Penyelenggaraan
Academy Awards (Oscar) ke 88 masih sekitar satu bulan lagi. Tapi sebagian besar
dari Anda pasti sudah tidak sabar lagi untuk menyaksikan siapa yang keluar
sebagai pemenang dari tiap kategorinya. Begitu pun juga saya hingga membuahkan coretan
sederhana tentang prediksi pemenangnya ini.
Senin, 25 Januari 2016
Minggu, 24 Januari 2016
THE REVENANT [2015]
Setelah Anda menonton “The Revenant,” bisa Anda
simpulkan jika ini adalah film survival –
revenge. Kenyataannya “The Revenant” bukanlah sekedar film mainstream dengan konsep semacam itu.
Ada nama Alejandro G. Iñárritu di kursi
sutradara. Ia lah yang mengajak kita berpetualang dalam konflik beruntun antar
negara dengan plot unik dalam “Babel” (2006). “Birdman” (2014) ? Tidak perlu
saya jelaskan penghargaan apa yang didapat lewat film tersebut. Dengan nama
besarnya itu, sudah lebih dari cukup sebagai alasan menilai positiv film yang
diangkat dari novel berjudul sama karya Michael Punke ini.
Jumat, 22 Januari 2016
ROOM [2015]
Satu
jam pertama dari “Room” akan membuatnya terlihat seperti drama kriminal
kebanyakan. Mungkin Anda sendiri bahkan menemukan alurnya similar dengan kisah nyata yang tragis. Tapi “Room” adalah fiksi. Diangkat
dari novel berjudul sama karya Emma Donoghue (sekaligus penulis naskah di sini)
dan diarahkan oleh Lenny Abrahamson, “Room” adalah drama though-provoking tentang “apakah yang sesungguhnya kita butuhkan
untuk menjadi seseorang ?”
Kamis, 21 Januari 2016
STEVE JOBS [2015]
Selama
menonton “Steve Jobs,” saya menyadari tengah menonton biopic seorang revolusioner di era modern ini. Steve Jobs—image-nya
tidak bisa lepas dari Apple, Pixar, dan aneka produk mutakhir yang melebihi
masanya. Sembari menyaksikan biopic
Steve Jobs ini; seperti kebiasaan, saya membuat catatan kecil ulasan di Ms.
Word dalam Windows 7. Saya tertawa.
Selasa, 19 Januari 2016
SPOTLIGHT [2015]
Pada 6 Januari 2002, publik digemparkan dengan headline dari Koran Boston Globe yang bertuliskan “Church allowed
abuse by priest for years.” Berita tersebut ditulis oleh Michael Rezendez,
salah satu anggota Tim Spotlight dari The Boston Globe. Pada saat itu, berita
tersebut menjadi salah satu yang paling hangat diperbincangkan setelah insiden
9/11. Terhitung sejak hari itu, korban dari pelecehan seksual oleh para pendeta
kemudian memberanikan diri membuka suara. Kasus hebat itulah yang menjadi
materi pokok dalam film yang diarahkan dan ditulis oleh Tom McCarthy serta John
Singer.
Minggu, 17 Januari 2016
CAROL [2015]
Selama
dua hari ini saya menonton period drama
secara berurutan. Setelah kemarin ada “Brooklyn,” kini ada “Carol”. Menariknya,
kedua film ini sama-sama bersettingkan tahun 1952. Tidak kalah mengejutkannya,
John Crowley (sutradara “Brooklyn”) awalnya direncanakan untuk menyutradai film
yang dibintangi Cate Blanchett dan Rooney Mara ini. “Carol” diangkat dari novel
berjudul “The Price of Salt” karya Patricia Highsmith, kemudian diadaptasi
dalam naskah oleh Phyllis Nagy. Jika Anda pernah menonton film noir klasik
tentang swap murders tahun 1951, Patricia
Highsmith lah penulis novelnya.
Jumat, 15 Januari 2016
BROOKLYN [2015]
Eilis
Lacey, seorang gadis muda nan canggung asal Enniscorthy, Irlandia, menghabiskan
waktunya bekerja di toko kecil milik Nn. Kelly (Brid Brennan). Diperankan oleh
Saoirse Ronan, Eilis adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakaknya, Rose
(Fiona Glascott) sangat menyayanginya. Mereka tinggal bertiga bersama sang ibu.
Sejak lama, Eilis berkeinginan bekerja di pembukuan seperti layaknya Rose.
Bukti rasa sayang Rose yang begitu besar, ia mengurus segala keperluan Eilis
menuju Brooklyn, New York. Rose berharap Eilis memiliki pekerjaan bagus dan
masa depan cerah di sana. Jelas sudah, “Brooklyn” bercerita tentang American Dream.
45 YEARS [2015]
Menyebut “45 Years” atau “Amour” (2012) mungkin lebih tepat dengan
sebutan “romansa senior”. Atau mungkin “pernikahan senior” ? Salah satunya bisa
dipilih. “45 Years” bercerita tentang pasangan yang telah menikah sesuai dengan
judulnya; menikmati hari-hari dengan bahagia. Apa lagi yang ingin dicari ?,
selain kedamaian dan ketenangan berdua akan arti dari ‘pernikahan emas’. Pada
mereka-mereka yang telah menyentuh usia pernikahan hampir setengah abad,
pastinya aneka badai sudah pernah diterjang. Artinya pendewasaan dalam
menghadapi segala masalah dalam pernikahan dapat diselesaikan dengan ‘dingin’. Singkat
kata, pernikahan semacam ini dapat dikatakan bakal awet tanpa goyah.
Kamis, 14 Januari 2016
THE GOOD DINOSAUR [2015]
Pada
dasarnya “The Good Dinosaur” memiliki premis yang sangat menarik. Menggunakan alternate timeline berupa gagalnya
meteor memusnahkan dinosaurus, ada pertanyaan apa yang akan terjadi ketika
mereka tidak punah. Sayangnya, meski dengan premis menggiurkan, tidak ada
pengembangan cerita yang berarti. Wajar pula bila akhirnya “The Good Dinosaur”
memiliki cerita yang biasa/medioker dengan tema pencarian jati diri. Kenyataannya
memang sudah banyak alur semacam itu yang kita lihat baik dalam live-action maupun animasi.
Selasa, 12 Januari 2016
MEMORIES OF MURDER [2003]
Pecinta film crime-mystery-thriller dengan segala tetek bengeknya seperti : investigasi
berintelejensi tinggi sampai penemuan korban dengan menyisakan teka-teki; maka
“Memories of Murder” adalah rekomendasi yang tepat bagi mereka. Selesai
menonton “Memories of Murder”—reaksi yang hampir sama dengan “Guilty” (2015),
saya hanya bisa diam terpaku dengan cerita brilian yang ditawarkan. Mengejutkannya—seperti
halnya “Guilty”, “Memories of Murder” didasarkan pada insiden nyata yang pernah
menggemparkan Korea Selatan. Disebut dengan “The Hwaseong Serial Murders”,
pembunuhan berantai itu terjadi di Kota Hwaseong, Propinsi Gyeonggi, Korea
Selatan.
Minggu, 10 Januari 2016
SIN CITY [2005]
Didominasi
warna hitam putih. Minim pencahayaan. Semua wanitanya tampil menggoda. Cinta
yang mematikan. Sebagian besarnya merokok, mengeluarkan asapnya dengan pelan
serta penuh kenikmatan. Setingnya malam. Gelap. Ditambah hujan deras. Ada
motivasi seksual di baliknya. Semua adalah deskripsi film noir yang begitu
melekat pada “Sin City”. Saya menyukai visualnya yang indah. Saya menyukai
alurnya yang mungkin telah sering kali diceritakan ulang. Saya menyukai
koreografinya. Saya menyukai dialognya yang keren. Saya menyukai seluruh yang
ada dalam “Sin City”; kecuali pemerintahan korup yang ada dalam Sin City. Sewaktu
menontonnya, saya tidak bisa berkata apa-apa lagi dengan godaan visualnya yang
begitu memesona.
Sabtu, 09 Januari 2016
ABOUT ELLY [2009]
“About
Elly” ditulis dan diarahkan oleh Asghar Farhadi. Namanya mungkin tidak asing
bagi Anda. Ya, benar. Dia adalah sutradara dari “A Separation” (2011); drama
tentang perceraian yang begitu kompleks. Hingga saat ini, baru dua film Asghar
Farhadi inilah yang baru saya tonton. Alhasil, saya tidak bisa untuk melepas
akan kaitan keduanya. “About Elly” adalah drama thought-provoking, begitu juga dengan “A Separation”. Keduanya
menitikberatkan pada pertanyaan-pertanyaan penuh keambiguan antara “benar” atau
“salah” dalam sebuah problematika yang dihadapi. Pastinya tidak di antara kedua
jawaban tersebut. “About Elly” memang memiliki komposisi yang sama dengan film
berbahasa asing terbaik Oscar itu; walau faktanya telah dibuat dua tahun
sebelumnya.
Jumat, 08 Januari 2016
ANONYMOUS [2011]
Beberapa waktu yang lalu, saya
terlibat obrolan hangat dengan sahabat yang cukup lama tidak bertemu. Obrolan
tersebut tidak jauh berkutat pada dunia sinema; serius tapi juga diselingi
dengan tawa. Bukan sepuluh menit atau dua puluh menit saja waktu yang kami
habiskan, tapi nyaris tiga jam sampai tenggelamnya sang surya tidak kami
sadari. Obrolan serta diskusi melelahkan namun mengasyikkan itu berakhir pada
rekomendasi sahabat tentang film berjudul “Anonymous” rilisan tahun 2011. Inti
filmnya adalah tentang pembenaran siapa penulis di balik drama-drama terkenal
seperti “Hamlet”, “Macbeth”, atau “Romeo & Juliet”. “Bukan Shakespeare
penulisnya”, kata dia. “Aku juga pernah nonton film serupa, judulnya
Shakespeare in Love”, saya tambahkan. Ia lantas mewajibkan saya untuk menonton
film arahan Roland Emmerich yang naskahnya ditulis oleh John Orloff itu.
Kamis, 07 Januari 2016
THE HATEFUL EIGHT [2015]
Melanjutkan spaghetti-western terakhir yang dibuat oleh Quentin Tarantino,
“Django Unchained” (2012), kini ia kembali membuat genre yang sama. Memang tidak butuh rentang waktu yang lama ia
kembali ke medan perfilman setelah menghadirkan western yang begitu bagusnya. Ini adalah film kedelapan Quentin
Tarantino sekaligus mewakili judulnya yang mengandung unsur “delapan”. Setelah
menontonnya, Anda juga akan menemukan beberapa kata dalam dialog-dialognya yang
menyenggol angka delapan. Kecintaan Tarantino pada film-film western terbukti membawa senyawa itu
pada “The Hateful Eight” bahkan di beberapa bagian detil sekali pun. Seperti font di opening yang tampak klasik dan khas western (Anda juga akan menemukannya di “Django”). Robert
Richardson, sinematografer rutin
Tarantino khususnya pada tiga film sebelum ini, mengambil gambarnya dengan
aspek rasio 2 : 76 : 1; membuatnya tampak begitu lebar seperti dalam western klasik.
Rabu, 06 Januari 2016
PONYO [2008]
Saya
yakin sepenuhnya bila anak-anak bakal menyukai film arahan Hayao Miyazaki ini.
Kisahnya ringan namun kaya akan fantasi. Sebagai bukti, saya mengajak dua
sepupu untuk menonton “Ponyo”. Umur 6 tahun yang tertua, dan 5 tahun yan lebih
muda. Keduanya adalah saudara kandung. Bagaimana responnya ?. Keduanya sangat
menyukai dan betah berlama-lama menonton “Ponyo”. Tidak ada perasaan bosan atau
sekedar pergi walau sejenak. Inilah unsur magical
dalam setiap film-film animasi yang diarahkan dan ditulis sendiri oleh Hayao
Miyazaki. Unsur magical-nya
memberikan gravita tidak hanya bagi penonton anak-anak, tapi juga penonton
dewasa seperti saya ini contohnya. Sangat mengesankan sekali.
BĀHUBALI : THE BEGINNING [2015]
“Bāhubali
: The Beginning” adalah film kolosal berskala epik dengan banyak sekuen
pertarungan serta peperangan di dalamnya. Tingkat epiknya boleh saja disamakan
dengan Perang Bharatayuda dalam wiracarita Mahabharata yang terkenal itu.
Bahkan ketika menonton “Bāhubali”, saya jadi teringat dengan kisah-kisah menarik
yang dituturkan di dalamnya. “Bāhubali” adalah salah satu dari sekian
film-film India yang diproduksi dengan bujet yang besar. Seimbang dengan pendapatan
yang didapatkan serta ulasan positif yang didapatnya. Dalam beberapa tahun ini
memang terbilang jarang saya menemukan film India dengan tingkatan epik. Namun
kini ada “Bāhubali”
yang bisa dikatakan sebagai pengobat rindu saya pada film-film perang klasik
dari India.
Selasa, 05 Januari 2016
GUILTY [2015]
Selesai
menonton “Guilty”, saya hanya bisa berbaring sembari menarik nafas dalam-dalam
dan mengeluarkannya pelan-pelan. Sesegera mungkin saya mengambil ponsel serta
mencari tahu kebenaran di balik “Noida Double Murder Case” yang menjadi dasar
dari ceritanya. Sudah lama saya tidak menonton film hingga memberikan efek yang
begitu besar pada saya. Kini saya menemukan “Guilty” arahan Meghna Gulzar;
membuat saya terjerat dalam alotnya kasus yang pernah menggemparkan India pada
tahun 2008 itu. Imbasnya adalah tiada hentinya saya memikirkan kasus pembunuhan
yang sangat rumit itu hingga terbawa mimpi. Mungkin saya terlalu berlebihan,
tapi itulah adanya. Hingga saya menulis ulasan ini pun, bayang-bayang kasus rumit
tersebut masih membekas kuat di kepala saya.