Selesai
menonton “Guilty”, saya hanya bisa berbaring sembari menarik nafas dalam-dalam
dan mengeluarkannya pelan-pelan. Sesegera mungkin saya mengambil ponsel serta
mencari tahu kebenaran di balik “Noida Double Murder Case” yang menjadi dasar
dari ceritanya. Sudah lama saya tidak menonton film hingga memberikan efek yang
begitu besar pada saya. Kini saya menemukan “Guilty” arahan Meghna Gulzar;
membuat saya terjerat dalam alotnya kasus yang pernah menggemparkan India pada
tahun 2008 itu. Imbasnya adalah tiada hentinya saya memikirkan kasus pembunuhan
yang sangat rumit itu hingga terbawa mimpi. Mungkin saya terlalu berlebihan,
tapi itulah adanya. Hingga saya menulis ulasan ini pun, bayang-bayang kasus rumit
tersebut masih membekas kuat di kepala saya.
Secara
penuh, “Guilty” mengambil cerita dari kasus pembunuhan ganda yang terjadi di
Noida, India pada tahun 2008. Pada suatu pagi, seorang gadis muda berusia 14
tahun ditemukan tewas di kamar rumahnya. Dia adalah Shruti Tandon (Ayesha
Parveen). Beberapa bukti dari polisi setempat telah didapatkan dan menyatakan
bahwa kedua orangtuanya, Ramesh dan Nutan dinyatakan sebagai pelaku. Tidak
berapa lama, mayat kedua yang tidak lain adalah pembantunya, Khempal, ditemukan
membusuk di rumah yang sama. Polisi setempat menyebutnya “honour killing”;
Khempal diduga memiliki affair dengan
Shruti yang jauh lebih muda. Inspektur Ashwin Kumar (Irrfan Khan) dari CDI
(Central Department of Investigation) mengambil alih kasus dari inspektur lokal
yang dianggap kurang berkompetensi.
Saya
tidak pernah mengira sebelumnya bila konflik dari “Guilty” akan hadir dengan
begitu rumitnya. Sebelumnya saya mendapati bahwa film whodunit ini mencoba untuk mengkritisi kinerja penegak hukum yang
dianggap kurang mumpuni. Dasar-dasar dari investigasi kriminal pun diabaikan
sehingga menghasilkan jawaban yang bisa dibilang terlalu subjektif. Dengan
beberapa alasan yang kurang mendasar, pelaku dalam kasus pembunuhan itu pun
didapat dengan cepat tanpa mempertimbangkan asas-asas yang berlaku. Sebagai
penonton, emosi saya pun ikut terpancing melihat ulah para oknum yang kurang
kredibel dalam penanganan sebuah kasus. Inspektur Dhaniram (Gajraj Rao) adalah
yang bertanggung jawab dalam kasus tersebut. Jelaslah dia bukan hero di sini. Lalu siapa ?.
Ini
dia hero kita di sini, Inspektur
Ashwin Kumar dari CDI. Namanya didasarkan pada inspektur dalam kasus nyata
tersebut, Arun Kumar. Diperankan dengan sangat baik sekali oleh Irrfan Khan,
yang mana mulai cukup banyak film-filmnya yang saya saksikan terhitung sejak
“Life of Pi” (2012). Inspektur Ashwin Kumar adalah sosok yang cermat, kuat, dan
terkadang pula menyelipkan joke
disaat menangani sebuah kasus. Namun di dalamnya, ia adalah sosok yang sangat
rapuh. Di saat memegang kasus pembunuhan ganda ini, Ashwin Kumar tengah dalam
proses perceraiannya yang tanpa solusi seperti dalam “A Separation” (2011) atau
“Gett” (2014).
Tabu
berperan sebagai Reema, istri Ashwin Kumar. Bagi saya, kemunculannya yang hanya
sebagai cameo tidaklah terlalu
dibutuhkan selain hanya berfungsi sebagai plot
device. Jika Anda bertanya mengapa sekuen Ashwin Kumar dan Reema harus ada,
maka Meghna Gulzar lewat naskah Vishal Bardwaj mencoba menampilkan sisi
kerapuhan Ashwin. Dengan melihatnya sekejap, Anda sudah tahu bila sosok hero seperti ini adalah tipikal kuat dan
memiliki banyak pengalaman di bidangnya. Pastinya kasus-kasus besar sebelumnya
sudah pernah diatasi dengan baik. Dan kini, “Noida Double Murder Case” adalah
kasus terbesar sekaligus tersulit yang pernah dipegangnya. Hingga akhir
karirnya kah ?. Pada bagian ini, Ashwin Kumar banyak mengingatkan saya pada
Benjamin Esposito (Ricardo Darín)
dalam “The Secret in Their Eyes” (2009). Keduanya juga memiliki ambisi yang
sama.
Dalam
menyelidiki kasus ini, Inspektur Ashwin Kumar dibantu oleh Inspektur Vedant
(Sohan Shah). Hubungan keduanya bagaikan superhero
dengan side-kick yang saling
melengkapi. Hingga kemudian hubungan mereka mengalami perpecahan dan
masing-masingnya berdiri dalam dua kubu yang saling berlawanan. Melalui dua
karakter ini, “Guilty” juga mengangkat soal rivalitas dalam sebuah instansi
dimana para pelakonnya berdiri dengan ideologinya masing-masing. Saudara saya
menyebut Vedant sebagai karakter “jahat”. Tapi saya sangat tidak setuju. Mereka
berdua abu-abu. Tidak ada istilah “baik” maupun “jahat” dalam penuntasan kasus
di film ini.
‘Guilty”
menggunakan penceritaan bergaya film “Rashomon” (1950) milik Akira Kurosawa.
Saya menyebutnya reverse chronology.
Dalam film ini, gaya penceritaan tersebut digunakan dalam menampilkan secara
kronologis apa yang terjadi pada pagi ketika ditemukannya mayat Shruti. Sudut
pandang yang digunakan pun bermacam-macam, mulai dari Ramesh, Nutan, Inspektur
Dhaniram, hingga pihak CDI. Perbedaan sudut pandang pun mampu membuat penonton
‘tersesat’ akan pemahaman siapa yang benar dan salah dalam kasus ini. Namun
bagi saya, yang paling utama adalah bagaimana film ini memberikan kesan thrilling dalam penghantaran ceritanya.
Serta tidak lupa esensi bahwa keadilan harus ditegakkan setinggi-tingginya
tanpa melalaikan prosedur yang ditetapkan.
Ada
gambar Dewi Justitia dalam poster “Guilty”. Dewi Justitia ini disimbolkan
sebagai keadilan dengan beberapa ciri khasnya yang melekat. Mata tertutup yang
berarti tidak pandang bulu, tangan kiri mengangkat timbangan yang berarti
menjunjung tinggi keadilan, serta pedang di tangan kanan yang bermakna tegas
tanpa memihak. Maka tidak salah bila posisi tangan kiri (timbangan) lebih
tinggi dari tangan kanan (pedang); sebab menimbang keadilan dalam sebuah hukum
sangat diutamakan. Namun semua akan berbanding terbalik bila tangan kanan lebih
tinggi dari tangan kiri; ketegasan diutamakan tanpa melihat adanya keadilan
(hukum). Hal itulah yang coba diangkat ke dalam “Guilty”.
mirip memories of murder
BalasHapus