Film dengan konsep cerita mimpi
seorang anak memang sudah banyak bertaburan. Salah satunya adalah film dari
Australia arahan Robert Connolly ini. Hanya bedanya, “Paper Planes” menggunakan
tema yang cukup langka, yaitu lomba menerbangkan pesawat kertas. Ya, saya
sendiri pun baru kali ini mengetahui bahwa pesawat kertas pun mampu dilombakan.
Tipikal film family semacam ini mudah
ditebak akan berakhir dengan happy ending,
tapi dalam pengembangannya tentunya sanggup memunculkan nuansa yang begitu
hangat dan ceria. Cara penyampaiannya yang juga ringan membuat feel-good movie seperti ini mudah untuk
dicerna dan disukai.
Setelah diperkenalkan oleh guru dari
Melbourne, Dylan (Ed Oxenbould) memiliki harapan yang begitu besar untuk bisa
berkompetisi dalam perlombaan pesawat kertas tingkat SD seluruh Australia. Dengan
harapan besar, jika lolos dalam tahap tersebut ia sanggup mengikuti kejuaraan
dunia di Tokyo, Jepang. Sang ayah, Jack (Sam Worthington) rupanya masih berduka
dengan kepergian sang istri, berakibat buruk pada pekerjaannya dan
tanggungjawab pada Dylan. Bersama sang kakek, George (Terry Norris), dan banyak
teman-temannya, ia berjuang keras untuk bisa memenangkan kejuaraan itu.
Film ini dibuka dengan proses
pembuatan kertas dari sebuah pabrik besar hingga distribusinya ke daerah-daerah
terpencil. Kemudian, sampailah pada sekolah dimana Dylan berada. Ya, Dylan
tinggal dan bersekolah di daerah tandus Australia. Dari situlah ia mulai
mengenal pesawat kertas lebih dalam lagi dengan dukungan sang guru dari
Melbourne dan Pak Hickenlooper (Peter Rowsthorn). Percobaan pertamanya sendiri
telah melebihi jarak 25 meter, yang tentunya kesempatan terbuka bagi Dylan
untuk berlomba di tingkat nasional. Sebenarnya saya cukup menyayangkan terlalu
seringnya penggunaan CGI di sepanjang film dalam membalut pesawat kertas yang
sedang terbang, berpotensi besar mengurangi nilai realistisnya. Tapi semua
seakan tidak menjadi masalah berarti dengan kekuatan drama yang dihadirkan,
baik itu dari aspek kekeluargaan hingga persahabatan. Semua tersaji dengan
begitu rapi dan menyegarkan ditunjang akting dari Ed Oxenbould yang cukup
menghidupkan suasana.
Sang ayah, Jack, yang hobi tidur,
seolah-olah seperti orang yang tidak peduli akan masa depan anaknya. Bahkan
dalam babak penyisihan menuju Sydney saja Jack tidak hadir. Tapi seiring waktu,
Jack mulai meluapkan kepeduliannya dengan mengantarkan Dylan menuju Sydney
hingga menjual barang-barang lama untuk biaya perjalanan Dylan ke Jepang. Pencuri
perhatian di sini adalah George, kakek Dylan yang absurd, lucu, dan dijamin mengundang simpati penonton. Dibanding
dengan Jack, kakek George dengan mudahnya menunjukkan kasih sayangnya dan
kepeduliannya kepada Dylan lewat cara-cara konyol namun menyenangkan, seperti masuk
diam-diam ke museum pesawat yang ternyata juga demi membangkitkan gairahnya di
masa muda yang seorang pilot tempur. Meski porsi kemunculan George di sini
tidaklah banyak, tapi perannya mampu memberikan energi yang kuat bahkan jika
dibanding dengan Jack yang seorang ayah. Karakter Jack sendiri terlihat seperti
maju-mundur alias tidak konsisten, terkadang ia mendukung penuh Dylan tapi di
momen yang lain ia seakan lepas tangan.
Sebagai penyeimbang bagi Dylan yang
merupakan karakter utama, maka diciptakanlah Jason (Nicholas Bakopoulos-Cooke)
yang merupakan pesaing senegara. Berbeda dengan Dylan, Jason terlihat lebih
angkuh, cynical, dan memiliki
kepercayaan diri begitu tinggi untuk bisa mengalahkan lawan-lawannya. Ia juga
digambarkan kurang hangat dengan ayahnya melalui caranya memanggil dengan sebutan
nama saja. Namun, Robert Connolly rupanya kurang menggali lebih dalam karakter
Jason ini, seperti alasan di balik dinginnya hubungannya dengan sang ayah. Pun
begitu dengan karakter Kimi (Ena Imai), sahabat baru Dylan dari Jepang, yang
kurang dieksplorasi lebih dalam lagi.
Tapi melihat persaingan antara Dylan
dengan Jason di sini memang cukup menarik untuk dikupas, terutama dari latar
belakang mereka berdua. Keduanya memiliki sisi opposite yang begitu kuat, Dylan yang besar di lingkungan pedesaan
banyak belajar mengenai pesawat kertas melalui alam, dengan melihat cara
terbang Clive, elang yang selalu ia beri makan. Sedangkan Jason yang putra
seorang atlet ternama dan memiliki status sosial lebih tinggi, menggunakan
teknologi modern untuk melatih kemampuan terbang pesawat kertas hasil
lipatannya. Perbedaan kontras keduanya sangat menarik sekali untuk dilihat
seberapa jauh kemampuan mereka dalam menghempaskan pesawat kertas.
Setelah menikmati “Paper Planes”
hingga paruh menjelang akhir, mulailah terasa bagian yang kurang dalam film
ini, yaitu konflik. Tidak ada konflik berarti untuk diangkat ke dalam film ini.
Terasa sangat datar dan berimbas pada minimnya emosi yang ditimbulkan. Padahal,
jika adegan ‘kecelakaan’ menjelang akhir tersebut mampu dikembangkan oleh
Robert Connolly dengan lebih kompleks, dapat dipastikan “Paper Planes” sanggup mempermainkan
emosi lebih dalam lagi. Hambarnya emosi rupanya menimpa pada bagian momen-momen
vital lainnya seperti lolosnya Dylan dari satu turnamen ke turnamen yang lain.
Saya sebagai penonton pun tidak merasakan atmosfir yang begitu besar terasa pada
momen tersebut. Namun di balik kurang sempurnanya, “Paper Planes” masih cukup
menghibur sebagai suguhan yang begitu ringan dan hangat. Berbagai macam model
pesawat kertas juga ditampilkan, tapi kembali lagi kurang begitu diperkenalkan
lebih rinci.
6,5 / 10
| POKER | DOMINOQQ | CEME | CAPSA | SUPER10 (new Games) | OMAHA (new Games)|
BalasHapus|BCA | MANDIRI | BNI | BRI | DANAMON |
Kami menerima Transaksi di Semua Bank Nasional + Daerah
Bonus S/D 10 % KHUSUS MEMBER BARU * Bonus Cash Back setiap minggu nya
KAMI SIAP MELAYANI ANDA 24 JAM SETIAP HARINYA
WhastApp : 0812-9608-9061
Lnk : WWW. POKERAYAM. TOP