“Crouching
Tiger Hidden Dragon” yang disutradarai oleh Ang Lee sekitar 15 tahun lalu itu
mencetak rekor yang luar biasa untuk perfilman Asia. Bukan dari segi pendapatan
saja, tapi juga sukses menyabet pendapatan di banyak ajang penghargaan. Salah
satunya sebagai Film Berbahasa Asing Terbaik di Oscar hingga masuk juga
nominasi Film Terbaik di tahun yang sama.
Setelah
nama besarnya tetap bergaung hingga kini, masihkah ada yang perlu dihadirkan
kembali dalam sekuelnya kali ini? Film pendahulunya sudah dianggap lebih dari
sempurna sebagai sebuah mahakarya, maka apakah sekuel ini bisa menyamainya?
Atau paling tidak bisa membangkitkan kembali nostalgia pada film yang
sebelumnya dibintangi oleh Chow Yun Fat ini.
Dengan
menggunakan sub-judul “Sword of Destiny,” film ini masih bercerita tentang
perebutan pedang legendaris bernama Green Destiny. Setelah 18 tahun sejak kematian
Li Mu Bai (sebelumnya diperankan oleh Chow Yun Fat), Green Destiny kembali
disimpan dalam House of Te—kediaman sahabat dari Li Mu Bai.
Dunia
bela diri berkecamuk. Pengikuti Iron Way semakin sedikit, di samping itu para
klan saling bertarung sama lain untuk mendapatkan nama besar. Tersebutlah
sebuah klan besar bernama West Lotus yang dipimpin oleh Hades Dai (Jason Scot
Lee) yang sangat kuat. Ia mengincar Green Destiny untuk berdiri di puncak dunia
bela diri. Sebelumnya ia menganggap Green Destiny telah menghilang.
Diutusnya
pemuda bernama Wei-Fang (Harry Shun, Jr.) dan pasukannya untuk menyerang Yu Shu
Lien (Michelle Yeoh)—sahabat karib dari Li Mu Bai. Shu Lien berhasil memadamkan
penyerangan itu dengan dibantu oleh pria misterius dengan topeng di wajahnya.
Nanti diketahui jika pria tersebut adalah Silent Wolf (Donny Yen)—kekasih Shu
Lien di masa lalu.
Kegagalan
Wei-Fang membuatnya ingin mendapatkan kembali Green Destiny ke House of Te. Di
saat bersamaan, seorang putri pejabat, Snow Vase (Natasha Liu Bordizzo)
menangkap basah dan sempat bertarung dengannya beberapa saat. Green Destiny
sudah ada di tangan Wei-Fang. Tapi Shu Lien yang sudah tiba di Peking
sebelumnya berhasil merebut dengan mudah. We-Fang lalu dikurung.
Di
tempat lain, Silent Wolf mempersiapkan pasukan pengamanan untuk House of Te dan
Green Destiny. Sayembara yang dibuat hanya menghasilkan empat pendekar setia.
Walau sedikit, kemampuannya tidak bisa diremehkan. Terbukti dalam sekuen
pertarungan di kedai dengan sekelompok bajingan tengik berhasil dikalahkan
dengan mudah.
Kehebatan
Silent Wolf ditunjukkan di sana dengan teknik bela diri yang mengagumkan.
Dengan santainya, ia membabat habis lawan-lawannya. Para pendekar lain dengan
kemampuan spesial seperti pisau, tameng, dan zirah besi diperlihatkan dengan
sangat mengagumkan.
Permasalahan
kini datang pada Hades Dai yang bernafsu mendapatkan Green Destiny dan
melebarkan sayap pertempuran hingga menuju Peking. Shu Lien, Silent Wolf, dan empat
pendekar terpilih harus berjuang mati-matian dalam mempertahankan House of Te
dan Green Destiny dengan nyawa mereka. Kesetiaan dan jalan hidup mereka sebagai
pendekar dibuktikan dalam pengorbanan tersebut.
“Sword
of Destiny” diadaptasi menurut pentalogi “Crane-Iron” (seri kelima) berjudul
“Iron Knight, Silver Vase” karya Du Lu Wang. Disutradarai oleh Yuen Woo-ping
dan naskahnya oleh John Fusco. Yuen masih menerapkan treatmen yang sama dengan
apa yang telah dilakukan oleh Ang Lee sebelumnya. Pengambilan gambar lewat
pemandangan-pemandangan indah nan mengagumkan disajikan dengan begitu indahnya;
beberapa lokasi di Selandia Baru menjadi pilihan.
Koreografi
dalam tiap sekuen pertarungan dihadirkan dengan sangat rapi dan begitu mengagumkan.
Yuen yang memiliki banyak pengalaman di bidang koreografi film-film aksi ternama
banyak memberikan pengaruh di sini. Walau gaya pertarungannya khas Tiongkok,
tapi pengemasannya yang terasa kebarat-baratan membuatnya sedap dipandang mata.
Inilah hiburan yang begitu mengasyikkan.
“Sword
of Destiny” mungkin tidak sampai mengungguli film pendahulunya. Tapi film ini
memberikan pengaruh besar bagi saya untuk menyukainya dari banyak unsur di
dalamnya walau merasa banyak lubang di bagian alurnya. Yang paling tidak bisa
saya alihkan sepanjang menonton “Sword of Destiny” dan pendahulunya adalah pada
keindahan Green Destiny yang mencuri perhatian.
Bu
BalasHapus