Dalam film bertemakan balas dendam,
kebanyakan cara terakhir yang digunakan untuk membalas perlakuan lawan adalah
dengan membunuhnya. Sebagian besar penikmat film thriller akan menganggap cara tersebut sudah final dan tidak ada pilihan lain. Singkat, tapi kurang memuaskan.
Begitulah kira-kira deskripsi dari saya terhadap kebanyakan film thriller bertemakan balas dendam. Tapi
tidak dengan film yang diangkat dari novel tahun 2008 karya Kanae Minato ini. Membunuh
dianggap terlalu mudah dan tidak memberikan hukuman berat pada lawan. Lalu
dengan cara apa ?. Siksaan psikologis sehingga membuat lawan menderita seumur
hidupnya, itulah cara dan premis yang ditawarkan dalam film ini. Serupa dengan karya
dari Chanwook Park yang berjudul Oldboy (2003), kejam dan brutal. Tapi tidak
mengurangi nilai keindahannya.
Di hari yang mendung, seorang guru SMP
bernama Yuko Moriguchi (Takako Matsu), membuat banyak pengakuan sebelum kemudian
ia mengumumkan pengunduran dirinya. Dari sekian banyak yang ia ungkapkan, satu
yang paling utama adalah terkait meninggalnya anak semata wayangnya, Manami
(Mana Ashida), karena dibunuh oleh dua siswa dalam kelas tersebut. Hanya dengan
memberi inisial siswa A dan B, Bu Moriguchi mengatakan bahwa ia telah
memasukkan darah yang terkontaminasi HIV ke dalam susu yang telah diminum oleh
dua siswa tersebut. Dengan tujuan agar mereka berdua mengakui kejahatannya dan
mulai belajar menghargai kehidupan.
Awalan berisi pengakuan-pengakuan Bu
Moriguchi dihadirkan dengan begitu datar, tapi aura mencekam dan mematikan
sungguh begitu terasa. Apalagi, ekspresi Bu Moriguchi dalam menceritakan setiap
pengakuannya juga begitu tenang dan cenderung dingin. Atmosfir yang gelap
dengan sentuhan pengambilan gambar slow
motion banyak mewarnai adegan awal, sehingga tidak hanya terasa menegangkan,
tapi juga melodramatis. Perkenalan pertama melalui pengakuan Bu Moriguchi
disajikan dengan durasi yang cukup panjang, hingga mencapai 30 menit. Tapi sama
sekali tidak menciptakan perasaan bosan, melainkan semakin asyik untuk diikuti.
Sebab, dari pengakuan yang panjang tersebut maka satu persatu misteri yang terpendam
semakin tergali.
Confessions yang berarti “pengakuan”,
tidak hanya melibatkan Bu Moriguchi selaku pembalas dendam saja, tetapi juga
siswa A dan kekasihnya, serta siswa B dengan ibunya. Sebagai tambahan, ada karakter
guru pengganti yang bersifat menengahi permasalahan. Dari karakter yang
berjumlah enam orang tersebut, semua memainkan peranannya sendiri dengan begitu
kompleks, tanpa ada yang hanya sekedar tempelan semata. Oleh karena itu, latar
belakang mereka satu persatu juga dibeberkan dengan sudut pandang berbeda terkait
kematian Manami. Perbedaan sudut pandang tersebut rupanya melahirkan
karakter-karakter yang terkesan abu-abu.
Bicara soal pembalasan dendam Bu
Moriguchi, memang terasa begitu kejam dan tidak manusiawi. Namun semua setimpal
dengan apa yang diderita oleh Bu Moriguchi atas kematian anaknya yang tidak
berdosa. Jika mau, mungkin saja Bu Moriguchi dengan cepat akan membalas dendam
dengan membunuh dua siswa tersebut. Tapi apa untungnya, sebab nanti Bu
Moriguchi juga akan diadili atas perbuatannya. Sedangkan, dua siswa yang telah
membunuh putrinya tetap menghirup udara bebas karena dibentengi Undang Undang Perlindungan
Anak. Maka tercetuslah ide mencampur darah kontaminasi HIV tersebut. Tapi
hukuman tidak berakhir di situ saja, efek berantai berupa hukuman yang lebih
sadis dan mengerikan terus muncul untuk menghantui siswa A dan B.
Dari aspek cerita, jika tujuan akhir balas
dendam hanya untuk ‘membunuh’ memang terasa klise, dangkal, dan tentunya mudah
tertebak. Sebagai penonton pun, sisi emosional tidak akan bangkit hanya dengan
melihat lawan dibunuh begitu mudah, dan semuanya selesai dalam sekejap. Itulah
mengapa, Tetsuya Nakashima selaku sutradara yang merangkap penulis naskah,
memberikan ‘permainan’ lewat punishment yang
cukup rumit, dialog berbobot, serta banyak twist
hadir di setiap perbedaan sudut pandang lewat pengakuan para karakternya. Sesekali
kita mungkin akan membenci karakternya, tapi kemudian beralih iba, dan kembali
lagi membencinya. Cerdas mempermainkan persepsi, begitulah kehebatan Tetsuya
Nakashima dalam meramu film ini.
Satu hal yang bisa saya tarik dalam
film ini adalah bercerita mengenai obsesi. Ya, semua karakter dalam film ini
memiliki obsesi yang besar dalam hidupnya, seperti Bu Moriguchi yang terobsesi
untuk menghukum kedua siswanya. Selain itu, adapula siswa A yang terobsesi
diakui akan kejeniusannya dan siswa B yang terobsesi demi mendapat pengakuan
dari siswa A. Naasnya, obsesi dari siswa A dan B tersebutlah yang menjadi
pemicu tewasnya Manami. Kekasih siswa A, ibu siswa B, dan guru pengganti Bu
Moriguchi masing-masingnya juga diberikan jatah dengan ‘obsesi’ tersebut. Kesemua
obsesi dari mereka itu tidak sekedar sebagai pelengkap tanpa meaning, sebab dari situlah sumber dari
segala chaostic dalam film ini.
Sangat komplit dan padat, itulah yang
saya rasakan dalam “Confessions” ini. Tidak hanya mengenai pembalasan dendam
lewat cara psikologis saja yang menjadi fokus utama, melainkan juga menyinggung
hal-hal lainnya, termasuk obsesi yang saya jelaskan sebelumnya. “Confessions”
juga menyerempet isu-isu dalam permasalahan anak remaja di Jepang yang meliputi
bullying, kenakalan akibat kurang kasih
sayang dari orangtua, hingga kasus bunuh diri masal. Semua disajikan dengan
begitu cerdas, rapi, dan tidak lupa meninggalkan unsur menegangkan hingga
bagian akhir film. Saya pun turut memberikan confess, bahwa saya sempat ternganga di seperempat akhir film
berjalan. Itulah wujud katarsis saya dalam menikmati kepuasaan yang sama dengan
yang dirasakan oleh Bu Moriguchi, setelah berhasil membalaskan dendam.
9 / 10
film Jepang favoritku >_<
BalasHapusSempat ternganga nonton film ini, nyaris perfect menurut saya dalam segala hal.
BalasHapusKesimpulan setelah nonton film ini dan film sejenis (eden lake = recommanded)pasti kita sebagai orang tua akan lebih bijak dalam mendidik anak, terlihat sekali masa remaja adalah masa transisi untuk mencari jati diri mereka. Bullying, lingkungan sekitar dan orang tua adalah peran penting dalam perubahan tersebut. Apabila salah melangkah akan berpengaruh sampai kehidupan dewasa si anak. Sempat kesal melihat tingkah murid yang tidak menghiraukan omongan guru. Sangat merefleksikan dari keadaan sekarang padahal film tayang di tahun 2010, bagaimana keadaan 10 - 20 tahun kedepan ...??????
BalasHapusBAYAR PAKAI OVO GO-PAY PULSA XL = AXIS = TELKOMSEL
|| POKER | DOMINOQQ | CEME | CAPSA | SAKONG||
Merdeka Deposit Min Rp.50.000 Bonus 4.500 || Merdeka Deposit Min Rp.100.000 Bonus 8.000
Merdeka Deposit Min Rp.200.000 Bonus 17.000 || Merdeka Deposit Min Rp.500.000 Bonus 45.000
WhastApp : 0812-9608-9061
Tak sengaja mampir di kolom komen ini. Gara2 ada kejadian yg sedang viral, gadis SMP membunuh anak kecil yang katanya terinspirasi dr film Jepang.
BalasHapusKemudian ada netizen yg memberikan link yg kisahnya hampir mirip film tersebut.
Omaigood... Dibuat ternganga dr awal hingga akhir film ini. Jadi teguran buat kita para org tua harus bs jadi teman sekaligus keluarga yg berperan penting dlm usia peralihan mereka.
Semoga tidak ada kejadian seperti ini lg ditahun2 mendatang.
Very interesting
BalasHapusBaru selesai nonton...film nya keren cara balas dendam nya..
BalasHapus