“Love and Mercy” merupakan biopic dari Brian Wilson, musisi dan
produser rekaman ternama dari California. Ia juga merupakan co-founder dari band terkenal, “The
Beach Boys” yang telah menelurkan salah satu album terbaik sepanjang masa
berjudul “Pet Sounds” tahun 1966. Apa yang membuat Brian Wilson begitu diakui
sebagai musisi jenius adalah dari caranya yang tidak biasa dalam mengaransemen
lagu. Baik itu dari komposisi nada maupun penambahan sound tidak lazim di tiap lagunya, seperti bunyi hewan, bel sepeda,
hingga klakson mobil. Inspirasi dalam bermusiknya pun unik dimana ia sering
mendengarkan lantunan bunyi-bunyi ajaib yang tiba-tiba terdengar di telinganya.
“Love and Mercy” ini berfokus pada dua
setting, antara tahun 1960-an ketika Brian Wilson (Paul Dano) masih mereguk
banyak kesuksesan lewat “The Beach Boys” yang juga beranggotakan dua adiknya,
sepupu, dan seorang temannya. Hingga kemudian terjadilah panic attack yang membuat ia untuk rehat dari konser live dan lebih memilih untuk bekerja di
studio yang kemudian melahirkan “Pet Sounds”. Setting kedua adalah di tahun
1980-an ketika Brian Wilson (John Cusack) divonis oleh Dr. Eugene Landy (Paul
Giamatti) mengidap paranoid schizophrenic
serta hubungan asmaranya dengan seorang sales mobil Cadillac, Melinda Ledbetter
(Elizabeth Banks).
Sudah cukup banyak memang beberapa
film yang diangkat dari kisah nyata seorang jenius lengkap dengan segala
permasalahan psikologinya. Dan kisah Brian Wilson dalam film ini memiliki
kemiripan konflik dengan biopic dari
John Nash (Russell Crowe) dalam film “A Beautiful Mind” (2001). Hanya bedanya
bila permasalahn John Nash lebih ke arah visual lewat perwujudan tiga sosok
misterius yang menghantui hidupnya, sedangkan Brian Wilson berupa suara-suara
yang sering mengacaukan pikirannya. Dari keduanya pula karakter love-interest memberikan peran yang
begitu besar sebagai pendukung dari permasalahan yang tengah dihadapi oleh
karakter utama tersebut. Keduanya jenius di bidangnya dan sama-sama memiliki
masa pasang-surut dalam hidupnya, apalagi terpaan masalah psikologi yang
tentunya berpotensi membuat penonton merasa larut dalam karakter tersebut. Dua
performa terbaik dalam memerankan Brian Wilson (terutama Paul Dano) mampu
berjalan begitu selaras dan porsi keduanya berimbang dalam menghidupkan karakter
yang sama di dua dimensi waktu yang berbeda.
Dua setting yang berisi masa-masa
kesuksesan dan kemunduran Wilson itu dihadirkan dengan plot yang maju mundur namun
masih tetaplah mudah untuk diikuti. Pembangunan karakter dari Brian Wilson ini
begitu sangat kuat. Pertama untuk versi 60-an kita akan melihat seorang Wilson
yang begitu jeniusnya dalam meracik sebuah lagu. Berbeda dengan musisi lain
yang mungkin menuruti selera pasar, Wilson berdiri dengan gayanya sendiri meski
selalu mendapat pertentangan dari sepupunya, Mike Love (Jake Abel) dan ayahnya,
Murry (Bill Camp). Caranya dalam menciptakan sebuah lagu pun tidaklah biasa dan
ia dikenal karena talenta tersebut. Dalam salah satu adegan ia diceritakan
saling bertentangan dengan Mike Love dengan alasan bahwa Wilson banyak
memasukkan ‘dialog-dialog yang tidak penting’ ke dalam lagu. Mengapa bisa
begitu ?. Brian Wilson beralasan bahwa setiap suara yang keluar dalam
pikirannya akan ia tuangkan ke dalam lagu. Apapun suara yang muncul itu. Namun
siapa sangka, suara-suara itulah yang kelak menjadi bumerang untuk dirinya
sendiri.
Dalam setting 80-an kita tidak akan
lagi menemui Brian Wilson yang ceria dan bergairah di dalam studio rekaman.
Yang ada kita akan melihat sosok pria paruh baya yang begitu depresif, cukup
berantakan, dan dari penampilannya pun akan jauh dari image musisi ternama. Seseorang yang bisa dijadikan alasan mengapa
Wilson menjadi seperti itu tidak lain adalah sang terapis yang dikenal radikal,
Dr. Eugene Landy. Cara-cara yang ia tempuh demi mengobati Wilson justru semakin
memperparahnya, apalagi vonis yang ia jatuhkan pada akhirnya tidaklah terbukti.
Kesan depresif itu semakin terasa tatkala Landy begitu over-protective pada Wilson. Dan di saat itulah peran Melinda
Ledbetter sangat dibutuhkan sebagai tempat mencurahkan isi hati Wilson. Ia
adalah sosok wanita yang ‘mungkin’ tidak ia temukan pada isteri pertamanya,
Marilyn (Erin Darke). Sayangnya, karakter Marilyn memiliki porsi sedikit untuk
ditampilkan dan penggaliannya juga dangkal. Dengan alasan itu, penonton kurang
memahami konflik apa yang membuat Brian Wilson dan Marilyn bisa berpisah.
Kedangkalan lainnya juga terdapat pada
minimnya pembangunan emosi pada masa treatment-nya
Wilson. Rasanya seolah tidak ada tekanan yang begitu berat dari Dr. Eugene
Landy pada Wilson, kecuali pada salah satu adegan makan hamburger. Akibatnya, suasana
depresif yang seharusnya juga dirasakan oleh penonton jadi terasa begitu hambar
dan simpati pun tidak mengalir untuk Wilson. Sang sutradara, Bill Pohlad, juga terasa
sangat buru-buru untuk segera mengakhiri film di saat karakter Wilson sendiri
sudah mulai terbangun dengan kuat. Chemistry
Wilson dan Ledbetter sangat bagus, tapi temponya terlalu cepat untuk membuat mereka jatuh cinta. Karakterisasi
dan performa jajaran cast-nya sangat
memperkuat film ini, tapi Bill Pohlad masih kurang bagus dalam mengemas nuansa
yang ada dan kurang berhasil mengikat erat. Untung saja skoring musik ambient yang indah dari Atticus Ross
sanggup mengisi kekosongan itu. Lagu-lagu lama dari “The Beach Boys” yang
diaransemen ulang pun begitu easy
listening dan semakin membuat saya betah untuk mengikuti biopic Brian Wilson ini.
“Love and Mercy” adalah kisah hidup si
jenius yang tengah mengalami masa keterpurukan dan menemukan cinta di sana.
Sebuah cinta sejati yang dibuktikan tanpa memandang kekurangan dan bersiap
menjadi pendukung di kala duka. Meski masih banyak kekurangan, “Love and Mercy”
mampu memikat lewat karakter yang menarik dan tidak lupa suguhan lagu-lagu asyik
dari musisi legendaris.
7 / 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !