Flash Gordon diangkat dari komik strip karya Alex Raymond tahun 1934. Flash Gordon versi
movie ini dibuat dengan camp style,
gaya penceritaan yang memiliki kesamaan dengan Batman TV Movie yang dibintangi
oleh Adam West. Meski menggunakan style
yang sama, Flash Gordon tidak lantas dengan totalnya menampilkan kekonyolan dan
kebodohan secara eksplisit seperti apa yang sebelumnya dicontohkan oleh Batman
TV Movie di tahun 1968. Unsur keseruan dan ketegangan masih menyelimuti kuat sci-fi adventure ini, walaupun akting
yang dihadirkan jauh dari kata ‘bagus’.
Flash Gordon (Sam J. Jones)
adalah bintang footbal dari New York Jets, dengan ciri khas rambut blonde, tubuh
atletis, dan kaos yang bertuliskan “Flash” di tengahnya. Suatu ketika, ia
tengah pergi dengan menaiki pesawat, dan di sana ia bertemu dengan seorang
jurnalis wanita, Dale Arden (Melody Anderson). Tapi di tengah perjalanan,
pesawat yang mereka tumpangi terganggu oleh meteorit dan kedua pilot pun
menghilang. Pesawat pun kemudian mendarat di sebuah rumah kaca milih Dr. Hans
Zarkov (Chaim Topol).
Zarkov dikenal sebagai ilmuwan gila yang mempercayai bahwa selama ini
bumi selalu diincar oleh makhluk asing. Untuk membuktikan teorinya, Zarkov
lantas memaksa Flash dan Dale yang mendarat di rumah kacanya, untuk masuk ke
dalam roket yang ia ciptakan. Lalu terbanglah roket tersebut ke Planet Mongo
yang dikuasai oleh kaisar jahat, Ming (Max von Sydow) dan kaki tangannya,
Klytus (Peter Wyngarde). Ming kemudian memerintahkan untuk menghukum mati
Flash, meski mendapat tentangan dari putrinya, Aura (Ornella Muti), yang
diam-diam menyukai Flash.
Jika saya bandingkan antara Batman TV Movie dengan Flash Gordon,
perbedaan keduanya cukup mencolok meski mengusung camp style yang sama. Batman TV Movie lebih konyol dengan segala
kebodohan dan tindakannya yang di luar nalar, sedangkan Flash Gordon masih
banyak memiliki unsur keseriusan, meski tidak dipungkiri ada beberapa momen absurd yang sempat ditampilkan. Sebagai
contohnya adalah ketika Flash ditangkap oleh pasukan Ming, ia lalu menghindar
dengan menggunakan teknik footbal yang sering ia mainkan, luar biasanya teknik
tersebut cukup ampuh membuat pasukan Ming kuwalahan. Momen absurd lainnya yang bahkan lebih ‘parah’ dan membuat saya tertawa
geli adalah ketika Flash digiring untuk dihukum mati (dengan gas) di aula
istana Ming, ia lantas mencoba berontak hingga membuat para pasukan menodongkan
senapan laser kepadanya. Lihatlah bagaimana saya tidak tertawa, padahal Flash
akan segera dihukum mati, lalu untuk apa mereka menodongkan senapan laser kepadanya
?, toh sebentar lagi ia akan mati, bukan ?.
Segala kekonyolan yang hadir dalam Flash Gordon bukanlah sebuah
kecacatan yang perlu untuk disalahkan, karena sedari awal memang film ini
diformat dengan penceritaan yang tidak terlalu serius, tapi juga tidak serta
merta disebut sebagai komedi. Adegan pembukaan ketika Ming meluluh lantakkan
bumi dengan berbagai macam bencana alam hanya dengan menekan tombol, tidaklah
perlu dipikirkan secara serius, bagaimana itu bisa terjadi ?. Dale yang baru
saja kenal dengan Flash ketika di pesawat, tiba-tiba bisa cemburu melihat Aura
yang kesengsem dengan Flash, lho kok bisa terjadi ?. Kembali lagi, jangan terlalu
dipikirkan. Semua kejanggalan yang hadir silakan Anda anggap saja sebagai
misteri besar alam semesta yang tidak pernah terjawabkan. Anda tidak perlu
tahu, dan Tuhan pun mungkin tidak mau tahu.
Secara teknikal, Flash Gordon sudah cukup istimewa untuk film sci-fi di tahun tersebut. Sets dan props yang mendukung film ini pun juga sangat memuaskan untuk
ditonton, apalagi penciptaan hutan belantara di Planet Arboria yang penuh
dengan rawa-rawa, pohon besar, dan makhluk buas di dalamnya. Adegan paling memorable bagi saya justru diambil
ketika Flash berada di Planet Arboria ini. Flash beradu keberuntungan dengan Pangeran
dari Arboria, Barin (Timothy Dalton), untuk menghindari sengatan kalajengking
raksasa, sungguh sangat mengenang meski saya masih kecil ketika saat itu
menontonnya. Dengan menonton ulang Flash Gordon ini, tiadalah cara yang paling
tepat untuk membangkitkan kenangan indah di masa lalu dengan tokoh yang sempat
begitu populernya di tanah air ini. Sepertinya, segala kekurangan dari film ini
(terutama akting yang kacangan), bisa tertutupi dengan baik dan saya rasa sah saja
bila Flash Gordon akhirnya digelari sebagai film cult.
Flash Gordon mungkin sudah ditelan zaman. Hampir sedikit di generasi
ini yang mungkin membicarakannya. Tapi siapa yang sangka, George Lucas yang
dikenal lewat sci-fi adventure
terbaik sepanjang masa, Star Wars, pernah berkeinginan untuk menyutradari Flash
Gordon, meski akhirnya ditolak oleh sang produser. Barulah setelah penolakan,
George Lucas menciptakan Star Wars. Kesialan yang berujung berkah, mungkin.
Status cult untuk film ini
bisa dibuktikan lewat special appearance-nya
Sam J. Jones di Ted (2012), yang juga berperan sebagai Flash Gordon lengkap
dengan rambut blonde-nya. Flash
Gordon sendiri merupakan tokoh idola dari karakter Ted (Seth MacFarlane) dan
John (Mark Wahlberg). Ini merupakan bukti yang lebih dari cukup untuk
menunjukkan bahwa sosok Flash Gordon masih melekat pada para fans-nya, serta tidak lekang oleh waktu.
Bagi saya pribadi pun, Flash Gordon merupakan ‘obat’ untuk mengenang masa
kecil, walaupun secara garis besar tentu sudah lupa bagaimana alur ceritanya
(sebelum menonton ulang), tapi nama besar “Flash Gordon” tidak bisa hengkang
dari ingatan.
ATAU
7 / 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !