Melanjutkan spaghetti-western terakhir yang dibuat oleh Quentin Tarantino,
“Django Unchained” (2012), kini ia kembali membuat genre yang sama. Memang tidak butuh rentang waktu yang lama ia
kembali ke medan perfilman setelah menghadirkan western yang begitu bagusnya. Ini adalah film kedelapan Quentin
Tarantino sekaligus mewakili judulnya yang mengandung unsur “delapan”. Setelah
menontonnya, Anda juga akan menemukan beberapa kata dalam dialog-dialognya yang
menyenggol angka delapan. Kecintaan Tarantino pada film-film western terbukti membawa senyawa itu
pada “The Hateful Eight” bahkan di beberapa bagian detil sekali pun. Seperti font di opening yang tampak klasik dan khas western (Anda juga akan menemukannya di “Django”). Robert
Richardson, sinematografer rutin
Tarantino khususnya pada tiga film sebelum ini, mengambil gambarnya dengan
aspek rasio 2 : 76 : 1; membuatnya tampak begitu lebar seperti dalam western klasik.
“The Hateful Eight” mengambil seting
pasca civil war dan terbagi menjadi
enam chapter. Bagian pertama berjudul
“Last Stage to Red Rock”. Mayor Marquis Warren (Samuel L. Jackson), seorang
pemburu hadiah, akan memindahkan tiga mayat menuju kota bernama Red Rock. Dalam
perjalanan, ia menumpang sebuah stagecoach
yang di dalamnya ada John Ruth (Kurt Russell), sama-sama menuju Red Rock dan
akan menggantung tawanan wanita, Daisy Domergue (Jennifer Jason Leigh). Bagian
berikutnya, seorang calon sheriff
yang juga menuju Red Rock untuk penobatannya, Chris Mannix (Walton Goggins),
ikut juga dalam rombongan tersebut. Sampailah mereka pada penginapan “Minnie’s
Haberdashery” sembari melindungi diri dari badai salju. Di sana empat orang
telah menunggu.
Saya akan perkenalkan siapa saja
mereka yang ada dalam penginapan kepada Anda. Pertama adalah Oswaldo Mobray
(Tim Roth), seorang hangman daerah
Red Rock seperti John Ruth. Berikutnya ada Joe Gage (Michael Madsen), seorang
koboi. Kemudian ada pria tua yang hanya duduk di kursi, Jendral Sanford
Smithers (Bruce Dern). Terakhir adalah seorang pria Meksiko bernama Bob (Demián
Bichir). Kesemuanya memiliki julukan masing-masing, seperti “The Bounty
Hunter”, “The Hangman”, “The Prisoner”, dan lain-lain. Jumlahnya lengkap
delapan, seperti dalam judulnya. Namun tidak termasuk O.B. (James Parks),
karena ia hanya bertugas sebagai kusir stagecoach
mengantarkan John Ruth. Mudahnya saja, ia yang paling normal dari delapan
lainnya. Oleh karena itu, dapat kita asumsikan ia bukan bagian dari “delapan”
yang paling menonjol.
Coba Anda perhatikan lebih teliti pada
posternya, di sana tertera nama Channing Tatum. Tapi dengan memerhatikan
kedelapan foto karakter utama, jelas saja Chaning Tatung bukan termasuk bagian
tersebut. Kemunculannya akan memberikan Anda kejutan. Sekali lagi, ini adalah
bagian dari kecerdikan seorang Tarantino dalam menunjukkan ‘kenyelenehan’ nan
uniknya pada tiap film garapannya. Dalam “The Hateful Eight”, Tarantino masih
memakai beberapa regular cast yang
kerap juga muncul pada setiap film yang diarahkannya. Lihat saja di sana ada
Samuel L. Jackson yang selalu tampil badass
di bawah naungannya, sekaligus memainkan karakter paling menarik di sini. Ada
pula Tim Roth dan Michael Madsen, keduanya juga muncul bersama dalam karya
debut Tarantino, “Reservoir Dogs” (1992).
Membandingkan “The Hateful Eight”
dengan western lainnya, ada
kekontrasan tajam yang muncul. Umumnya, kita melihat western identik dengan midwest
yang panas dan gersang. Namun dalam film ini, kita tidak akan menjumpainya. Sebagian
besarnya kita akan menyaksikan badai salju yang menyeliputi Wyoming. Secara
keseluruhan, “The Hateful Eight” mengambil dua set lokasi. Pertama ada di dalam
stagecoach, sisanya dalam penginapan
dimulai sejak bagian ketiga. Semua ini memang termasuk wajar bila kita memahami
dengan baik sisi unik dari pengarahan seorang Tarantino. Dialog yang panjang
dalam sebuah satu set lokasi adalah salah satu ciri khasnya. Saya ambilkan
contoh dalam “Kill Bill vol. 2”; dimana ada percakapan panjang antara Bill
dengan Beatrix Kiddo dalam sebuah gereja.
“The Hateful Eight” adalah film yang
lucu karena kental akan komedi hitamnya. Tarantino memang pakar akan hal ini.
Soal adu tembak yang menjadi keharusan dalam western sudah pastilah ada di sini. Tapi, Anda perlu bersabar
sampai kira-kira satu jam tiga puluh lima menit hingga suara tembakan
terdengar. Sebelum itu, “T.H.E.” lebih banyak diisi dengan dialog percakapan
sekaligus upaya Tarantino memperkuat tiap karakternya dengan baik sebelum
kemudian ia memberikan hentakan dan kejutan-kejutan menarik menuju klimaks.
Demi meningkatkan performa di bagian aksi, Tarantino menggandeng ahli praktikal
efek Greg Nicotero yang dikenal dalam serial tv “The Walking Dead”. Hasilnya
memang memuaskan dengan peminimalisiran CGI; lebih realitistis. Namun jika Anda
ingin membandingkannya, kuantitasnya memang tidak sebanyak “Django”.
Ada seorang kritikus film yang
memberikan penilaian negativ pada film terbaru Tarantino ini. Hal itu terkait misogyny pada karakter Daisy Domergue.
Ia adalah satu-satunya karakter wanita di antara “delapan” dan mendapat
kekerasan paling parah di sepanjang film. Kekerasaan tersebut meliputi caci
maki, pukulan, hingga muntahan darah di wajahnya. Jelas saja ini berlawanan
dengan feminisme yang saya apresiasikan pada film “Bāhubali
: The Beginning” kemarin. Sekilas, saya memang melihat misogyny begitu kentara pada karakter Daisy. Tapi kembali lagi,
saya ingin membuat pikiran lebih clear
dengan membela Tarantino bahwa apa yang ia tunjukkan di sini adalah salah satu keunikannya.
Untuk jawaban mudahnya, Daisy Domergue adalah bagian dari twist karakter.
This one's great. But QT needs to do something a little bit different for his next two movies. ex: slasher courtroom, sci-fi
BalasHapusYang ini jadinya tayang di bioskop nggak sih? Kok nggak kedengeran lg.
HapusEman sekali kalau nggak tayang ini... udah rela nggak kudownload e screenernya haha
HapusNontonnya bajakan yah? Setahu saya gak ada yg aspect ratio-nya seextreme itu di bioskop sini kecuali kalau nonton di IMAX.
BalasHapusKoreksi sih. Oswaldo Mobray bukan hangman seperti John Ruth. Si John sih julukannya aja hangman tapi dia bounty hunter.
Saya mau Jujur dengan selera saya saja terus terang sampai saat ini saya paling tidak faham dengan FIlm film nya quentin Trantino, saya sudah nonton KILL BILL -nya dua kali, saya sudah nonton, reservoir dogs - nya, perasaan saya BOSAN...
BalasHapusSama
HapusQuentin Tarantino terkenal dengan gaya seni kekerasan yg unik sedangkan Christopher Nolan karya dia lebih ke permainan psikologi dan emosi. 2 orang gila
BalasHapus