Tidak perlu menaikkan
ekspektasi yang tinggi pada film arahan Nima Nourizadeh ini. Anda pastinya juga
tahu hal itu hanya dari penampakan luarnya saja. Tapi paling tidak ada harapan
filmnya bisa memberikan hiburan yang ringan dan menyenangkan lengkap dengan
aksi full throttle seperti yang sudah
terlihat dalam posternya. Dari situ pula dapat ditangkap bila “American Ultra”
pastilah banyak mengandung komedi di dalamnya sebagai penyeimbang aksi
tembak-tembakan dan ledakan yang akan muncul di dalamnya. Namun adakalanya pula
bila film ringan semacam itu justru gagal menghibur dan ujungnya adalah
meninggalkan rasa bosan tingkat akut. Pertanyaannya adalah apakah “American
Ultra” ini masuk dalam kategori film yang saya sebutkan di atas ?. Sebelum
membaca ulasan ini lebih jauh, saya percaya bahwa Anda sudah dapat
mengira-ngira jawaban apa yang akan saya sematkan di akhir.
“American Ultra” adalah
kolaborasi kedua dari Jesse Eisenberg dengan Kristen Stewart. Keduanya
memerankan pasangan kekasih yang saling mencintai dan melengkapi satu sama
lain. Jesse Eisenberg berperan sebagai Mike, seorang pecandu sekaligus kasir
minimarket yang menikmati hari-harinya dengan begitu monoton selain ketika sedang
berduaan dengan kekasihnya, Phoebe (Stewart). Suatu ketika, datanglah seorang
agen CIA bernama Victoria Lasseter (Connie Britton), yang memperingatkan Mike
akan bahaya yang datang dari saingannya, Adrian yates (Topher Grace) untuk
memusnahkannya. Sebab ditengarai bahwa Mike merupakan hasil eksperimen dari
projek bernama “Ultra”.
Pengenalan awal dari dua
karakter utama di sini sebenarnya saya rasa cukup menarik. Dua pasangan ‘tidak
biasa’ yang bisa dikatakan ‘bermasalah’, terutama dari kebiasaan mereka berdua
yang suka menghisap ganja, cukup mempertahankan atensi saya dalam menontonnya.
Beberapa lelucon terselip di antaranya dan cukup memancing tawa meski dalam
dosis yang tidaklah banyak. Chemistry
antara Mike dan Phoebe sebagai pasangan kekasih di bagian awalnya boleh
dikatakan terbangun dengan baik. Atau mungkin bisa dibilang terlalu ‘sempurna’
bila ada pasangan yang saling mencintai tanpa cela selain hanya di negeri
dongeng. Namun harus saya katakan bahwa chemistry
itu mulai luntur di pertengahan bahkan hingga di bagian akhir. Tentunya dengan
lunturnya chemistry itu, rasa
kepedulian saya pada karakter semakin berkurang dan itu juga dipengaruhi oleh
tidak konsistennya Nima Nourizadeh dalam membentuk Mike dan Phoebe yang mulai
terasa berat sebelah.
Tidak bertahan lama bahwa
bagian awal perkenalan yang cukup menarik itu berakhir menjadi menjemukan dan
cenderung membuat saya ingin men-skip
tiap adegannya. Build-up yang
intensitas awalnya terjaga cukup baik itu mulai bertele-tele dan terlalu
panjang dalam menuturkan. Bahkan butuh durasi hingga lebih dari 50 menit untuk
membicarakan omong-kosong di saat filmnya sendiri berjalan kurang dari 2 jam.
Rasa penasaran dan bertanya-tanya tentu saja bermunculan dalam pikiran saya.
Namun rasa penasaran itu bukan berasal dari keingintahuan besar tentang apa
yang coba diceritakan oleh naskah dari Max Landis, melainkan pertanyaan kapan
berakhirnya narasi yang berputar-putar di paruh awal tersebut. Dengan kelemahan
besar yang bahkan telah muncul di bagian awal itu, tidak ada lagi yang
diharapkan selain sekuen aksinya yang diharapkan mampu menghibur. Pada
akhirnya, menghiburkah ?.
Saya cukup mengapresiasi bila
Nima Nourizadeh tidak hanya menghadirkan aksi seru tembak-tembakan dan ledakan
saja di sini, melainkan juga pertarungan tangan kosong berbalutkan gore yang tidak lain merupakan favorit
saya. Mike adalah karakter yang mendapat jatah di sektor itu. Sebagai manusia
hasil eksperimen yang memiliki kekuatan di atas manusia rata-rata, Mike tidak
sekedar kuat secara fisik, melainkan juga intelejensi. Dalam keadaan terjepit,
ia diceritakan mampu menggunakan benda-benda tidak lazim sebagai senjata, sebut
saja panci. Hal itu merupakan bagian dari intelejensi yang dimiliki oleh Mike.
Namun amat sangat disayangkan, porsi untuk adegan aksi yang ada begitu minim
dan seolah-olah Nourizadeh tergesa-gesa demi mengejar durasi film. Antagonis
sebagai lawan tanding juga tampak ‘miskin’ dalam kuantitas, bila melihat
potensi yang dimiliki oleh karakter Mike ini sebagai sosok tough. Terasa sangat hambar, kurang menggigit, dan lebih didominasi
‘petak umpet’ ketimbang aksi man to man.
Maka jelaslah bila di bagian aksi tersebut sangatlah jauh dari menghibur.
Bagian yang paling menyebalkan
dari “American Ultra” adalah tidak konsistennya antara apa yang kita lihat
dalam film dengan teaser poster yang
telah beredar beberapa bulan lalu. Seperti yang telah saya tulis sebelumnya,
karakter Mike dan Phoebe terlihat berat sebelah bila melihat dalam teaser poster, keduanya tampak berimbang
dengan aksi yang diemban. Kenyataannya berkata lain, Mike memang tampil
perkasa, namun di sisi lain Phoebe justru tampak sebagai karakter yang
menderita sebagai sandera dan tidak mampu unjuk gigi. Hal itupun ditunjukkan
hampir di seluruh bagian film. Lemah di sisi aksi berikut pula karakter, makin
menambah ‘kekacauan’ ketika film ini dieksekusi dengan begitu buruknya. Maka
terbukti sudah bila ‘American Ultra” gagal menjadi guilty pleasure yang menghibur dengan
segala lubang menganga di sepanjang filmnya. Harapan besar aksi bombastis dan
gila-gilaan lengkap dengan komedinya walaupun dikemas brainless, telah hancur sudah.
4 / 10
This movie is good. You expect too much.
BalasHapusBulshit, opini mu tidak berguna bung
BalasHapus