Perang adalah gambaran nyata dari horror yang begitu ditakuti, dibenci,
dan dikutuk. Namun, bagaimana dalam konflik berupa perang ‘fisik’ tersebut semakin
diperparah dengan perang ‘batin’ ?. Mungkin sudah tidak mampu tergambarkan lagi
betapa mengerikannya perang semacam itu. Dua hal mengerikan itu rupanya dapat
dihadirkan dengan begitu ‘indah’ oleh Christian Petzold dalam filmnya yang
berjudul “Phoenix” ini. “Phoenix” nyatanya sungguh lengkap dalam menyuguhkan
segala konfliknya, tidak hanya terasa miris semata, tapi juga terasa
‘menyentuh’ lewat romansanya. Saya sebagai penonton pun mampu dibawa masuk ke
dalam cerita, memahami dan merasakan dengan sungguh-sungguh segala permasalahan
yang tengah dialami oleh para pelakunya. Jika diperhatikan lebih seksama, “Phoenix”
ini sedikit memiliki DNA dari “Vertigo” (1958) milik Alfred Hitchcock.
Bersettingkan Kota Berlin Barat pasca
Perang Dunia II, “Phoenix” bercerita mengenai Nelly Lenz (Nina Hoss) yang mulai
membangun hidupnya setelah lepas dari kamp konsentrasi. Nelly yang sebelumnya
seorang penyanyi di klub malam, harus menanggung beban dengan pergantian
wajahnya melalui operasi plastik akibat terluka parah. Tentu saja, hal tersebut
berpotensi membuat suami yang dicintainya, Johnny (Ronald Zehrfeld) tidak lagi
mengenalinya. Sahabat baiknya, Lene Winter (Nina Kunzendorf) meyakinkan Nelly
untuk tidak lagi mencari Johnny yang telah mengkhianati cintanya. Namun, cinta
Nelly yang besar mengharuskannya untuk menemukan Johnny.
Keadaan di Jerman kala itu benar-benar
hancur berantakan. Berlin pun luluh lantak bagaikan kota mati. Korban
berjatuhan pun tentunya sudah tidak terhitung. Keadaan miris tersebut berjalan seirama
dengan apa yang dialami oleh Nelly. Seluruh hidupnya hancur. Ia kehilangan
wajah aslinya yang dapat menjadi penghubung antara ia dengan suaminya yang
menghilang. Apartemen tempat tinggalnya pun juga sudah lenyap, begitu pula
dengan teman-temannya yang tewas dalam serangan. Singkatnya, sudah tidak ada
harapan dan tidak ada masa depan lagi bagi Nelly. Akan tetapi, kekuatan
cintanya yang besar akhirnya telah menjadi penunjuk bertemunya kembali pada
sang suami di sebuah klub malam di antara reruntuhan bangunan. Klub malam itu
bernama Phoenix. Tentunya sang suami, Johnny, tidak mengenali bahwa wanita yang
memanggilnya berkali-kali tersebut adalah Nelly. Hati wanita mana yang tidak
hancur dibuatnya. Namun, secercah harapan mulai datang melalui reuni di klub
itu.
Pergolakan batin dialami oleh Nelly
dengan menjadikan wajah barunya tersebut sebagai tameng untuk melihat tujuan
‘busuk’ Johnny yang sesungguhnya. Ya, Johnny meminta Nelly yang ‘baru’ itu
untuk berdandan menyerupai Nelly yang ia kenal, dengan harapan dapat mengeruk
keuntungan berupa uang yang banyak. Di samping itu, Lene pun berperan banyak
untuk mengingatkan sahabatnya tersebut terkait ‘rupa’ asli dari Johnny.
Terutama apa yang telah dilakukan Johnny pada Nelly pasca ditangkap, yang
tentunya tidak diketahui oleh Nelly. Tapi kembali lagi, Nelly tetap bersikukuh
untuk terus bersama Johnny dan melupakan segala hal yang telah direncanakan
bersama Lene. Dalam hal ini, Nelly dengan penyamarannya sebagai “Esther” itu
secara tidak langsung merupakan wujud pelepasan kerinduannya pada Johnny. Ia
tahu, tujuan asli Johnny telah menghancurkan perasaannya, tapi tidak ada cara
lain yang lebih tepat untuk bisa bersama suami yang sangat dicintai.
Tempo yang lambat dari “Phoenix”
secara halus menyelipkan kepingan-kepingan misteri yang menunggu penonton untuk
tetap bersabar menyusunnya menjadi satu kesatuan utuh. Sejak menit-menit
pertama, “Phoenix” sangat intens membuat saya bertanya-tanya tentang “apa
maksud dari semua ini” ? hingga “apa yang akan terjadi selanjutnya” ?. Christian
Petzold dengan mahirnya menghadirkan cerita yang sebenarnya jika diuraikan lagi
sangatlah sederhana, namun ia berhasil mengembangkannya menjadi lebih berkarakter
dan padat terasa. Semua itu tidak lain merupakan upayanya dalam memasukkan
permainan emosi dan perspektif, sehingga lika-liku konflik yang ada semakin
menguat. Saya pun merasa ikut terbawa masuk ke dalam cerita yang disampaikan,
dan disaat bebarengan juga merasakan gembira, haru, dan benci. Semua
karakternya pun kaya akan karakterisasi. Anda akan dibuat bersimpati dengan
Nelly, secara berkebalikan akan membenci Johnny. Karakter ambigu dari Johnny
ini sangat menarik lagi untuk dikaji lebih mendalam terkait kecurangannya pada
Nelly dan di saat bersamaan rupanya telah membantu mengembalikan keindahan di masa
lalunya.
Sebagai film bersetting post-holocaust, “Phoenix” secara
gamblang tanpa tedeng aling-aling menghadirkan ‘kengerian’ dan ‘ketakutan’
dengan totalitasnya. Sinematografi dari Hans Fromm turut banyak membantu di
sektor tersebut, membuat kita semakin memahami betapa beratnya ‘dua perang’
yang tengah dihadapi si wanita malang bernama Nelly ini. Masa lalunya yang
sempat terenggut memang dapat kembali ia peluk, tapi di saat itu pula masa
depannya seolah lenyap bagai terhempaskan angin. Lagu dari Cole Porter yang berjudul
“Night & Day” yang dinyanyikan di pertengahan film seakan menjadi simbol
bagi masa lalu dan masa depannya. Namun disayangkan, kini ia tengah
terombang-ambing di antara keduanya. Layaknya “Lost in Translation” (2003),
“Phoenix” ditutup dengan ending yang
sederhana tapi sungguh sangat misterius. Ending
yang bisa memunculkan berbagai macam persepsi tersebut sanggup menjawab
semua keraguan-keraguan yang merupakan konflik batin dari karakter utama ini. Penghukuman
yang setimpal kah ?.
“Phoenix” jelas merupakan sebuah masterpiece bernafaskan fiksi-sejarah
yang tidak hanya kaya akan karakterisasi, tapi juga konflik ‘luar-dalam’ yang
menyelimutinya. Ditunjang dengan performa outstanding
para aktor-aktrisnya, “Phoenix” mempersembahkan romansa dalam balutan horror perang. Bukan film yang mudah
diikuti memang, tapi bahan yang sangat menarik untuk didiskusikan. Selesai
menonton pun, saya masih tidak bisa melepaskan ingatan pada film yang indah ini.
9,5 / 10
Kalau blog ini sudah bilang bagus, maka film ini wajib ditonton :)) *brb isi kuota :p
BalasHapuswahh bang Doel bisa aja. Bang Doel malah lebih senior dari saya, hehehe.
BalasHapusSemua kembali ke selera kok Bang Doel. Ya semoga saja selera saya bisa menjadi rekomendasi.
Terima Kasih atas kunjungannya Bang Doel.
| POKER | DOMINOQQ | CEME | CAPSA | SUPER10 (new Games) | OMAHA (new Games)|
BalasHapus|BCA | MANDIRI | BNI | BRI | DANAMON |
Kami menerima Transaksi di Semua Bank Nasional + Daerah
Bonus S/D 10 % KHUSUS MEMBER BARU * Bonus Cash Back setiap minggu nya
KAMI SIAP MELAYANI ANDA 24 JAM SETIAP HARINYA
WhastApp : 0812-9608-9061
Lnk : WWW. POKERAYAM. TOP