Minggu, 26 Juni 2016

EYE IN THE SKY [2016]


Entah di suatu tempat di mana, saya sering mendengar istilah penyelamatan dengan mengorbankan puluhan, demi menyelamatkan ribuan. Seminimal mungkin mengambil risiko, agar hasil yang didapatkan jauh lebih banyak lagi. Namun yang menjadi dilema adalah apakah hal ini patut disebut misi penyelamatan? Toh pada akhirnya tetaplah masih jatuh korban. “Eye in The Sky” memiliki premis tersebut.

Film ini disutradarai oleh Gavin Hood; orang yang memperkenalkan kepada kita “X-Men Origins : Wolverine” (2009) dan “Ender’s Game” (2013). Sedikit menyinggung karya sebelumnya, saya masih bisa mentolerir “X-Men Origins,”—tidak cukup bagus tapi lumayan jadi hiburan. “Ender’s Game?” Saya tidak sanggup untuk melanjutkannya sampai akhir. 

Lewat naskah dari Guy Hibbert, Gavin Hood ternyata cukup mengejutkan lewat karya terbarunya ini. “Eye in The Sky” adalah drama – thriller yang tidak hanya menegangkan dari pembangunan atmosfirnya, tetapi juga menyisakan tanya soal definisi “penyelamatan.” Premis film ini tidak baru bagi saya. Tapi Gavin Hood membawakannya dengan penuh energi sehingga terasa menyegarkan.

“Eye in The Sky” adalah pertarungan antara kuasa & politik melawan ketidakberdayaan. Dalam upayanya memberikan keamanaan, negara-negara raksasa berusaha keras menjaga hal tersebut. Akan tetapi, apakah hal itu benar didasari rasa kemanusiaan atau sekedar nafsu mengagungkan kekuasaan? 

Film ini penuh dengan karakter abu-abu. Saya sangat suka dengan film berisi karakter semacam ini. Di sini kita akan bertemu dengan Kolonel Katherine Powell (Helen Mirren); ia mengumumkan misi untuk penangkapan kelompok teroris bernama Al Shabaab. Markasnya berada di Nairobi, Kenya. 

Dalam misi tersebut, Kol. Powell dibantu oleh banyak pihak, terutama dari Amerika Serikat. Dengan alat-alat canggih seperti drone warfare, mereka melacak posisi dari teroris yang ditarget. Adalah pilot Steve Watts (Aaron Paul) yang kebagian mengendalikan reaper drone dengan jarak 6 km dari darat. Untuk lebih menyasar target, agen Kenya, Jama Farah (Barkhad Abdi) turun lapangan—wow, senang rasanya bisa melihat kembali Barkhad Abdi beraksi.

Target sudah didapat. Kol. Powell butuh 6 tahun lamanya mencari tahu keberadaannya. Pastinya ini adalah kesempatan emas. Steve Watts dengan asisten Carrie Gershon (Phoebe Fox) tinggal menunggu perintah untuk menembak. Tak diduga dan tak dinyana, seorang gadis kecil tengah berjualan roti di samping markas target. Sisi manusiawi Steve dan Carrie tergugah di sini. Ragu menembak, di saat itu pula sang kolonel telah menurunkan perintah.

“Eye in The Sky” sebenarnya sudah dapat dibaca pergerakannya. Film ini bermain dalam drama di mana tujuan besar tengah bertarung dengan sisi lunak dari manusia. Akankah karakter Steve ini mengikuti perintah atasannya, ataukah ia memilih sebaliknya. Penciptaan karakter gadis kecil nan lugu ini tentunya sangat efektif dalam alur. Dari awal diceritakan ia adalah korban dari lingkungan ekstremis, membuat penonton mudah bersimpati kepadanya.
Mungkin filmnya terlihat sederhana dengan plot yang lurus tanpa tanjakan. Tapi naskah tulisan Guy Hibbert menyajikan drama dengan penuh lika-liku berkenaan kemanusiaan. Tidak ada karakter yang benar-benar hitam atau putih di sini. Semuanya memiliki tujuan sama demi menciptakan perdamaian. Dengan memberikan ‘hati’ yang kuat di konfliknya, membuat “Eye in The Sky” bukan sekedar film penangkapan teroris asal mengumbar aksi.

Di luar plotnya yang mudah untuk dicerna, saya menggaris bawahi soal teknologi perang dalam film ini. Mungkin untuk saat ini, drone warfare dengan tipe burung atau kumbang terlalu kelewat canggih. Tidak dipungkiri bila kelak negara-negara raksasa seperti Amerika Serikat atau Inggris akan memilikinya. Kekhawatiran saya adalah makin terciptanya kesenjangan antara negara-negara di belahan dunia ini semakin terasa. Yang kuat semakin kuat, yang lemah semakin tertindas.

Kekhawatiran saya sangat beralasan sekali. Melihat kecanggihan drone warfare yang dapat menguasai medan hingga celah terkecil pun, bukan tidak mungkin para negara raksasa menghalalkan segala cara atas nama perdamaian. Dengan kata lain, kengerian dalam “Eye in The Sky” bisa saja terjadi suatu saat nanti. Semoga saja tidak!    

1 komentar:

  1. karakter Steve disini juga pada akhirnya masuk ke ranah abu2. tembakan kedua seharusnya bisa ia tunda beberapa menit, karna sang target sudah dalam kondisi terjepit dan gak mungkin bisa melakukan perlawanan.. tpi steve tnpa pikir panjang langsung mengikuti perintah atasan, yg membuat saya yg awalny menyukai karakter steve ini, langsung muncul tnda tanya untk menyukainya

    BalasHapus

AYO KITA DISKUSIKAN !