Bicara soal film bertemakan time machine, kita sering disuguhkan dengan
sebuah konsep cerita yang begitu rumit dan cukup memusingkan. Sebut saja
“Predestination” (2014) dengan paradox-nya
atau “Project Almanac” (2015) lewat space-time
continuum-nya. Selain dua film tersebut, tentunya masih banyak lagi
film-film bernafaskan ‘waktu’ yang seakan tidak ada habisnya dibuat.
Memusingkan memang, tapi di baliknya tertanam sebuah teki-teki yang penuh
dengan keasyikan untuk terus diikuti. “Time Lapse” karya debut Bradley King ini
merupakan salah satu yang patut ditonton. Perkawinan antara sci-fi dengan thriller-nya melebur menjadi sajian yang menegangkan sekaligus
menghibur.
Tiga remaja biasa-biasa saja,
Finn (Matt O’Leary), Callie (Daniella Panabaker) dan Jasper (George Finn),
dikagetkan dengan penemuan mesin aneh di kamar apartemen tetangganya. Mesin
tersebut berbentuk kamera polaroid besar yang mengarah langsung ke ruang tamu
mereka bertiga. Anehnya, mesin polaroid tersebut dapat mengambil gambar atas
kejadian yang akan terjadi hari esoknya di ruang tamu mereka. Sekali melihatnya,
mereka harus menirukan apa yang ada dalam foto itu sesuai waktu di esok
harinya. Jika tidak, mereka akan tertimpa kesialan seperti pemilik sebelumnya.
Komedi di bagian awalnya cukup
efektif sekali untuk memancing atensi saya demi menikmati film ini. Tapi coba
lihat, saya tidak memasangkan label comedy
dalam ulasan film ini. Sebab, komedi yang disajikan begitu minim atau hanya
berada di bagian menit-menit awal saja. Sangat disayangkan karena Bradley King
kurang konsisten dalam mengembangkan komedi di awal tersebut. Jika ia sanggup
meletakkannya sebagai stimulus di depan, maka alangkah baiknya ia melanjutkan
apa yang telah dimulai. Tapi selanjutnya, dengan cepatnya Anda akan langsung dihadapkan
pada topik utama berupa penemuan mesin polaroid yang telah saya jelaskan
sebelumnya. Terburu-buru kah King ketika mengarahkan penontonnya menuju awal
konflik tersebut ?. Memang terasa seperti itu. Ibarat makan di restoran,
langsung saja melahap main course sebelum
merasakan appetizer-nya. Tapi untung saja King dapat memanfaatkan waktu
hingga akhir itu dengan baik untuk memperkenalkan para karakter dan konflik
utama yang cukup rumit.
Konsep dari film ini sendiri
memang menarik. Berbeda dengan film bertemakan ‘waktu’ lainnya, “Time Lapse”
tidak memperkenalkan kita pada ‘perjalanan waktu’, melainkan sebuah mesin yang
dapat melihat ke ‘depan’. Kemampuannya sendiri dapat mengambil gambar atas apa
yang akan terjadi di kemudian hari. Finn, Callie, dan Jasper adalah bagian dari
subjek mesin ini. Mereka bertiga merasa bahwa sehari-harinya telah diawasi oleh
si pemilik mesin yang ternyata sudah tewas sebelumnya. Dari sini, unsur thriller-nya begitu terasa kuat sekali dengan
insiden stalking itu. Permasalahan
mulai memuncak ketika mereka bertiga mencoba memanfaatkan mesin yang telah
ditinggalkan tersebut demi meraup keuntungan sendiri, seperti memenangkan
perjudian. Bagian ini memang bukanlah hal yang baru lagi, time machine selalu melahirkan kesenangan-kesenangan pada manusia dengan
pemikiran pendek. Tentunya dapat dengan mudah diprediksi, bahwa kesenangan
tersebut merupakan awal dari segala bencana yang muncul kemudian.
King dengan cukup piawai menggiring
penonton untuk terus anteng mengikuti setiap pengalaman-pengalaman misterius
Finn dan lainnya. Rasa penasaran penonton pun berhasil terpancing dengan baik. Satu
demi satu misteri mulai berhamburan keluar menuju bagian yang utuh. Naasnya, misteri
yang muncul berurutan melalui foto ‘hari esok’ itu memang terasa repetitif dan
tidak berujung. Pada bagian confrontation
inilah King dituntut untuk memunculkan permasalahan baru yang lebih
kompleks. Maka diciptakanlah karakter orang luar yang mulai ambil bagian dalam
masalah yang dihadapi trio tersebut. Kekerasan-kekerasan yang brutal namun
menyenangkan lewat adegan berdarah-darah juga dengan baik dihadirkan oleh King.
Karakternya memang tidak terlalu dalam digali, tapi sanggup tampil ‘gila’ lewat
transformasi dari biasa-biasa saja menuju manusia brutal di luar logika. Misteri
beserta kegilaannya berjalan seimbang dan dinamis.
Ternyata, bukan tanpa cela
film ini dibuat. Bradley King dapat menghadirkan cerita yang bagus tapi tidak
diimbangi dengan pengemasan yang bagus pula, seperti sinematografi yang buruk
dan skoring yang kurang mengena layaknya film-film thriller. Akting para cast-nya
juga terlampau standard, akibatnya tidak
mampu membangkitkan sisi emosionalnya. Tapi semuanya kekurangan itu sudah dapat
dimaafkan lewat pembangunan cerita yang kuat lewat naskah yang ditulis oleh BP
Cooper dan Bradley King sendiri. “Time Lapse” semakin kuat lagi ketika mencoba
menyelipkan hal-hal yang menyinggung soal ‘ketamakan’, baik itu materi/uang dan
juga nafsu. Twist di bagian akhir
sempurna menjadi klimaks tanpa harus tampil bodoh. Walau berlabelkan independent, King dapat membuktikan potensinya
sebagai sutradara yang patut diperhitungkan lewat karya perdananya ini. Mengesankan
bahkan hingga akhir. Salah satu yang terbaik untuk film-film di kelasnya maupun
di tema yang serupa.
7,5 / 10
jadi mau coba notnon ini juga deh
BalasHapussusu kaleng