Saya
adalah penggemar film-film animasi. Mulai dari animasi klasik 2D, 3D, hingga stop motion. Maka sudah sewajarnya jika
antusiasme saya selalu tinggi tatkala ada informasi mengenai film animasi yang
akan rilis. Hal tersebut berlaku saat pertama kali saya mendengar tentang
“Anomalisa” ini.
Dengan
melihat tampilan dasarnya (stop motion) saja, saya sudah tidak sabar lagi untuk
menonton “Anomalisa.” Bagaimana plotnya sudah tidak saya pikirkan lagi. Yang
penting ini adalah film animasi, saya harus tonton. Baik atau buruk
kualitasnya, itu urusan belakang.
Begitu
tahu nama besar Charlie Kauffman ada di kursi penyutradaraan dan penulisan
naskah, saya yakinkan diri sendiri jika ini bukan film animasi biasa saja.
Jelas bila “Anomalisa” tidak menyasar penonton anak-anak. Lantas, siapakah
Charlie Kauffman sebenarnya? Mengapa ia bisa kuat menghipnotis saya?
“Anomalisa”
adalah film kedua yang disutradarainya setelah “Synecdoche, New York” tahun
2008. Ia turut pula menulis naskah “Being John Malkovich” (1999), “Adaptation”
(2002), dan “Eternal Sunshine of The Spotless Mind” (2004). Kenali terlebih
dahulu film-film ini. Jika sudah pernah menontonnya, maka tahulah bagaimana
gaya bertutur sang jenius ini.
Charlie
Kauffman kerap menulis film dengan tema seperti “krisis identitas” atau “makna
tentang kehidupan.” Gaya penggambaran ceritanya juga sering melawan arus dari
film kebanyakan. Tidak jarang pula ia sering menggunakan penceritaan yang cukup
surealis. Tidak ringan untuk dicerna memang, tapi amat mengasyikkan untuk diikuti.
Penggunaan
stop motion dalam materi ceritanya
kali ini bisa saya sebut sebagai bentuk melawan arus. Dengan konten though provoking yang merupakan ciri
khasnya, ia mengubah animasi stop motion
yang mainstream menjadi suguhan yang
tidak biasa.
Mari
kita menuju alur ceritanya. “Anomalisa” bercerita tentang seorang ahli customer service bernama Michael Stone
(David Thewlis). Diceritakan di awal ia tengah menuju hotel di Cincinnati dalam
rangka promosi buku terbarunya. Selama perjalanan (begitu pula hidupnya), ia
melihat semua orang memiliki wajah dan suara yang sama. Termasuk juga isteri
dan anaknya. Sungguh menyedihkan saya pikir.
Michael
adalah pribadi kesepian. Apa yang ia lalui selalu monoton. Apa yang ia butuhkan
hanyalah sosok yang bisa sekedar diajak mengobrol dan mengerti dirinya. Namun
sayang, semua orang ‘homogen’ menurut apa yang ia lihat.
Jika
kita telaah lebih mendalam, keadaan yang tengah dialami oleh Michael disebut
dengan Fregoli Syndrom. Sebuah
keadaan dimana manusia memiliki keyakinan delusional bahwa setiap orang
sebenarnya adalah satu orang yang mengubah penampilannya saja. Kemudian Charlie
Kauffman menyisipkan pesan rahasia berupa nama hotel tempat Michael menginap
dengan sebutan “The Fregoli.”
Selanjutnya
Anda jangan terkejut jika semua karakter selain Michael (baik pria atau wanita)
bersuara pria (disuarakan oleh Tom Noonan). Tapi tunggu dulu. Selain David
Thewlis dan Tom Noonan, Jennifer Jason Leigh kebagian peran sebagai gadis lugu
bernama Lisa. Siapa Lisa? Mengapa hanya ia yang bersuara wanita? Mengapa ia
berbeda dengan lainnya?
Bisa
dikatakan jika Lisa adalah sosok yang selama ini dicari serta dirindukan oleh
Michael. Ia berbeda, pemalu, dan rendah diri. Tapi justru sisi ‘keanehan’
itulah yang mampu membuat Michael terpikat padanya. Ia memiliki apa yang tidak
dimiliki oleh ‘orang normal’ lainnya. Sebuah kenormalan yang menurut Michael
sendiri adalah bentuk dari ketidak normalan.
Seperti
pada “Being John Malkovich,” Charlie Kauffman mengeksplorasi sisi terdalam
manusia berupa ketakutan dan obsesi dalam dirinya. Kemasannya juga surealis. Di
dalamnya kita tahu bagaimana Craig Schwartz (John Cusack) begitu terobsesi
menjadi sosok John Malkovich untuk menguasai seseorang. Pun di “Anomalisa,”
Michael begitu gila untuk mendapatkan sosok sempurna yang diidamkannya.
Banyak
keganjilan (anomali) dalam “Anomalisa.” Tentu saja keganjilan yang saya
maksudkan di sini adalah dalam batasan positif. Charlie Kauffman berhasil
menghimpun keliaran fantasinya dalam kisah sederhana tentang manusia yang dikuasai
oleh rasa takut. Singkatnya, ia ingin menegaskan mengenai manusia ketika
diliputi ketakutan (kesendirian, kehilangan, dll), mereka malah cenderung
kehilangan rasa cinta dan kasih sayang.
Udah donlot tapi belum ditonton..
BalasHapusthanks reveiwnya.. :)
halo. saya baru banget selesai nonton filmnya dan bingung. hahaha. terima kasih untuk reviewnya.
BalasHapusYak' betul! Membingungkan dgn suara yg sama, meskipun Saya barusan menonton sampai selesai.. Ada hal aneh, spt ruang General Manager dan scene "dagu copot". Tp diluar itu semua, Saya suka film ini, unik. Terima kasih :)
HapusAntara bagus dan membingungkan
BalasHapusAntara bagus dan membingungkan
BalasHapus