“As The Gods Will” yang diadaptasi
dari manga karya Muneyuki Kaneshiro,
“Kami-sama no Iu Tōri”, merupakan salah satu bentuk kesenangan dari Takashi
Miike lewat adegan gila-gilaan layaknya film-filmnya terdahulu seperti “Ichi
The Killer” ataupun “Crows Zero”, tapi tidak termasuk “Ninja Kids” dan “Hara-kiri
: Death of Samurai” di dalamnya. Bagi yang setia mengikuti karya-karyanya dan
tahu betul bagaimana film-filmnya, mungkin tidak akan percaya bahwa ia sempat
menyumbangkan tenaganya dalam dua episode “Ultraman Max”. “As The Gods Will”
mungkin masih kalah ‘gila’, tapi berhubung ini adalah karya Miike, sangat
menjanjikan tentunya bahwa kita akan menikmati berbagai macam kebrutalan fatal
nan menghibur.
“As The Gods Will” dibuka dengan
siswa-siswi SMA yang tengah memperjuangkan menyelamatkan nyawa mereka untuk
bisa menghentikan Daruma-san, yaitu sebuah boneka bulat berwarna merah dalam
permainan tradisional Jepang. Dalam permainan itu, si siswa-siswi harus
berjalan mendekat ketika Daruma-san melantunkan sebait lirik. Jika ketahuan di
saat Daruma-san berbalik arah, maka dia akan mati. Cara matinya pun unik namun
tetap tragis, yaitu kepala meledak dan bersamaan diikuti dengan
kelereng-kelerang merah. Dua orang sahabat, Shun (Sōta
Fukushi) dan Satake (Shota Sometani) harus bersatu untuk bisa menghentikan
Daruma-san melalui tombol di belakangnya.
Opening Act
lewat pembantaian dari Daruma-san sanggup menghadirkan kegilaan yang
mengasyikkan dan tanpa perlu basa-basi. Sesuatu yang amat sangat brutal itu
lantas menjadi sajian pembuka dan timbul pertanyaan apakah Takashi Miike sudah
mengerahkan semua ide kreatifnya di awal tersebut ?. Tentunya tidak !. Itu
hanyalah awalan dari segala kesadisan yang akan ia tampilkan berikutnya. Jelas
sekali nampak kejeniusan Takashi Miike di saat ia menampilkan kesintingan
tingkat akut di bagian pembukaan, itu menandakan bahwa apa yang akan muncul
setelahnya tentu lebih sinting lagi. Saya suka bagaimana cara Miike
mempersembahkan pemanasannya lewat cara yang tidak biasa. Bukan lewat
pengenalan karakter seperti dalam lumrahnya film-film. Melainkan dengan
ceplas-ceplosnya ia sanggup memaksa penonton tetap anteng duduk sedari film
dibuka dengan tempo film yang cepat pula. Hasilnya, penonton akan semakin
kegirangan untuk meminta lebih dan lebih sembari melemparkan pertanyaan dalam
diri, “kira-kira kejutan apa lagi yang muncul berikutnya ya ?.”
Cara bersenang-senang Takashi Miike
lewat survival game ini bukan saja
dari cara dia menunjukkan aneka macam kesadisan semata. Tapi juga dari caranya
bertutur melalui komedi hitam yang sering pula ia sisipkan. Intensitas
ketegangan demi ketegangan terus meningkat dari satu permainan yang edan,
berlanjut pada yang lebih edan, dan melaju terus hingga ke tahap yang paling
edan. Porsi darah-darah yang muncrat ke sana dan ke sini memanglah tidak
terlalu banyak. Hanya saja itu sudah lebih dari cukup untuk menyenangkan hati
para pecinta gory horror. Itu semua
tidak lain dari kehebatan sang sutradara yang dengan totalitasnya sanggup
meracik hal-hal yang dinilai sadis dan tabu menjadi sebuah hiburan yang begitu
menyegarkan di saat para korban sendiri meminta untuk berhenti. Para creature yang ada dibuat begitu menarik
dengan CGI yang sudah cukup halus dan mengagumkan tentunya. Creature yang tercipta dari aneka macam
mainan itu tidak lain merupakan bagian dari komedi terselip, di balik
bentuk-bentuknya yang lucu menggemaskan terdapat hawa pembunuh berdarah dingin.
Mungkin banyak yang mempertanyakan
terkait dangkalnya eksplorasi terhadap para karakternya. Namun, saya tidak
begitu mempermasalahkan hal tersebut. Untuk tipikal film gory horror semacam ini, saya rasa tidak terlalu diperlukan adanya
penggalian karakter lebih dalam lagi. Memang sempat ada sekilas unsur drama semacam cinta segitiga dan
kecemburuan di antara Shun dengan teman dekatnya, Ichika (Hirona Yamazaki) dan
teman SMP-nya, Shoko (Mio Yūki). Munculnya yang hanya sekelebat
saja memang tidak memberikan pengaruh yang besar dalam cerita secara
keseluruhan. Bila dibandingkan dengan drama
cinta antara mereka bertiga, saya justru lebih tertarik dengan hubungan antara
Shun dan Takeru (Ryunosuke Kamiki) yang selalu
yakin menang karena pilihan dari Tuhan. Dari kedua karakter tersebut, tampak
jelas sekali keambiguannya. Dimana Shun adalah sosok baik (just ordinary people) namun begitu membenci Tuhan dan tidak
mempercayai keberadaannya. Berbanding terbalik dengan Takeru yang digambarkan
sebagai sosok yang kejam, tidak kenal ampun, berbahaya, dan tidak punya aturan,
namun memiliki keyakinan kuat akan keberadaan Tuhan.
Hingga film berakhir pun tidak pernah
ada jawaban pasti terkait asal muasal para creature
unik itu termasuk alasan dari survival
game tersebut. Jika merujuk pada judulnya, mungkin pertanyaan-pertanyaan
itu sudah mampu terjawab. “Siapa lagi kalau bukan Tuhan ?. Ya, memang seperti
apa yang diinginkan Tuhan !.” Mungkin seperti itulah jawabannya. Daripada harus
bersusah payah memeras otak dengan berbagai macam pertanyaan seperti itu, saya
sudah jauh terpuaskan lewat segala kebrutalan dan kesadisan yang telah
disajikan oleh Takashi Miike. Rasanya saya pun sudah tidak terlalu mempedulikan
lagi masalah ‘siapa’ dan ‘mengapa’ di balik survival
game itu. Anggap saja judulnya sendiri merupakan jawaban yang paling tepat.
“As The Gods Will” adalah pembuktian dimana sebuah film yang isinya hanya
rentetan adegan kejam dan tidak berotak dan minim pendalaman karakter pun bisa
menjadi bagus dengan syarat digarap dengan begitu total. Dan tentunya tidak
melupakan sisi ‘hiburan’ yang merupakan core
dari sebuah film.
7,5 / 10
izin menyimak gan
BalasHapusmonggo monggo silakan.
HapusThanks atas kunjungannya ^_^
Gan,kan pada diakhir film itu ada orang Brewok,nah itu siapa ya,,respon cpat tolong gan
BalasHapusHarusnya sih God
HapusGan,kan pada diakhir film itu ada orang Brewok,nah itu siapa ya,,respon cpat tolong gan
BalasHapusIjin balas😅. Orang brewok yang di scene terakhir itu Kami-sama. Kuncinya pas si Matrioska ngomong, "Daruma.. Manekin Neko.. Kokeshi... Shirokuma... Matrioska.. Kami". Seperti permainan kata.Nah, pas endingnya muncul si bapak berewok dan narator langsung bilang "Kami" yang berarti Tuhan/Dewa.
HapusTuhan pencipta game ini
BalasHapusOrang brewokan itu kayak yg di yakuza apocalypse yg dia mati dibunuh mad dog greget :v
BalasHapusSayang gk ada sekuel film keduanya.
BalasHapusPadahal agak nggantung itu endingnya
Jalan ceritanya agak jauh dari manga nya. Si Shun seharusnya dihukum sama Kami. Kalaupun dibuat season 2, mungkin akan mengikuti manga lanjutannya.
BalasHapusNama manganya apa bang ?
HapusGore nya yang menjadi point apalagi pas kepala mereka meledak. Fiuh...
BalasHapusNgagantung nya tuhh kenapa di akhir film ada seseorang yg bicara akan menyelamatkan dunia seolah-olah ada lanjutan dari film tsb atau memang ada? Saya tdk begitu update jikalau tidak ada kenapa harus ada yg berbicara seperti itu? Atau di manga nya memang tdk ngegantung seperti di film? Saya hanya menikmati film nya :D
BalasHapusdaaaa ruuuu mmmmaaaa sannnn .. boneka yang paling nyebwlin hh
BalasHapusmestinya ada lanjutannya ni..
BalasHapusGantung banget
mestinya ada lanjutannya ni..
BalasHapusGantung banget
gue baru nonton ini film, harus ada kelanjutannya sih gantung banget
BalasHapus