Kisah seorang manusia yang tidak mengalami penuaan pernah saya tonton
dalam film yang dibintangi Chloë Moretz, Let Me
In (2010). Karakter dalam komik Marvel, Wolverine, juga mengalami hal yang
sama. Tapi, penceritaan drama romansa Age of Adaline ini tentu tidak bisa
disamakan dengan film superhero tersebut. Konsepnya sama, manusia yang tidak
bisa menua, kemudian terjebak cinta dengan sosok yang sangat jauh lebih muda.
Terdengar klise ?. Boleh saja jika berfikir seperti demikian, tapi Age of
Adaline tidak lantas dikemas dengan cheesy.
Meski fiksi ilmiahnya (atau fantasi, mungkin) terasa lemah, lika-liku kisah
romansanya lah yang menjadi kekuatannya.
Adaline Bowman (Blake Lively) yang lahir di tahun 1908, awalnya adalah
wanita normal, menikah, dan memiliki anak. Suatu ketika di usianya yang
menginjak 29 tahun, ia mengalami kecelakaan dan diikuti peristiwa misterius
yang akhirnya membuat perkembangan fisiknya terhenti alias tidak mengalami
penuaan. Kondisi yang dialaminya menjadikan ia dikejar-kejar oleh pihak FBI dan
keberadaannya pun terancam.
Adaline lalu bersumpah untuk terus berpindah-pindah tempat dan mengubah
nama serta penampilannya setiap 10 tahun. Putri semata wayangnya yang ia
tinggal, Flemming (Ellen Burstyn) terus menua, tapi Adaline tetap menyempatkan
diri untuk saling bertemu. Sejak saat itu, sudah dua kali Adaline menjalin
hubungan cinta, ketika di tahun 60-an meski akhirnya kandas, dan di tahun 2014
dengan seorang pria yang usianya sangat jauh di bawahnya, Ellis Jones (Michiel
Huisman).
Premisnya sangat standard,
sesuai dengan tagline yang tertulis
di posternya. The Age of Adaline lebih seperti dongeng-dongeng yang jamak kita
dengar sejak kecil, daripada drama romansa yang penuh eksplorasi dari karakter
maupun alur ceritanya. Penjelasan gamblang bagaimana Adaline memiliki anti-aging melalui narator terasa
seperti disaster sci-fi daripada
menyimpan misteri rapat-rapat tak terjawab seperti yang ada di 17 Again (2009),
yang secara presentasi lebih bagus menurut saya. Bagian yang sudah muncul sejak
menit-menit awal itu cukup untuk mengurangi atensi saya demi menginginkan drama
yang lebih ‘dalam’ dan menyentuh. Tapi setelah kemudian film berjalan makin ke
tengah, sosok pria yang sudah disiapkan sebagai penakluk hati Adaline muncul,
ada harapan baru untuk terus mengikutinya, meskipun masih banyak sekali
kekurangan berupa alur yang mudah tertebak hingga menit akhir. Konflik batin
yang dialami Adaline karena mencintai pria yang sangat jauh lebih muda darinya sebagai
bagian dari lika-liku romansanya, lumayan menutupi kekurangan tersebut.
Sesuai sumpahnya, Adaline terus berlari. Tidak hanya berlari dari keberadaan
saja, melainkan juga dari perasaannya pada pria yang selalu ingin menemani dalam
kesepiannya. Penolakan-penolakan kecil dari Adaline sangat kentara ketika para
pria mencoba mendekatinya, tidak terkecuali pada Ellis. Pengalaman kandasnya
cinta dengan pria di tahun 60-an yang sengaja ia tinggalkan, merupakan alasan
utama untuk tidak menyakiti pria-pria lain yang mungkin ingin merajut cinta
bersamanya. Bisa ditebak, Ellis lah pria yang akhirnya menjadi pelabuhan hati
berikutnya. Tentunya, bukan hal mudah bagi Ellis untuk menaklukkan hati seorang
nenek berusia lebih dari seratus tahun ini.
Blake Lively berakting bagus sekali dalam menghidupkan karakter Adaline
yang sangat dewasa dengan berbagai pengalaman yang ia dapatkan serta berwawasan
luas, meski terjebak dalam tubuh mudanya. Dari sini, penonton bisa memahami
bagaimana sosok Adaline yang mungkin oleh banyak orang membuat iri karena anti-aging-nya, ternyata adalah seorang
wanita kesepian yang harus jauh dari anak dan perasaan bersalahnya karena terus
lari dan membohongi orang-orang baik di sekitarnya. Tidak sejalan dengan
Adaline, sosok Ellis di sini justru dibuat dengan sangat standard sekali dan tidak ada yang spesial darinya. Tanpa
memberikan sosok kompetitor, penonton sudah dapat menebak bahwa siapa lagi
kalau bukan Ellis yang akan mendapatkan Adaline.
Kemunculan aktor kawakan Harrison Ford di sini juga cukup untuk
memberikan kesegaran dengan melihatnya memainkan karakter yang sangat jauh
berbeda dengan karakter ikonik yang selama ini telah menempel padanya.
Alih-alih memberikan twist
mengejutkan, kemunculan Harrison Ford di sini justru begitu mudahnya tertebak
sebelum alur menjelaskan siapa dirinya. Lagi-lagi, bagian predictable tersebut secara sekilas kembali menurunkan atensi saya
untuk berharap hal yang lebih memuaskan lagi berikutnya. Akting Harrison Ford
di sini memang sangat bagus dan karismatik sebagai pria tua yang pernah
tersakiti di masa mudanya, tapi juga sempat kendor di salah satu momennya.
The Age of Adaline memiliki kelebihan berupa interaksi antar
karakternya yang sanggup untuk mengaduk-aduk emosi para penontonnya, mulai dari
cinta, rindu, hingga kekecewaan. Tanpa menggurui, dari kisah yang dialami oleh
Adaline, dapat diambil pesan bahwa tiadalah yang lebih indah daripada terus bersama
dengan seseorang yang dicintai hingga menuanya usia. Setidaknya, itulah yang
merupakan pegangan yang selalu digunakan oleh Adaline, meski alasan itu pulalah
yang terus membuatnya menjauhi pria-pria yang mencoba mendekatinya. Bukanlah
film yang buruk dengan segala kekurangannya. Tapi daripada
disebut sebagai drama romansa untuk kalangan remaja - dewasa, The Age of
Adaline sepertinya lebih cocok sebagai fairytale
untuk anak-anak.
ATAU
6,5 / 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !