Kamis, 02 Juli 2015

MOMMY [2014]

Xavier Dolan punya cara unik dalam menampilkan hubungan yang hangat antara seorang ibu dengan anaknya. Bukan lewat tutur kata santun seperti seharusnya, melainkan lewat kata-kata kasar dan tidak jarang pertengkaran-pertengkaran yang tidak lazim dilakukan antara ibu dan anak pada umumnya. Tapi di balik itu, sosok ibu dan anak yang diciptakan Dolan ini begitu saling menyayangi dan melindungi, bahkan mungkin melebihi hubungan ibu dan anak yang ‘normal’ di luar sana. Dengan rasio gambar 1 : 1, semakin menambah keunikan dalam film ini.
Seorang ibu single parent bernama Diane (Anne Dorval), hidupnya penuh sekali dengan ‘beban’ berat di sana sini. Setelah sang suami meninggal lalu mewarisi semua hutang-hutangnya, Diane pun juga kehilangan pekerjaannya. Di menit-menit awal ia diceritakan tengah mengalami kecelakaan sehingga membuat kepalanya terbentur hingga berdarah, rasanya masalah selalu hadir memenuhi kehidupan Diane. 

Segala beban itu semakin bertambah dengan tanggung jawabnya untuk membesarkan anak remajanya, Steve (Antoine Olivier Pilon) yang kasar dan sangat nakal. Suatu ketika pertengkaran terjadi di antara mereka hingga membuat Steve terluka. Tetangga depan rumah mereka yang seorang guru, Kyla (Suzanne Clément) datang membantu lalu akrablah mereka bertiga.
Bukan tanpa alasan Dolan menggunakan rasio 1 : 1 dalam filmnya ini. Rasio gambar yang sempit tersebut dapat diinterpretasikan sebagai kehidupan Diane yang penuh sesak dengan segala masalah yang ia hadapi, terutama dalam membesarkan Steve. Apalagi, ia juga tinggal di rumah yang benar-benar penuh dengan barang-barang berantakan. Rasio sempit tersebut sangat efektif dalam mewakili kehidupan Diane, saya sebagai penonton pun mampu dibuat merasakan betapa ‘sesak’ dan peliknya hidup Diane ini. Selain itu, rasio 1 : 1 sanggup juga untuk memberikan fokus bagi tiga karakter utama dalam film ini. Diane dan Steve, dari awal kemunculannya sudah ditampilkan dengan penuh kata-kata kasar dan saling mengejek satu sama lain. Pertengkaran yang mereka alami pun terlihat jauh dari kesan ‘keluarga yang bahagia’. Tapi jangan salah, ucapan ‘manis’ sebagai tanda saling menyayangi atau sekedar minta maaf malah sering terselip setelah pertengkaran mereka.

Oleh Dolan, Steve digambarkan sebagai pribadi oedipus complex yang muncul dengan ucapan dan sentuhan ‘nakal’ kepada sang ibu, terlebih over protektifnya bila ada lelaki lain yang mencoba mendekati dan memanfaatkan ibunya. Mungkin pada awalnya saya begitu sebal sekali dengan kelakuan anak nakal seperti Steve ini. Tidak hanya berbicara kotor, ia juga sering berlaku tidak sopan bahkan pada orang yang tidak dikenal sekalipun. Tapi ada salah satu adegan, dimana di situ ditampilkan sosok Steve yang begitu melindungi sang ibu karena tidak terimanya diperolok-olok, membuat saya berfikir dua kali untuk kembali membenci Steve ini. Ibu dan anak ini memang bukanlah keluarga biasa, di balik saling lempar ucapan kasar tersebut ternyata mereka munculkan kedekatan dan kehangatan. Tidak jarang saya justru sering tertawa dengan ejekan dari Steve yang ia lontarkan kepada sang ibu. Dari sini, sosok Steve sudah mulai membuat saya bersimpati. Xavier Dolan sangat hebat sekali dalam menampilkan kasih sayang antara ibu dan anak ini dengan cara yang berbeda, sehingga terkadang tercipta juga kelucuan di antara pertengkaran mereka berdua. 

Kemudian hadirlah sosok Kyla yang sangat sulit dalam berbicara (gagap), hinggap dalam kehidupan Diane dan Steve. Kyla ini seolah menjadi penyeimbang antara Diane dengan Steve yang kerap bertengkar. Seringnya kunjungan Kyla ke rumah Diane, kemudian menjadikan mereka begitu akrab, bahkan Kyla yang sebelumnya gagap, sedikit demi sedikit mulai lancar bicara. Yang lebih mengejutkannya adalah Kyla masih tetap saja berbicara gagap pada suami dan anak kandungnya sendiri, meski ia sudah dapat berbicara lancar dengan Diane atau Steve. Dari sini Dolan mencoba menggambarkan sosok Kyla sebagai pribadi yang sangat tertutup, jarang bicara, dan tidak pandai dalam mengungkapkan sesuatu. Tapi hebatnya, Diane dan Steve yang bukan keluarga ‘normal’ ini justru mampu membuat Kyla dekat dan hangat, melebihi dekatnya ia pada keluarga sendiri jika dilihat dari cara berbicaranya. Saya sangat suka bagaimana Dolan mengeksplorasi ketiga karakter ini dengan begitu mendalam, bahkan sosok Kyla pun tidak lepas dari perhatian.

Tidak selamanya segala beban terus menerus memberatkan Diane, dibuktikan dari rasio yang sempat melebar seperti film pada umumnya, membuktikan bahwa masih ada harapan dan kebahagian dalam hidupnya. Tapi kemudian bila Diane tertimpa suatu masalah yang membuat hatinya sesak, rasio pun kembali menyempit ke ukuran 1 : 1. Rasio ini sanggup menjadi navigator yang membantu penonton dalam memahami perasaan yang dialami Diane. 

Dalam paragraf pembuka, saya menuliskan bahwa hubungan dekat dan saling menyayangi antara Diane dan Steve mungkin saja melebihi keluarga ‘normal’ lainnya. Tidak dapat dipungkiri memang, keluarga yang kelihatan ‘normal’ alias rukun atau tidak pernah ada pertengkaran se-high level Diane dan Steve, justru jarang ataupun malu untuk jujur mengatakan bahwa saling menyayangi satu sama lain, baik itu antara ibu dan anak atau anggota keluarga lainnya. Dengan sosok Diane dan Steve yang saling jujur mengatakan bahwa mereka saling menyayangi ini setidaknya mampu memberikan ‘tamparan’ bagi mereka yang mengaku saling menyayangi, tapi berat untuk mengatakannya. Jika keluarga ‘tidak normal’ ini saja bisa melakukannya, mengapa yang ‘normal’ tidak ?. Secara keseluruhan, Xavier Dolan sudah sukses menanamkan pesan “cinta kasih” tersebut ke dalam drama yang indah ini. Skoring dan pemilihan soundtrack yang enak didengar juga menjadi nilai tambahan di film ini.  
ATAU
8,5 / 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AYO KITA DISKUSIKAN !