“Parasyte : Part I” diadaptasi dari manga berjudul sama karya Hitoshi Iwaaki
di tahun 1988 – 1995. Sebagian besar pengulas film Jepang adaptasi tidak pernah
lepas dari mengkomparasikannya dengan versi aslinya, baik itu manga ataupun anime. Berhubung saya tidak pernah membaca versi manga ataupun menonton anime-nya, saya ingin mengulasnya hanya
sebatas sudut pandang terhadap live-action
ini saja. “Parasyte” yang bergenre body
horror dan gore ini sangat banyak
mengingatkan saya pada “The Thing”, (1982). Bedanya, “Parasyte” banyak
menggunakan efek CGI untuk memvisualisasikan wujud parasyte-nya, seperti “The Thing” remake (2011), daripada practical
effect pada versi asli. Tapi tetap saja efek disgusting yang dihasilkan begitu terasa, dan adegan
berdarah-darahnya juga sangat mengasyikkan untuk ditonton.
Suatu malam, parasyte alien berbentuk seperti cacing menyerang para manusia yang
sedang tidur terlelap. Para parasyte
alien itu memasuki tubuh manusia lewat telinga, lalu kemudian mengendalikan
otaknya untuk menguasai seluruh tubuhnya. Seorang siswa SMA bernama Shinichi
Izumi (Shota Sometani) adalah salah satu korbannya. Beruntung, karena memakai headphone, parasyte alien tersebut tidak dapat memasuki tubuhnya. Tapi kemudian
tangan kanannya berhasil dikendalikan oleh parasyte
yang bernama “Migi” (berarti “kanan”) tersebut.
Adegan pembukaannya sungguh sangat seru
dan memancing untuk terus diikuti. Penggunaan CGI-nya juga dapat dimaksimalkan
dengan bagus dan memuaskan. Tanpa basa-basi seperti film-film body horror barat, kita langsung
diperkenalkan dengan wujud manusia yang sudah terkontaminasi parasyte alien ini. Bagi penyuka body horror seperti ini, siapa yang
tidak suka melihat monster memangsa
kepala manusia dengan sekali telan ?. Begitu mengasyikkannya, sehingga perasaan
‘risih’ maupun ‘jijik’ tidak terlalu banyak berarti. Tapi “Parasyte” ini masih
tahu batasan-batasan untuk tidak menampilkan terlalu eksplisit proses parasyte ketika memakan tubuh manusia
yang sudah terkoyak-koyak.
Manusia yang terserang parasyte alien ini memiliki perubahan bentuk
hanya sebatas bagian kepalanya saja, berbeda dengan parasyte alien dalam “The Thing” yang berubah sampai struktur
tubuhnya. Perbedaan tersebut bukanlah masalah, karena parasyte alien ala Takashi Yamazaki ini punya nilai plus berupa intelegence yang tinggi, hingga kemampuan
untuk bertarung dengan menggunakan senjata bawaannya. Cara bertarungnya memang
tergolong sederhana. Hanya lewat sabetan-sabetan dari bagian tubuhnya yang
berujung tajam, namun nampak seru dan sadis.
Dibandingkan parasyte alien lainnya yang berwujud ‘sangar’, fail parasyte bernama Migi yang menempel pada tangan Shinichi
justru membuat saya ‘geli’. Dengan satu mata dan mulut yang besar, Migi
terlihat paling berbeda dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan kegagalannya
dalam menguasai otak Shinichi. Dengan begitu Shinichi tidak sepenuhnya
dikendalikan, tapi Migi tetap terhubung dengan syaraf milik Shinichi. Hal
tersebut menjadikan masuk akal pula jika para parasyte ini mampu berkomunikasi dengan bahasa yang dikuasai lewat
tubuh korbannya. Berbeda dengan alien
di film-film pada umumnya yang tiba-tiba bisa ‘berbahasa manusia’ tanpa kita
ketahui kapan dan darimana mereka belajar.
Dari voice over-nya sudah terlihat bahwa Shinichi dan Migi akan terjalin
keakraban satu sama lainnya. Apalagi, “Parasyte” sempat menyinggung soal nakama atau “teman”, mengisyaratkan
bahwa mereka saling membutuhkan satu sama lain. Terbukti, mereka berdua bahkan
saling bahu membahu dalam mengalahkan para parasyte
alien yang jahat. Tekad kuat Shinichi untuk membasmi para parasyte alien tersebut tentunya bukan
tanpa sebab. Untuk menciptakan karakter Shinichi seperti itu, maka diperlukan
kehadiran karakter lain yang ‘intim’ dengannya, lalu timpakan dengan kematian atau
hal buruk lainnya sebagai stimulus. Hasilnya, Shinichi yang bertransformasi
dari remaja SMA ceria menuju pribadi yang gloomy
pun terlahir. Act kedua atau confrontation ini sebenarnya cenderung
lebih mudah ditebak. Perubahan-perubahan karakter seperti ini memang cukup
jamak ditemui dalam serial-serial anime.
Beberapa hal konyol sempat muncul di
sepanjang film, salah satunya adalah parasyte
bernama Ryoko Tamiya (Eri Fukatsu) yang membicarakan rencana mengerikannya
justru di tempat ramai. Padahal, Ryoko sendiri memiliki markas rahasia bersama parasyte lainnya. Mengapa hal yang
begitu rahasia tersebut justru diumbar di tempat umum ?. Ah, sudahlah. Kekonyolan
seperti ini cukup saya maklumi karena kesan anime-nya
masih dapat dirasakan dengan kuat. Kekonyolan yang bersifat minor itu sudah tertutupi oleh kekuatan
dari film ini sendiri. Aspek drama-nya
juga dibangun cukup kuat, bahkan terasa gelap dan menyayat hati. Cerita semakin
dalam dan berat ketika parasyte ini
mencoba mencari tahu keeksistensian mereka sendiri. Tentunya, jawaban belum
tersedia pada first sequence ini. Sebagai
penonton, mungkin kita sudah mampu menerka-nerka sendiri jawaban apa yang coba
dicari oleh para parasyte selama ini.
Pasangan paling aneh, itulah Shinichi
dengan Migi. Pada mulanya saya berfikir bahwa film ini akan membawa unsur
komedi yang banyak. Begitu mengikutinya dengan duduk anteng, pemikiran saya
sedikit demi sedikit mulai berubah. Minim komedi tapi banyak ‘potongan tubuh’
manusia, begitulah mungkin deskripsi singkat pada film ini. Sekalipun komedinya
sangat sedikit sekali, tapi saya sangat menikmati adegan gore yang dihadirkan. Cincangan tubuh manusia lengkap dengan banjir
darahnya cukup memuaskan saya sebagai penikmat horror jenis ini. Sudah tidak sabar bagi saya untuk menantikan
kelanjutannya, dengan harapan besar berupa porsi adegan sadisnya lebih
diperbanyak.
7 / 10
baru nonton di tahun 2016 tanggal 26-10...heheh ternyata menarik di ikuti sampai part 2
BalasHapus
BalasHapusBAYAR PAKAI OVO GO-PAY PULSA XL = AXIS = TELKOMSEL
|| POKER | DOMINOQQ | CEME | CAPSA | SAKONG||
Merdeka Deposit Min Rp.50.000 Bonus 4.500 || Merdeka Deposit Min Rp.100.000 Bonus 8.000
Merdeka Deposit Min Rp.200.000 Bonus 17.000 || Merdeka Deposit Min Rp.500.000 Bonus 45.000
WhastApp : 0812-9608-9061