“The Lobster” diawali dengan sebuah
sekuen dimana seorang wanita tampak begitu kesal lalu menembak seekor keledai.
Tentu saja keledai itu mati seketika. Ada apa dengan wanita tersebut? Mengapa
ia membunuh keledai itu? Lebih dari satu keledai di padang rumput itu, mengapa
hanya satu yang ia tembak? Sekuen di bagian awal ini begitu absurd dan mengundang banyak tanda tanya
besar.
Cerita kemudian bergulir pada seorang
pria yang bernama David (Colin Farrell). Ia hidup sendiri setelah ditinggal
minggat istrinya. Katakanlah hubungan keduanya tidak cocok. Praktis sekarang ia
disebut “jomblo.” Ia tinggal sendiri dengan seekor anjing yang kemudian ia
sebut sebagai kakaknya. Ya, anjing tersebut memang kakaknya. Apa yang
sebenarnya terjadi di sini?
“The Lobster” berlatarkan era
distopia. Di mana pada masa itu, kota memberlakukan aturan bahwa jomblo harus
segera mencari pasangan. Para jomblo lantas digiring menuju sebuah hotel dan
diminta mencari pasangan dalam kurun waktu 45 hari. David menjadi bagian dari
ajang pencarian jodoh itu.
Sampai sini, terlihat biasa saja?
Mengerikan jika Anda tahu kelanjutannya. Dalam waktu 45 hari tersebut, jika
para jomblo tidak berhasil mendapatkan pasangan, mereka akan diubah menjadi
seekor hewan. Hewan jenis apa, sesuai dengan permintaan jomblowan dan
jomblowati itu sendiri.
Ada dua opsi ketika mengikuti acara
dalam hotel : menjadi homoseksual atau heteroseksual. David memilih heteroseksual.
Kemudian ia memilih “lobster” seandainya gagal mendapatkan pasangan di sana. Alasannya
: umurnya bisa mencapai 100 tahun, berdarah biru seperti aristokrat, dan karena
ia memang menyukai berenang. Selama dalam hotel, David berteman dengan John
(Ben Whishaw) yang pincang serta Robert (John C. Reilly) yang cadel.
Beberapa karakter wanita juga
meramaikan suasana hotel. Ada gadis yang selalu mimisan (Jessica Barden),
wanita penyuka biskuit (Ashley jansen), wanita tidak berperasaan (Angeliki
Papoulia), dan masih banyak lagi. Semuanya memiliki hubungan yang silih
berganti dengan David, John, serta Robert.
Sampai di sini, saya baru memahami
maksud dari sekuen di awal film. Saya sudah menduga jika wanita tersebut
memiliki semacam hubungan dengan keledai ‘jadi-jadian’ itu. Bisa saja keledai
itu adalah perwujudan suami/kekasih yang meninggalkannya. Lantas ia mencari
pasangan baru di hotel meski pada akhirnya gagal dan diubah menjadi seekor
keledai.
Ada banyak aturan yang diberlakukan
selama dalam hotel ‘aneh’ itu. Salah satunya dilarang masturbasi dan berburu
para jomblowan/jomblowati yang melarikan diri. Para peserta diberikan senapan
angin dan dilepaskan ke dalam hutan. Di sana ada sekelompok jomblo yang
melarikan diri karena tidak betah dengan aturan-aturan hotel. Sekali
mendapatkan mangsa, jumlah hari tersisa dari peserta akan dilipat gandakan.
Saya tidak ingin terlalu jauh lagi
menuliskan tentang “The Lobster” yang bisa saja berpotensi menjadi spoiler. Silakan nikmati sendiri betapa thrilling-nya petualangan selama 118
menit ini. “The Lobster” diarahkan oleh sutradara Yunani Yorgos Lanthimos. Ia
pula yang menulis naskahnya bersama Efthymis Filippou. Naskahnya dapat
dirasakan beraura komedi quirky ala
Wes Anderson. Turut pula disenadakan dengan pengambilan gambar yang khas serta dominasi
warna-warna palet lembut.
Sebenarnya apa yang coba disampaikan
oleh Yorgos Lanthimos dalam “The Lobster?” Mudah saja, yaitu nilai lebih yang
bisa didapatkan bila mendapat pasangan. Saya tidak tahu apakah Lanthimos
berusaha satir dalam memandang kehidupan di era kini atau bukan. Akan tetapi,
saya pikir pesan yang disampaikannya begitu menohok. Dengan begini maka istilah
“sendiri lebih indah” telah berhasil diruntuhkan. Selain itu masih ada lagi
tapi tidak bisa saya tuliskan di sini.
Mungkin Anda akan menganggap ini
pernyataan yang terlalu subjektif. Saya pikir lagi memang begitu. Kembali lagi,
sekali pun berusaha menilai dengan objektif (dalam sebuah film), perasaan tetap
akan terlibatkan. Tidak perlu diragukan lagi, “The Lobster” adalah paduan
sempurna antara romansa, komedi, fantasi, dan ketegangan. Film aneh yang begitu
lucu.
Bro, blognya sudah saya tautkan, salam kenal ye dari Manusia Unta.
BalasHapusBtw rajin amat lu bro ngereview, kalo saya mah nontonnya aja yang rajin, nah kali review mood moodan aja hehe.
ayo dong...lebih bahas semiotiknya,,,,
BalasHapusThe Lobster, ane kira kayak animal planet wkwkwk
BalasHapussaya sdh nonton cerita nya unik tapi bikin ketagian..
BalasHapusbarusan nonton filmnya. menurutku ya kalau aku berada di dunia itu, mending aku nyari pasangan, walau nggak cocok ya dicocok cocokin. daripada berubah jadi binatang. apalagi hidup sendirian di hutan yang aturannya lebih nggak masuk akal. sebenarnya cerita ini nggak jauh beda dengan kehidupan sosial kita di masyarakat. masyarakat kita dipaksa untuk berpasang-pasangan. kalau umur sekian belum menikah pasti akan dikucilkan. menjadi single sampai mati adalah suatu aib dan tabu. lebih baik berpasangan walaupun homoseksual daripada jomblo sendirian sampe mati.
BalasHapuspadahal jadi jomblo dan hewan juga pilihan dan nggak jelek-jelek amat sih.
duh butuh keberanian emang membutakan mata sendiri,, tapi mau gimana lagi, hukum di kota itu mengharuskan pasangan memiliki kesamaan.
Ada aturannya jg,disitu ga boleh berpasangan dgn "calon" hewan yg berlawanan
BalasHapusBaru aja nonton film ini... Tapi gak terlalu paham makna film nya.. makanya coba cari ulasan dari yang sudah nonton. Blog ini dan komentar komentarnya, sangat membantu.
BalasHapusFilm ini bagus, tapi ada beberapa hal yang tak terjembatani, misal apakah menjadi binatang tersebut adalah analogi atau kenyataan, aturan tentang berpasangan, antara kota dan hutan (hotel): mengapa mereka (jomblo) lebih memilih tinggal di hutan dan menjadi buruan penghuni hotel? Kenapa tidak di kota saja? Banyak hal yang menjadi pertanyaan, dan pertanyaan itu muncul akibat tidak terjembataninya wacana penonton dengan alur dalam film tersebut
BalasHapusmantap sinopsinya
BalasHapusfilm ini bikin gue pusing jujur aja.
BalasHapusKalo aku kok melihatnya lebih ke makna konotatif. Seperti Ada 2 kubu ekstrim ideologis yang saling berseberangan. Kemudian david sebagai pencari jati diri mencoba berjalan dgn salah satu paham, kemudian berganti dengan paham satunya. Yang pada akhirnya ketulusan nurani mengantarkan pada kenyataan harus bersembunyi menutupi ketidakcocokannya pada kedua faham.
BalasHapusPakai Pulsa Tanpa Potongan
BalasHapusJuga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia
Game Populer:
=>>Sabung Ayam S1288, SV388
=>>Sportsbook,
=>>Casino Online,
=>>Togel Online,
=>>Bola Tangkas
=>>Slots Games, Tembak Ikan
Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
|| Online Membantu 24 Jam
|| 100% Bebas dari BOT
|| Kemudahan Melakukan Transaksi di Bank Besar Suluruh INDONESIA
WhastApp : 0852-2255-5128
Agens128 Agens128