Melihat jauh-jauh hari info
beserta posternya tanpa perlu membaca sinopsisnya, “Southpaw” seolah magnet
yang mudah menarik banyak kalangan khususnya di bagian jajaran cast-nya. Ya, di sana ada Jake
Gyllenhaal yang juga dikenal jago menaik turunkan berat badan demi
peran-perannya. Ia juga termasuk aktor yang pintar dalam memilih-milih peran
kecuali jika “Prince of Persia” (2010) tidak masuk dalam hitungan. Memilih
“tinju” sebagai tema film, mengingatkan kita pada beberapa film dengan tema
serupa bahwa betapa mudah sekali untuk dilirik oleh berbagai penghargaan bergengsi.
Namun, apakah benar dengan pemilihan tema yang terlihat ‘menggiurkan’ itu
benar-benar sanggup menarik hati para juri dari penghargaan bergengsi untuk
memasukkannya dalam daftar “film terbaik” ?.
Billy Hope (Jake Gyllenhaal)
adalah petinju kelas dunia yang telah mengantongi rekor 43-0 tak terkalahkan.
Dalam setiap pertandingan, kekuatannya akan semakin terpacu bila ia semakin
sering mendapatkan pukulan bertubi-tubi dari lawan-lawannya. Meski gampang
‘menggila’ di atas ring, ia dikenal lemah lembut dan sangat menyayangi istrinya,
Maureen (Rachel McAdams) dan putri semata wayangnya, Leila (Oona Laurence).
Suatu ketika ada insiden yang dipicu oleh pesaingnya yang akhirnya berbuntut
pada kehancuran karirnya dan kehilangan hak asuh atas anaknya. Bersama pelatih
baru, Tick (Forest Whitaker), ia siapkan pertandingan balasan.
Kembali lagi, dalam setiap
film bertemakan tinju, “keluarga” merupakan konflik terbesar yang selalu
ditekankan. Benar saja, tinju merupakan olahraga keras yang tidak sedikit
menciptakan banyak tentangan dari pihak terdekat, khususnya keluarga. Pun
begitu dengan yang dihadapi oleh Billy Hope. Secara halus ia mendapatkan
sedikit tentangan dari sang istri yang begitu ia cintai. Namun pride seorang petinju akan selalu saja
mencari celah untuk mendobrak batasan-batasan tersebut. Menempatkan konflik
keluarga sebagai rintangan di sini tentunya sudah bukan hal yang baru lagi.
Apalagi tidak lama kemudian ada sebuah insiden yang menghancurkan karirnya
hingga tercabutnya hak asuh untuk anaknya, semakin menguatkan kesan klise dan predictable pada film ini. Di sini saya
merasa bahwasanya “Southpaw” terlalu bermain ‘aman’ lewat naskah yang ditulis
oleh Kurt Sutter. Konflik yang ada terasa sangat ringan dan cenderung datar,
bila melihat tema yang diangkat adalah sesuatu yang ‘berat’.
Mudahnya saja bila
dideskripsikan secara singkat maka “Southpaw” berkisah tentang proses
bangkitnya seseorang yang telah jatuh demi kembali mendapatkan ‘nama’ dan
tentunya kepercayaan dari orang terdekat (anak). Sungguh sangat ringan bukan ?.
Bahkan tidak butuh waktu lama, film ini pun dengan mudahnya tertebak kemana
berakhirnya cerita. Penggunaan karakter ‘anak’ di sini dimaksudkan sebagai
stimulus bagi karakter utama untuk bisa bangkit dari keterpurukan yang
merupakan bagian dari konflik. Sayangnya dengan banyak fokus pada karakter
‘anak’ itu pula, “Southpaw” malah terasa seperti drama keluarga mainstream dan menjauhkan diri dari sport drama. Aura tinju sebagai olahraga
yang garang pun tiba-tiba saja meredup dan hanya menyisakan drama tentang ayah
dan anak. Tanpa mencoba bermaksud memberikan spoiler, klimaksnya tentu di isi dengan pertandingan sang Billy
“The Great” Hope dalam proses mendapatkan kembali nama besarnya. Sayangnya,
pertandingan terakhir itupun tidak cukup mampu menyelimuti “Southpaw” dengan
aura tinju yang kental.
Kemudian kita mengenal
karakter Tick, seorang pemilik sasana tinju yang nampak begitu ‘dingin’ dengan
pilih-pilih orang yang hendak dilatih. Untuk karakter yang semacam ini,
biasanya mereka memiliki masa lalu yang pahit yang kemudian membentuk jati
dirinya di masa kini. Dan karakter ‘dingin’ seperti ini pula biasanya justru
memiliki inner sebagai seorang yang
berhati lembut dan peduli. Apakah saya salah ?. Sialnya saya benar dan
“Southpaw” kembali lemah di bagian supporting
character. Bergabungnya Billy dengan Tick pun mengisyaratkan bila ia akan
mendapat gemblengan yang akan membuatnya lebih kuat untuk bisa mengalahkan
lawan utamanya di klimaks. Namun sayangnya proses melunaknya seorang Tick yang
terlihat ‘dingin’ itu pada Billy saya rasa terlalu cepat dan Antoine Fuqua
selaku sutradara pun terlihat terburu-buru sekali mengejar durasi film.
Karakternya kurang begitu tergali padahal ia memiliki posisi yang sangat vital.
Sebelumnya saya sendiri sempat berharap bila karakter ‘dingin’ ini bisa seperti
karakter yang dimainkan Clint Eastwood dalam “Million Dollar Baby” (2004). Pria
tua yang dingin nan kolot, namun menyimpan kelembutan di dalamnya.
Pada akhirnya “Southpaw”
hanyalah film medioker yang lebih mengutamakan style ketimbang substance.
Ia nampak begitu gahar di bagian luar, namun lembek di dalam. Harapan melihat
aura tinju yang kuat di sepanjang film pun hanya berakhir sebagai tempelan
semata dimana drama ayah dan anak itu pun juga kurang mampu mengambil simpati
saya sebagai penonton. Dari kesekian banyaknya kekurangan yang ada, untung saja
performa Jake Gyllenhaal (termasuk permainan berat badannya) dan Forest
Whitaker mampu menyelamatkan film, di saat karakter yang dimainkan pun tidaklah
begitu charming. Dibandingkan dengan
film yang dari luar sudah terlihat medioker, “Southpaw” lebih menyebalkan lagi
ketika ia potensial menjadi bagus justru tidak dikembangkan dengan baik oleh
Antoine Fuqua. Ujung-ujungnya ia pun menyia-nyiakan Gyllenhaal dan Whitaker yang
bertalenta tinggi. Naskahnya pun juga sangat standard bila tidak ingin disebut buruk. Dengan segala kekurangan
di berbagai lini, maka jelas sudah bila “Southpaw” masih jauh dari harapan demi
masuk di penghargaan prestisius, khususnya untuk “film
terbaik”.
5,5 / 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !