Entah
di suatu tempat di mana, saya sering mendengar istilah penyelamatan dengan
mengorbankan puluhan, demi menyelamatkan ribuan. Seminimal mungkin mengambil
risiko, agar hasil yang didapatkan jauh lebih banyak lagi. Namun yang menjadi
dilema adalah apakah hal ini patut disebut misi penyelamatan? Toh pada akhirnya
tetaplah masih jatuh korban. “Eye in The Sky” memiliki premis tersebut.
Film
ini disutradarai oleh Gavin Hood; orang yang memperkenalkan kepada kita “X-Men
Origins : Wolverine” (2009) dan “Ender’s Game” (2013). Sedikit menyinggung
karya sebelumnya, saya masih bisa mentolerir “X-Men Origins,”—tidak cukup bagus
tapi lumayan jadi hiburan. “Ender’s Game?” Saya tidak sanggup untuk
melanjutkannya sampai akhir.
Lewat
naskah dari Guy Hibbert, Gavin Hood ternyata cukup mengejutkan lewat karya
terbarunya ini. “Eye in The Sky” adalah drama
– thriller yang tidak hanya menegangkan dari pembangunan atmosfirnya,
tetapi juga menyisakan tanya soal definisi “penyelamatan.” Premis film ini tidak
baru bagi saya. Tapi Gavin Hood membawakannya dengan penuh energi sehingga
terasa menyegarkan.
“Eye
in The Sky” adalah pertarungan antara kuasa & politik melawan
ketidakberdayaan. Dalam upayanya memberikan keamanaan, negara-negara raksasa
berusaha keras menjaga hal tersebut. Akan tetapi, apakah hal itu benar didasari
rasa kemanusiaan atau sekedar nafsu mengagungkan kekuasaan?
Film
ini penuh dengan karakter abu-abu. Saya sangat suka dengan film berisi karakter
semacam ini. Di sini kita akan bertemu dengan Kolonel Katherine Powell (Helen
Mirren); ia mengumumkan misi untuk penangkapan kelompok teroris bernama Al
Shabaab. Markasnya berada di Nairobi, Kenya.
Dalam
misi tersebut, Kol. Powell dibantu oleh banyak pihak, terutama dari Amerika
Serikat. Dengan alat-alat canggih seperti drone
warfare, mereka melacak posisi dari teroris yang ditarget. Adalah pilot
Steve Watts (Aaron Paul) yang kebagian mengendalikan reaper drone dengan jarak 6 km dari darat. Untuk lebih menyasar
target, agen Kenya, Jama Farah (Barkhad Abdi) turun lapangan—wow, senang
rasanya bisa melihat kembali Barkhad Abdi beraksi.
Target
sudah didapat. Kol. Powell butuh 6 tahun lamanya mencari tahu keberadaannya. Pastinya
ini adalah kesempatan emas. Steve Watts dengan asisten Carrie Gershon (Phoebe
Fox) tinggal menunggu perintah untuk menembak. Tak diduga dan tak dinyana,
seorang gadis kecil tengah berjualan roti di samping markas target. Sisi
manusiawi Steve dan Carrie tergugah di sini. Ragu menembak, di saat itu pula
sang kolonel telah menurunkan perintah.
“Eye
in The Sky” sebenarnya sudah dapat dibaca pergerakannya. Film ini bermain dalam
drama di mana tujuan besar tengah bertarung dengan sisi lunak dari manusia. Akankah
karakter Steve ini mengikuti perintah atasannya, ataukah ia memilih sebaliknya.
Penciptaan karakter gadis kecil nan lugu ini tentunya sangat efektif dalam
alur. Dari awal diceritakan ia adalah korban dari lingkungan ekstremis, membuat
penonton mudah bersimpati kepadanya.
Mungkin
filmnya terlihat sederhana dengan plot yang lurus tanpa tanjakan. Tapi naskah
tulisan Guy Hibbert menyajikan drama dengan penuh lika-liku berkenaan
kemanusiaan. Tidak ada karakter yang benar-benar hitam atau putih di sini.
Semuanya memiliki tujuan sama demi menciptakan perdamaian. Dengan memberikan
‘hati’ yang kuat di konfliknya, membuat “Eye in The Sky” bukan sekedar film penangkapan
teroris asal mengumbar aksi.
Di
luar plotnya yang mudah untuk dicerna, saya menggaris bawahi soal teknologi
perang dalam film ini. Mungkin untuk saat ini, drone warfare dengan tipe burung atau kumbang terlalu kelewat
canggih. Tidak dipungkiri bila kelak negara-negara raksasa seperti Amerika
Serikat atau Inggris akan memilikinya. Kekhawatiran saya adalah makin
terciptanya kesenjangan antara negara-negara di belahan dunia ini semakin
terasa. Yang kuat semakin kuat, yang lemah semakin tertindas.
Kekhawatiran
saya sangat beralasan sekali. Melihat kecanggihan drone warfare yang dapat menguasai medan hingga celah terkecil pun,
bukan tidak mungkin para negara raksasa menghalalkan segala cara atas nama
perdamaian. Dengan kata lain, kengerian dalam “Eye in The Sky” bisa saja terjadi
suatu saat nanti. Semoga saja tidak!
karakter Steve disini juga pada akhirnya masuk ke ranah abu2. tembakan kedua seharusnya bisa ia tunda beberapa menit, karna sang target sudah dalam kondisi terjepit dan gak mungkin bisa melakukan perlawanan.. tpi steve tnpa pikir panjang langsung mengikuti perintah atasan, yg membuat saya yg awalny menyukai karakter steve ini, langsung muncul tnda tanya untk menyukainya
BalasHapus