Sebenarnya saya sudah cukup lama
mengetahui perihal film yang memiliki judul Prancis “Rebelle” ini. Tapi karena
beberapa alasan, saya menundanya terus hingga belum ada kesempatan untuk
menontonnya. Giliran mendapat ada waktu dan materi (baca : filmnya), saya
manfaatkan untuk menyaksikannya. Hasilnya memang mengejutkan. “War Witch”
adalah film perang yang begitu mengesankan.
Jika tahun kemarin Anda sudah pernah
menonton “Beasts of No Nation” yang dibintangi oleh Idris Elba, setidaknya “War
Witch” memiliki premis sama—walau sebenarnya film yang disutradarai oleh Kim
Nguyen ini rilis tiga tahun sebelumnya.
“War Witch” juga mengambil latar film
di Afrika, meski Kim Nguyen sendiri tidak menjelaskan secara rinci nama
negaranya. Hanya saja, film ini sebagian besarnya diproduksi di Republik
Demokratik Kongo dan jajaran cast
yang berasal dari sana. Kita akan bertemu dengan Komona (diperankan dengan sangat
baik oleh Rachel Mwanza yang bukan aktris pro), gadis 12 tahun yang tinggal di
perkampungan tepi sungai bersama kedua orangtuanya. Saat itu, pemerintah sedang
gencar-gencarnya memerangi pasukan pemberontak yang disebut dengan Great Tiger.
Pemberontak Great Tiger mendatangi
perkampungan milik Komona. Semua warganya dibantai. Tidak terkecuali orang tua
Komona. Lebih keji lagi, para pemberontak itu memaksa Komona untuk menghabisi
kedua orangtuanya sendiri. Belum kering air mata Komona, pemberontak itu
membawanya paksa ke dalam hutan untuk melatihnya sebagai tentara.
Sampai di sini, “War Witch” mudah
dipahami sebagai drama perang yang mengedepankan cerita tentang
pengeksploitasian anak sebagai mesin perang. Di dalam kamp milik Great Tiger,
Komona bertemu dengan banyak anak yang bernasib nahas seperti dirinya. Semuanya
sudah dibekali dengan kemampuan militer. Tidak hanya itu, pikiran mereka pun
sudah dijejali dengan propaganda perang lewat film atau buku-buku.
“War Witch” yang naskahnya ditulis
sendiri oleh Kim Nguyen rupanya bukan sekedar fokus pada drama perangnya saja,
melainkan unsur lain seperti kultural. Yang saya maksudkan di sini adalah
bagaimana Kim Nguyen dengan lihainya meracik unsur kultural nan magis ke dalam
bumbu ceritanya. Kecuali dengan melakukan riset lebih mendalam, saya tidak tahu
apakah pemberontakan atau perang saudara di Afrika sana dekat dengan klenik.
Tetapi di “War Witch” ini, Kim Nguyen tidak sekedar pamer judulnya yang berbau supernatural itu.
“War Witch” dikisahkan lewat sudut
pandang Komona yang juga menarasikan cerita. Ia memiliki kemampuan dalam
melihat roh dari orang yang mati. Penampilan roh di sini ditampilkan dalam
wujud para aktor yang tubuhnya dilumuri cat warna putih. Mungkin saja makna di baliknya
adalah bahwa semua roh yang keluar dari tubuh manusia pada dasarnya kembali
suci dan putih bersih.
Kemampuan yang dimiliki Komona itu
muncul sejak ia meminum getah pohon di dalam hutan. Saya tidak tahu apakah ada
getah pohon yang memiliki efek seperti itu. Ataukah itu kemampuan lahir Komona?
Saya kurang yakin soal itu. Yang saya percayai adalah getah pohon itu mungkin
memiliki senyawa narkotika di dalamnya. Sehingga bagi yang meminumnya akan
menciptakan halusinasi dalam pikiran. Sebuah adegan dalam film ketika Komona
mengigau setelah meminum getah membuat saya yakin akan hal itu. Lantas, mengapa
hanya Komona yang mengalami?
Sebenarnya saya juga punya asumsi lain
terkait kemampuan supernatural yang
dimiliki oleh Komona. Bisa saja apa yang dirasakan oleh Komona adalah wujud
penyesalan dan ketakutan yang tertanam dalam pikirannya. Penyesalan yang
dimaksud adalah ia telah dipaksa untuk membunuh kedua orangtuanya sendiri.
Sedangkan ketakutannya adalah berupa kemenangan Great Tiger melawan tentara pemerintah. Sebab, kemampuannya dimanfaatkan demi melacak
lokasi tentara pemerintah.
Komona tidak sendiri dalam belenggu
tentara pemberontak. Ia dekat sekaligus dilindungi oleh Magician (Serge
Kanyinda), remaja seusianya yang albino.
Tidak berbeda dengan Komona, Magician sejak dini juga telah dilatih berperang. Hubungan
keduanya tidak sekedar sahabat, tapi lebih dari itu. Magician menyatakan rasa
sukanya pada Komona dan akan menikahinya. Komona lantas memberikan syarat untuk
mencari seekor ayam putih yang langka.
Seperti yang telah saya tulis
sebelumnya, “War Witch” tidak hanya mengangkat fenomena anak-anak yang dipaksa
menjadi tentara perang semata. Kim Nguyen juga memadatkan ceritanya dengan
banyak aspek budaya tradisional yang mungkin masih banyak dipegang teguh di
sana. Salah satunya adalah kepercayaan adanya “penyihir” (klenik, jimat, dll)
yang dijadikan sebagai senjata tempur. Inilah perpaduan tidak biasa yang luar
biasa.
Filmnya bagus
BalasHapus