“Clouds
of Sils Maria” adalah film yang bercerita mengenai ‘ego’ manusia, terutama
ketakutannya menjadi ‘tua’ dan memilih untuk terjebak di masa lalu. Tentunya,
hal itu merupakan perspektif saya pribadi dalam memahami film ini secara
keseluruhan. Sebab, “perspektif” itulah yang memang dijadikan amunisi oleh
Olivier Assayas (sutradara dan penulis naskahnya), dalam menggiring penonton ke
arah tersebut. Olivier Assayas di sini juga secara tidak langsung melemparkan
pertanyaan bahwa apakah usia atau waktu mampu mempengaruhi perspektif seseorang
terhadap sesuatu. Jika diminta untuk menyamakan, “Clouds of Sils Maria” ini dapat
saya sebut sebagai female version
dari “Birdman” (2014) karya Alejandro G. Iñárritu.
Maria
Enders (Juliette Binoche) adalah seorang aktris (film dan teater) kelas dunia. Bersama
dengan asistennya yang seorang warga Amerika, Valentine (Kristen Stewart), ia
berangkat menuju Zurich untuk menerima penghargaan mewakili Wilhelm Melchior,
seseorang yang telah mengangkat namanya lewat drama teater berjudul “Maloja
Snake”. Tidak disangka, Wilhelm meninggal saat Maria dalam perjalanan. Di saat
malam penganugerahan yang masih menyisakan duka, Maria mendapatkan tawaran
untuk bermain dalam sekuel “Maloja Snake” atas arahan Klaus Diesterweg (Lars
Eidinger). Hanya kali ini, Maria dengan begitu berat hati untuk menerima
tawaran tersebut. Apa yang terjadi ?.
Sebelumnya,
saya harus menceritakan sedikit mengenai drama fiksi dalam film ini yang
berjudul “Maloja Snake”. Mengapa harus, sebab “Maloja Snake” adalah bagian
sentral dari film ini bercerita. “Maloja Snake” ditulis oleh Wilhelm Melchior,
berpusat pada kisah antara hubungan asmara dua wanita, Helena yang berumur 40
tahun dengan Sigrid yang masih berumur 18 tahun. Helena seorang pebisnis
sukses, sedangkan Sigrid adalah asistennya yang bisa dibilang tidak memiliki skill lebih, tapi diterima dengan baik
oleh Helena hanya berdasar rasa ketertarikan semata. Dua sosok ini memiliki
karakteristik yang bertolak belakang. Maria, memerankan Sigrid saat masih
berumur 18 tahun, dan ia menyukainya. Maka, alasan penolakan Maria atas peran
menjadi Helena sudah nampak jelas di sini.
Chemistry yang dibangun antara Kristen
Stewart dengan Juliette Binoche begitu sangat bagus sekali. Dua aktris beda
generasi ini mampu berjalan seirama dengan karakter yang mereka perankan.
Mereka digambarkan sebagai sosok atasan dan bawahan yang sangat akrab, sering
bercanda, dan sesekali menceritakan kisah pribadi. Gambaran yang jarang ditemui
di dunia nyata. Kembali ke “Maloja Snake”, Klaus begitu besar upayanya meminta
Maria untuk menjadi Helena. Maria menolak menjadi Helena dengan anggapan ia
pernah menjadi Sigrid dan watak keduanya benar-benar berlawanan. Bahkan, tidak
bisa dipungkiri Maria begitu bencinya pada sosok Helena. Namun, Klaus memiliki
interpretasi bahwa sosok Sigrid yang hadir 20 tahun lalu, bisa saja menjadi
Helena di masa ini. Sedangkan, Maria sendiri saat ini berusia sama dengan sosok
yang ia benci tersebut. Dengan kata lain, terbesit pertanyaan apakah mungkin
kini Maria mulai mendekat ke arah (menjadi) Helena ?.
Dengan
begitu halusnya, Olivier Assayas menggabungkan antara ‘fiksi’ dengan ‘realita’.
Sehingga, kita sebagai penonton terkadang bertanya-tanya, apakah Maria bersungguh-sungguh
mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya pada Valentine, ataukah hanya semata-mata
berlatih drama ?. Tidak hanya itu, secara perlahan namun pasti, entah disadari
atau tidak, Maria sudah mulai jatuh menjadi sosok Helena tersebut. Semua dapat
dibuktikan lewat caranya memerankan Helena dan bahkan menyalahkan naskah karena
terlalu memihak pada Sigrid. Dari appearance-nya
sendiri, maka jika kita teliti dengan baik, Maria mulai diset dengan penampilan
rambut pendek dan pakaian yang lebih terkesan ‘maskulin’ layaknya Helena, sosok
yang lebih dominan bila dibanding dengan Sigrid. Tahapan-tahapan perubahan itu
dihadirkan oleh Olivier Assayas dengan pelan-pelan, namun terbukti ampuh mengecoh
penonton jika tidak jeli.
Melalui
perspektif saya, penolakan dari Maria dalam berperan sebagai Helena bisa saja
merupakan ‘ego’ dalam dirinya yang menolak menjadi ‘tua’ atau ‘terlupakan’. Maka
betapa lucunya ketika kemudian Maria menolak peran sebagai mutant karena alasan terlalu ‘tua’ dan ‘kecemburuannya’ pada
Valentine yang lebih memfavoritkan aktris muda (Jo-Ann Ellies) daripada
dirinya. Semakin jelas di bagian ini bahwa Maria yang merasa selalu ‘muda’
layaknya Sigrid, sudah sepenuhnya bertranformasi menjadi si ‘tua’ Helena. Sedangkan untuk peran
Sigrid yang baru, diserahkan pada aktris muda Jo-Ann Ellis (Chloë
Grace Moretz), yang sebelumnya sempat ditertawai oleh Maria dari peran-perannya
dalam film superhero (“Kick-Ass” ?). Selain
eksplorasi karakter yang begitu menarik dalam film ini, Olivier Assayas juga
mampu membuat saya tertawa dengan sentuhan komedi ‘tipis’ yang dihadirkannya, seperti ketika Valentine
membicarakan tawaran film berisi werewolf
(“Twilight Saga” ?) hingga footage
dari Jo-Ann Ellis yang bermain dalam film sci-fi.
Selain
lewat performa apik para cast-nya, “Clouds
of Sils Maria” semakin indah lagi dengan sokongan sinematografi indah dari Yorick
Le Saux yang banyak menampilkan bukit-bukit indah di Swiss. Singkat kata, “Clouds
of Sils Maria” adalah contoh refleksi dalam kehidupan sehari-hari, dan tanpa disadari
sebenarnya kita ‘tengah’ atau ‘telah’ menjadi sesuatu yang sebelumnya dibenci
melalui perspektif pribadi. Namun
seiring waktu, banyak faktor-faktor yang kemudian mampu merubah perspektif itu.
9 / 10
mau tanya kenapa valentine ngilang saat dibukit? kemana? pengen tau itu aja sih
BalasHapuspas di bagian ending si maria udah ganti assistant ga ada kejelasan tentang si valentine
Hapuspas di bagian ending si maria udah ganti assistant ga ada kejelasan tentang si valentine
HapusPertanyaan yang sama. Kenapa valentine menghilang?
BalasHapusIya sama bingung tadi mikir apa maria lagi halusinasi
BalasHapusKirain ge aj yg bingung,jjur critanya nanggung
BalasHapus