Jumat, 20 November 2015

THE GIFT [2015]


“Dendam masa lalu akibat bullying”. Sebuah pernyataan standar untuk mengawali ulasan ini dan menjadi semakin klise ketika tema serupa kembali diangkat ke ranah film. Klise dalam ide bukan berarti akan berakhir menjadi sebuah film yang buruk jika mampu dikemas menjadi sajian yang menarik. Kembali ke tema “pembalasan dendam”, ada 2 macam treatment yang bisa digunakan, pendekatan yang lebih ‘keras’ melibatkan fisik yang dianiaya atau permainan secara psikologis. “The Gift” merupakan debut penyutradaraan dari Joel Edgerton yang menggunakan psikologis dalam menciptakan teror-terornya demi menyiutkan nyali, tanpa perlu memberikan hantaman keras di bagian klimaksnya. Meski tidak banyak bermain dengan siksaan berdarah-darah, nyatanya “The Gift” sanggup menghadirkan kengerian bahkan dari hal yang sifatnya sederhana tanpa ancaman.

Pasangan suami istri, Simon (Jason Bateman) dan Robyn Callum (Rebecca Hall), baru saja pindah dari Chicago ke daerah suburb di Los Angeles. Sebuah lingkungan baru tanpa mengenal seorang pun di sekitarnya. Pada suatu ketika, seorang pria tiba-tiba mendekati Simon di sebuah tempat perbelanjaan. Ia memperkenalkan diri sebagai Gordon Moseley (Joel Edgerton) dan mengaku sebagai teman sekolah Simon. Bingkisan pertama dikirimkan Gordon diam-diam sebagai tanda persahabatan, direspon dengan baik oleh Simon dan Robyn. Tapi semakin lama, Simon justru merasa risih dan menganggap Gordon sebagai ‘orang aneh’. Sebaliknya, Robyn selalu berpikiran positif mengenai Gordon. Benarkah Gordon Moseley merupakan teman lama Simon ataukah seorang stalker ?.

Bagi yang sudah menonton “The Gift”, mungkin reaksi pertama adalah teringat pada thriller dengan tingkatan ultraviolence milik Park Chan-wook, “Oldboy” (2003). Wajar saja, tema “dosa masa lalu” pada “The Gift” seakan mengingatkan kembali dalam berhati-hati pada kejahilan yang terkadang dianggap enteng, tapi memiliki dampak begitu besar di masa yang akan datang. Mengingat si korban kejahilan yang menderita baik secara fisik maupun mental, akan menciptakan ‘monster waktu’ yang bersiap-siap menurunkan karmanya sebagai peneror/penghukum tanpa aturan. Hal semacam ini pernah pula dituturkan oleh Michael Haneke dalam film luar biasanya yang berjudul “Hidden” (2005), dan yang paling segar di ingatan adalah teen slasherUnfriended” (2014). Berbeda dengan 3 film ini (khususnya “Oldboy”), “The Gift” mungkin yang paling ‘lunak’ dalam menyajikan terornya. Ya, hampir tidak ada yang secara eksplisit menampilkan teror mengerikan berupa ancaman ataupun darah. Tapi terror tersebut justru dibungkus dalam sebuah kado yang cantik.

Kado cantik tersebut dikirimkan oleh Gordon yang semakin lama membuat Simon merasakan ketidak nyamanan. Bayangkan saja Anda sebagai Simon, tidak mengenal dekat, namun terus mendapatkan kiriman hadiah dan dengan cara yang misterius pula. Pastinya rasa kesal, muak, hingga takut menyeruak dalam pikiran Anda. Sederhana saja sebenarnya, sebuah kado ditinggalkan tergeletak di depan pintu. Di situpun tertulis juga nama si pengirimnya, Gordon. Tapi tidak bisa dipungkiri keadaan semacam itu masih tetaplah sanggup menciptakan sebuah teror yang menghantui. Kita pun juga tidak tahu, bisa saja hal yang lebih buruk lagi bisa terjadi. Kemudian muncullah pertanyaan mengenai motif di balik semua ini. Saya pun condong dengan Simon untuk menginvestigasi pada fakta-fakta apa yang tersembunyi. Di lain pihak, Robyn meyakinkan Simon bahwa Gordon adalah pria baik-baik yang murni memberikan hadiah sebagai tanda kedekatan. Lebih parahnya lagi, Gordon sudah merupakan ‘candu’ bagi Robyn. Maka dengan begitu, ada distraksi bagi Simon untuk menerobos akses menuju Gordon.

Atmosfir mencekamnya dibangun dengan sangat baik lewat tone yang cukup gelap pula. Bahkan, seting siang hari saja dapat terasa semencekam gelapnya malam. Dari sini, pembangunan suasananya tersebut telah memiliki kelebihan tersendiri. Semuanya juga ditunjang oleh karakterisasi Gordon yang diperankan dengan cukup baik oleh Joel Edgerton. Gordon digambarkan sebagai pria yang canggung dan lemah dalam bersosialisasi. Karakterisasi semacam itu memang pada akhirnya mudah sekali menciptakan asumsi bagi penonton untuk menghakiminya sebagai ‘orang jahat’. Namun yang menjadi kekurangannya, naskah yang juga ditulis oleh Joel Edgerton ini kurang dalam mempermainkan saya agar tersesat dalam pemahaman siapa pelaku dan siapa korban. Sebab tidak terlalu lama “The Gift” berakselerasi, saya merasa ia cukup banyak celah pada cara menghadirkan 2 karakter yang saling berkonfrontasi itu. Akibatnya, kedua karakter telah membongkar sendiri identitasnya sebelum sempat saya terbawa masuk ke konflik lebih dalam lagi.

Menit-menit menjelang akhir, segala misteri yang selama ini terselubung rapi akhirnya terkuak lewat ‘orang ketiga’, yang bagi saya merupakan escapism ‘aman’ dari sang sutradara. “The Gift” memang tidak dirancang sebagai thriller yang brilian terutama lewat ‘pelarian’ semacam itu, tapi Joel Edgerton benar-benar tahu bagaimana cara mengeksekusi cerita dengan baik. Selain itu, kritikan sosial yang ditanamkan dalam naskahnya yang berkaitan dengan anti-bullying, memang patut diapresiasi juga. Bila film yang lain mungkin menggunakan pesan tersirat semata, maka berbeda dengan “The Gift” yang lebih lantang menyuarakannya. Kelantangan dan ketegasan yang dilontarkan Joel Edgerton lewat kritikan tersebut membuahkan kesuksesan dalam penyutradaraan pertamanya ini. Dari film ini pulalah kita tahu hukuman apa yang paling tepat bagi mereka yang memanfaatkan kelebihannya dalam menindas yang lemah. Tidak perlu membalas dengan kesakitan fisik, berikan saja mereka rasa takut !. 

7 / 10

18 komentar:

  1. film ini lebih mirip film korea Days of wrath (2013) dengan pemeran utama Jo sang wook, tema nya 100% sama, bullying dimasa SMA, hanya saja diceritakan dari sisi yang berbeda, di The gift di sisi pelaku bully, dan di Days of wrath di sisi Korban Bully, dua2nya sama bagus, tapi di The gift saya tidak mendapat gambaran Bully di masa SMA nya seperti apa, hanya lewat cerita, sedangkan Di film days of wrath jelas tergambar bagaimana pelaku menyiksa korban, sampai bagaimana sulitnya korban menjalani hari-harinya. yang saya suka dari The gift, the gift memberi misteri hingga akhir.

    BalasHapus
  2. Bagi saya kekuatan story film ini cukup berimbang dengan Shawsank Redemption, jawaranya di imdb sampai sekarang. Tanpa keraguan saya berikan nilai 9 (skala 10) buat film ini. AWSOME!!!

    BalasHapus
  3. Sy baru nonton film ini hari ini. Sy masih belum ngeh. Bayi yang dilahirkan Robyn apakah anak dari Simon atau Gordo?

    BalasHapus

AYO KITA DISKUSIKAN !