dendam”, ada 2 macam treatment yang bisa digunakan, pendekatan yang lebih ‘keras’ melibatkan fisik yang dianiaya atau permainan secara psikologis. “The Gift” merupakan debut penyutradaraan dari Joel Edgerton yang menggunakan psikologis dalam menciptakan teror-terornya demi menyiutkan nyali, tanpa perlu memberikan hantaman keras di bagian klimaksnya. Meski tidak banyak bermain dengan siksaan berdarah-darah, nyatanya “The Gift” sanggup menghadirkan kengerian bahkan dari hal yang sifatnya sederhana tanpa ancaman.

TANGERINE [2015]

Film karya sutradara Sean S. Baker ini hampir keseluruhannya diambil dengan menggunakan 3 smartphone iPhone 5s. Berbekal beberapa aplikasi tambahan, maka jadilah film sederhana yang didominasi saturasi warna jingga kekuningan layaknya sebuah jeruk (tangerine). “Tangerine” sederhana dari segi pengemasannya, tapi memiliki kompleksitas cerita dengan kejujuran dari caranya bertutur. Penuh umpatan dan makian, membuat “Tangerine” yang naskahnya ditulis oleh Chris Bergoch dan Sean S. Baker sendiri ini semakin menonjol dari penceritaannya yang tanpa perlu ditutupi dengan kepalsuan. Vulgar dan bebas, tapi tidak membuat risih bagi penontonnya sebab begitu memukau dan menggemaskannya apa yang akan kita lihat dan dengar dalam lika-liku ceritanya.

Rabu, 18 November 2015

GOODNIGHT MOMMY [2014]


Sejak kali pertama membaca sinopsisnya, ada perasaan ngeri yang tervisualisasi dalam pikiran, disusul rasa ingin tahu yang begitu besar untuk menonton film yang berjudul asli “Ich Seh, Ich Seh” ini. Dari luarnya saja, film ini tampak sebagai arthouse bertempo lambat yang merupakan tipikal film kegemaran saya. Dengan suntikan horror-thriller ke dalamnya, “Goodnight Mommy” sudah bagaikan ‘pembunuh’ yang di tahap pertamanya merayu dengan lembut, menarik secara perlahan, dan menusuk sadis di bagian akhir. Rayuan lembut namun mematikan itu bahkan sudah muncul sedari awal ketika sebuah vintage footage Jerman berisikan paduan suara menyanyikan “Brahm’s Lullaby –Good Evening, Good Night”. Kontennya sederhana memang, tapi kesan creepy itu begitu kuat terpancar dari footage yang sudah dipenuhi bercak hitam itu.

Senin, 16 November 2015

MR. HOLMES [2015]

Sudah tidak terhitung berapa kali adaptasi dari detektif paling ikonik asal Inggris ini. Tidak hanya lewat film maupun serial tv, nama besarnya juga sering digaungkan dalam serial animasi. Masih segar dalam ingatan, ketika nama “Sherlock Holmes” mulai masuk perbendaharaan kata saya melalui serial “Detective Conan”, khususnya pada salah satu versi filmnya yang berjudul “The Phantom of Baker Street” (2002). Sejak saat itu, detektif yang dikenal dengan image bertopi pemburu dan menghisap pipa rokok ini mulai melekat cukup kuat dalam pikiran saya. Apalagi yang cukup fenomenal ketika dibawakan oleh Robert Downey Jr. meskipun saya akui pembawaannya sedikit lebih ‘ringan’. “Mr. Holmes” karya sutradara Bill Condon ini tidak menggunakan dasar cerita utama ketika Sherlock Holmes masih aktif menjadi detektif, tapi sebaliknya ketika ia sudah pensiun dan menginjak usia 93 tahun dalam keterasingan.