Pada
dasarnya “The Good Dinosaur” memiliki premis yang sangat menarik. Menggunakan alternate timeline berupa gagalnya
meteor memusnahkan dinosaurus, ada pertanyaan apa yang akan terjadi ketika
mereka tidak punah. Sayangnya, meski dengan premis menggiurkan, tidak ada
pengembangan cerita yang berarti. Wajar pula bila akhirnya “The Good Dinosaur”
memiliki cerita yang biasa/medioker dengan tema pencarian jati diri. Kenyataannya
memang sudah banyak alur semacam itu yang kita lihat baik dalam live-action maupun animasi.
“The
Good Dinosaur” bercerita tentang keluarga dinosaurus dari jenis apatosaurus. Di film ini mereka berwarna
hijau cerah. Jenis ini termasuk dalam keluarga sauropoda; dimana mereka memiliki ciri khas leher panjang, bertubuh
besar, serta herbivora. Jenis lain
dalam keluarga serupa dapat Anda lihat pada brontosaurus,
brachiosaurus, diplodocus, dan masih banyak lainnya. Sebenarnya saya adalah
pecinta dunia fauna; salah satunya dinosaurus. Sedari kecil, saya kerap
menonton acara TV dokumenter tentang kehidupan hewan-hewan prasejarah ini.
Kagum—impresi saya kala itu. Kekaguman itu sampai sekarang pun masih ada. Tidak
sedikit pula akhirnya saya mengenal beberapa jenis dinosaurus.
Hero dalam film ini adalah Arlo (Raymond
Ochoa), anak ketiga dari pasangan petani apatosaurus,
Henry (Jeffrey Wright) dan Ida (Frances McDormand). Kedua kakak Arlo adalah
Libby (Maleah Padilla) serta Buck (Marcus Scribner) yang usil. Arlo terlahir
dengan tubuh yang kecil. Selain itu ia juga dikenal penakut. Kelemahannya
tersebut membuat ia diremehkan oleh saudara-saudaranya. Sebagai keluarga
petani, Arlo diwajibkan mengemban tugas layaknya petani yang kita kenal
sekarang ini. Memanen, beternak, hingga membajak sawah dengan “hidung”. Ya, membajak
dengan hidung. Apakah mereka menahan nafas sambil melakukannya ? Saya tidak
tahu. Mungkin menggunakan kaki yang besar seharusnya jauh lebih mudah bagi
mereka.
Dalam
pencarian jati diri Arlo lewat petualangan, ia bersahabat dengan manusia.
Manusia purba mungkin lebih tepatnya. Love/hate
relationship mengawali keduanya sebelum kemudian menciptakan perasaan
saling memiliki satu sama lain. Ia bernama Spot (Jack Bright). Rambutnya
acak-acakan, pakaiannya dari kulit hewan, serta bertubuh gelap. Ganas dan buas.
Serangga besar hingga reptil kecil adalah makanannya. Fakta lucunya adalah
bahwa di “The Good Dinosaur” inilah kita akan melihat bahwa para dinosaurus lah
yang berbicara dengan Bahasa Inggris; sebaliknya manusia justru berkomunikasi
dengan cara primitif. Siapa yang lebih kuat dan besar, maka ia berkebudayaan
lebih maju.
Petualangan
berlanjut hingga mereka bertemu dengan trio tyrannosaurus.
Dipimpin oleh Butch dan disuarakan oleh Sam Elliott. Seperti halnya Sam Elliott
yang berperawakan “Marlboro-man” dan ala koboi; Butch juga bertampang sama.
Macho, garang, ditambah lagi ia juga seorang koboi. Bersama kedua anaknya,
Butch menggembalakan bison dan sedikit membuat saya bingung. Bagaimana bisa
para dinosaurus bertahan jutaan tahun tanpa berevolusi sementara para mamalia
tiba-tiba muncul ? Ah, lupakan saja. Seperti tradisi dalam film-film bertajuk
dinosaurus, kali ini tyrannosaurus
pun dilawan tandingkan dengan para velociraptor.
Permusuhan keduanya seperti tidak pernah berakhir.
“The
Good Dinosaur” disutradarai oleh Peter Sohn; notable work-nya banyak berhubungan dengan film-film animasi,
khususnya di Studio Pixar. Naskahnya ditulis oleh Meg Le Fauve. Sebagai
penonton, saya rasa kita sudah dapat menebak kemana arah cerita selanjutnya.
Petualangan yang mengubah si lemah menjadi kuat adalah konsep dasar cerita
dalam film animasi ini. Tidak ada yang salah dengan form zero to hero-nya, selain memang minimnya pengembangan (cerita
dan karakterisasi) menjadi kekurangannya.
Membuat
“The Good Dinosaur” dengan rilisan dubbing
Bahasa Indonesia; menjelaskan bahwa film ini pada dasarnya menyasar segmentasi
penonton anak-anak (tidak dipungkiri dewasa juga). Untuk membuktikan apakah
petualangan dinosaurus ini ‘bekerja’ atau tidak, saya buktikan dengan mengajak
kedua sepupu menontonnya. Sepupu saya yang tertua berusia 6 tahun dan adiknya 5
tahun. Yang tertua sempat menjerit takut tatkala adegan dimana Spot memakan
serangga mentah-mentah dan memutus kepalanya. Keduanya pun tampak sedikit bosan
di pertengahan film. Bahasa tubuh anak-anak memang begitu jujur—saya rasa. Lantas
saya menyimpulkan bahwa Pixar yang satu ini memang kurang mengena di hati
anak-anak. Begitu juga bagi saya.
Ini
adalah pertama kalinya Pixar merilis dua film bersamaan dalam satu tahun.
Sebelumnya ada “Inside Out”; perbandingan yang sangat kontras dengan “The Good
Dinosaur” dari segi cerita. Meski pun saya kecewa dengan rilisan terbaru Pixar
ini, visualnya lewat gambar hutan-hutan prasejarah begitu memukau. Setidaknya
mampu mengobati emosi saya yang sempat terkena efek kejut di beberapa
adegannya. Karena “The Good Dinosaur” adalah film dari Pixar yang paling ‘mengerikan’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !