“The
Great Passage” bukanlah film yang baru saja namanya saya dengar. Begitu membaca
sebentar saja sedikit mengenai alurnya, saya langsung memutuskan untuk menonton
film ini. “The Great Passage” berfokus pada sekelompok editor dalam sebuah
perusahaan penerbitan buku yang mengabadikan hidupnya dalam membuat kamus.
Ensiklopedia bahasa lebih tepatnya.
Premisnya
begitu unik, menarik, dan menjanjikan. Saya menganggap idenya begitu
menyegarkan dan tidak konvensional. Nah, karena ini adalah film Jepang, maka kamus
yang menjadi bahasan sudah barang tentu adalah berbahasa Jepang.
Ini
menarik, sebab Bahasa Jepang sendiri masih terbilang sangat asing bagi banyak
pengguna di dunia. Atau bisa saya persempit lagi di Indonesia. Dengan tema yang
tidak biasa, apalagi menggunakan bahasa yang betul-betul sangat asing, “The
Great Passage” harus diantisipasi bagaimana jalan ceritanya mungkin saja bisa
“menyesatkan” penonton yang tidak tahu sama sekali dengan Bahasa Jepang. Tapi
sutradara Yuya Ishii berhasil merangkumnya dalam 2 jam lebih yang tidak
membosankan.
Film
bersetingkan tahun 1995 di sebuah perusahaan penerbitan buku yang bernama Genbu
Books. Di bagian departemen perkamusan, salah seorang senior yang berpengaruh
akan segera meninggalkan pekerjaannya di sana. Dia adalah Kohei Araki (Kaoru
Kobayashi). Padahal, departemen perkamusan akan menerbitkan kamus terlengkap
dengan nama “Daitokai.” Bersama dengan teman kerjanya Masashi Nishioka (Joe
Odagiri), ia berjanji akan mencari pengganti dirinya.
Atas
saran kekasih dari Nishioka, mereka lantas merekrut Mitsuya Majime (Ryuhei
Matsuda) dari departemen lain. Ia seorang pemuda kutu buku, pemalu, canggung,
dan tidak pandai berkomunikasi. Kemampuannya dalam mendeskripsikan sebuah kata
menjadi acuan bagi Kohei untuk menjadikannya sebagai pengganti. Persiapan
penerbitan kamus Daitokai pun dimulai.
Perlu
diketahui sebelumnya, dalam menciptakan sebuah kamus bahasa harus membutuhkan
riset yang tidaklah sebentar. Bisa lebih dari 10 hingga 20 tahun. Mereka yang
membuatnya harus selalu mendapatkan informasi perbendaharaan kata secara
aktual; meliputi kata yang baku dan tidak baku serta kata serapan.
Kesulitan
tingkat tinggi dalam penyusunan kamus tidaklah saja menjadi fokus utama film
ini. Sutradara Yuya Ishii dan penulis naskah Kansaku Watanabe tahu betul
bagaimana agar penonton tidak bosan selama menontonnya. Ia menyelipkan komedi
menyegarkan yang muncul dari interaksi tokoh kaku Majime dengan tokoh lainnya
di departemen perkamusan.
Hasilnya
terbukti efektif dimana Majime yang kerap dipanggil “anak serius” (“majime”
memiliki arti serius/tekun) menjadi bahan candaan khususnya bagi Nishioka. Di
bagian subplot, Yuya Ishii juga menambahkan cerita romansa antara Majime dengan
cucu dari pemilik tempat tinggalnya, Kaguya (Aoi Miyazaki). Sesuai namanya,
kemunculan awalnya berlatarkan bulan purnama—silakan cari di Google.
Walau
sering pula menampilkan adegan dimana Majime dkk sibuk dalam menyusun kamus
dengan mengumpulkan ratusan ribu kata lalu mengelompokkannya, saya tidak
merasakan bosan akan hal itu. Justru saya merasakan hal yang begitu menarik di
sini. Dengan begitu, sedikit saya bisa tahu bagaimana proses penyusunan sebuah
kamus yang sanggup menghabiskan waktu puluhan tahun.
Kemudian,
apa yang melatarbelakangi tiap karakternya yang tidak jemu-jemu bergelut dalam
kosakata dengan jumlah sebanyak itu? Semua kembali pada passion. Sesulit atau semembosankan apapun sebuah pekerjaan, ketika
“cinta” sudah bicara maka segala rintangan terlewati.
“Daitokai/The
Great Passage” memiliki arti “jalan besar menuju laut.” Yang dimaksud laut di
sini diumpamakan sebagai lautan kosa kata. Sedangkan kamus susunan dari Majime
dkk adalah yang menjembatani menuju pemahaman akan banyaknya kosa kata
tersebut. Film ini mengangkat soal ketekunan, ketelitian, dan juga kerja keras.
Itu benar. Tapi lebih dari itu, ini adalah film tentang pengabdian.
Sebelumnya, saya ucappkan terima kasih untuk blog (termasuk foundernya) ini. Tidak banyak di negeri ini orang bisa menemukan blgod berisi resensi film sebegitu banyaknya, terlebih disertai dengan penilaian yang kritis. Maka dari itu, saya merasa beruntung bisa menemukan blog ini. Barangkali hanya semacam saran, mungkinkah Mas Iza membuat semacam list tematik film-film yang memang wajib tonton, seperti film bertemakan thriller terbaik, atau film yang membahas soal otak, atau film yang berhubungan dengan penulis/menulis, semisal Film Super yang telah diberi label tersendiri. Itu saja barangkali. Semoga bisa saya bisa mampir lagi kemari. Terima kasih. Salam Kenal. Fim Anugrah
BalasHapusmenarik sekali reviewnya
BalasHapusbroadband plan xl