Film mystery “whodunit” atau “Who [has] done it” selalu menyajikan
cerita yang mengasyikkan karena penuh dengan teka-teki dan kompleks. Sesuai
namanya, film “whodunit” menggunakan tema berupa misteri dari pelaku utama
dalam setiap konflik yang dihadirkan dalam film tersebut. Kebanyakan, genre lain seperti crime dan thriller ikut
bersanding untuk memaksimalkan kompleksitas dari keseluruhan cerita. Tentu
saja, dalam tipikal film seperti ini akan banyak sekali plot twist yang disebar sepanjang durasi,
baik itu yang bersifat cerdas maupun sebaliknya. “Dark Places” banyak menyajikan
hal tersebut, tapi cukup disayangkan tidak dikemas dengan rapi dan cenderung overplotting.
Seorang gadis kecil bernama
Libby (Sterling Jerins) menjadi saksi atas pembunuhan ibu dan kedua kakak
perempuannya oleh kakak laki-lakinya sendiri, Ben (Tye Sheridan). 30 tahun
berlalu, Libby dewasa (Charlize Theron) mendapat undangan dari Lyle Wirth
(Nicholas Hoult) untuk mengikuti “Kill Club” dalam pembuktian ketidakbersalahan
Ben. Awalnya Libby menolak, tapi iming-iming uang dari Lyle telah meyakinkannya.
Meskipun sebelumnya Libby yakin bahwa Ben adalah pembunuhnya, sedikit demi sedikit
keyakinan tersebut goyah dan dimulailah investigasi sendiri untuk mengungkap
pelaku sesungguhnya.
Sebelum saya mengulas lebih
lanjut soal film ini, ada baiknya jika saya jelaskan sedikit mengenai “Kill
Club”, yaitu sebuah klub tempat berkumpulnya para mantan polisi hingga
pengacara dalam mengungkap kasus kriminal yang masih menyimpan misteri. Di film
ini, Ben disebut-sebut tidak bersalah atas pembunuhan terhadap seluruh
keluarganya, kecuali hanya menyisakan lone
survivor, Libby. Sedangkan pernyataan Libby sewaktu kecil pun masih
diragukan kebenarannya.
Konflik yang dihadirkan dalam
film ini persis dengan apa yang ada dalam film “Atonement” (2007), kesaksian
meragukan seorang gadis kecil yang berujung menderitanya seseorang di sepanjang
hidupnya. Melalui sudut pandang Libby, ia sudah tidak peduli lagi dengan benar
atau tidaknya apa yang telah ia lihat sewaktu kecil. Sebab, apa yang tersisa
dalam hidupnya hanyalah sakit hati dan penderitaan yang berujung pada penolakan
pemberian maaf. Anehnya, jika Ben merasa tidak bersalah, mengapa ia hanya diam
saja tanpa mengajukan banding ?. Ternyata semua itu disimpan di bagian belakang
dengan alasan yang begitu kelewat ‘konyol’.
Masa-masa berat karakter Libby
memang berpotensi mengundang simpati. Berawal dari sebuah keluarga yang damai
di Kansas, dalam waktu semalam berubah menjadi sebuah pembantaian seperti dalam
film based true story, “In Cold
Blood” (1967), atau versi lainnya, “Capote” (2005). Charlize Theron cukup bagus
dalam memerankan seorang fighter dari
masa lalu yang kelam, serba kesulitan uang serta pekerjaan. Alasan itu pulalah
yang mendorongnya dengan terpaksa ikut dalam “Kill Club”. Dari voice over-nya sudah mampu tergambar
bahwa Libby yang awalnya tidak peduli soal Ben (Corey Stoll, versi dewasa), selanjutnya
akan bertindak sebaliknya. Untuk karakter lain seperti Lyle yang diperankan
Nicholas Hoult memang tidaklah terlalu besar, selain hanya berfungsi sebagai plot device. Sedangkan Chlöe Grace Moretz yang lagi-lagi berperan sebagai gadis bitchy, justru memiliki andil cukup besar
jika melihat kemunculan pertamanya hanya terlihat sebagai
‘pendukung’.
Naskah yang ditulis oleh
Gilles Paquet-Brenner ini menawarkan sesuatu yang boleh dibilang bukan hal baru
lagi. Proses pencarian fakta-fakta lewat penggalian dengan jumlah karakter yang
banyak, secara krusial menciptakan overplotting.
Tentunya, overplotting tersebut hanya
berakhir dengan berputar-putar pada area yang sama dan cenderung datar. Jika
pada paruh awal pencarian fakta tersebut menciptakan kesan yang seru dan
berliku-liku, saya pun juga merasakan hal yang sama. Tetapi, lambat laun di
bagian confrontation atau second act-nya tidak mengalami kenaikan
yang berarti. Hasilnya, kebosananlah yang muncul. Gilles Paquet-Brenner (merangkap
sutradara) juga mencoba untuk menambahkan hal-hal berbau mistis semacam satanism atau occultism dengan tujuan selain lebih menarik, penuh harapan bahwa
penonton akan terseret ke arah tersebut. Sayangnya, kembali lagi decoy semacam itu kurang efektif dalam
mempengaruhi.
Bila “Dark Places” banyak
kekurangan dari segi teknikalnya, tidak bagi kehadiran konflik dari tokoh sentralnya,
Libby. Seperti yang saya tuliskan di atas bahwa Libby sanggup memunculkan
simpati bagi penonton. Pasca pembantaian, ia sempat ‘terkenal’ dan punya cukup
uang makan lewat kisah tragisnya yang ditulis ke dalam buku. Semakin
bertambahnya usia, rupanya ia telah kehilangan pemerhati dan hidupnya semakin
kacau. Pergolakan batin pun ia alami saat harus bersikukuh bahwa Ben bersalah
dan harus dipenjara, atau menganggap kesaksiannya hanya sebatas pandangannya
yang masih dangkal ketika kecil. Di sini, Libby punya dua pilihan yang begitu
sulit dan di saat yang bersamaan pula, perasaan benci telah benar-benar menutup
hatinya.
Secara keseluruhan, “Dark
Places” memang masih banyak sekali kekurangannya. Pembangunan aspek visual
seperti sinematografi hingga skoring pun kurang mampu membangkitkan ketegangan
jika melihat ini adalah film thriller.
Twist kecil yang muncul di belakang
pun terasa begitu konyol dan menggelikan. Tapi lewat karakter Libby, film ini
cukup mempunyai ‘hati’.
6 / 10
saya habis mereview film ini, walaupun hanya sebagai penonton awam, tapi ternyata pikiran kita hampr sama kalau menonton film ini akan teringat tema yang sama yang pernah diusung Atonement, hehe
BalasHapus