Dari segi cerita, “Princess
Mononoke” memang tidak terlalu fokus pada kehidupan anak-anak layaknya karya
Hayao Miyazaki lainnya, seperti Spirited Away (2001), Kiki’s Delivery Service
(1989), atau My Neighbor Totoro (1988). Bahkan, Grave of The Fireflies (disutradarai Isao Takahata, 1988)
yang begitu tragis saja masih mengangkat soal anak-anak, hanya saja
pengemasannya memang paling gelap di antara yang lain. Sedikit perbedaan
tersebut tidak lantas membuat Miyazaki menghilangkan unsur fantasy-nya begitu saja. “Princess Mononoke” sangat kental dengan fantasy lewat banyaknya creature imajinatif dan menurut saya
paling indah dari segi visualnya. Di sini Miyazaki terlihat sekali dalam
memaksimalkan grafisnya yang tidak hanya halus, melainkan juga terlihat sangat
hidup.
Cerita berawal dari sebuah
desa bernama Emishi yang tiba-tiba diserang oleh iblis berbentuk babi hutan
bernama Nago. Pemimpin desa tersebut, Ashitaka (Yōji Matsuda) berhasil mengalahkannya, tapi tangan kanannya mendapatkan
kutukan setelah diserang Nago. Sesuai petunjuk dukun setempat, Ashitaka diminta
pergi ke arah barat untuk melepaskan kutukan yang telah mengenainya. Bersama
dengan rusa tunggangannya, Yakkuru, Ashitaka memulai pengembaraannya menuju
hutan yang dikuasai oleh Shishigami atau “dewa rusa”. Sebab diketahui hanya
dialah yang mampu membantu Ashitaka. Dalam pengembaraannya, ia juga mencari
penyebab mengamuknya Nago.
Konflik utama yang diangkat ke
dalam “Princess Mononoke” adalah mengenai alam atau lingkungan. Nago, awalnya
adalah bangsa dewa berwujud babi hutan. Kebencian yang merongrong jiwanya,
telah merubahnya menjadi sosok iblis yang mengerikan. Kebencian semacam apakah
yang telah sanggup mengubah dewa yang suci menjadi iblis yang begitu mengerikan
dan dibenci ?. Tidak lain merupakan ‘kebencian’ pada bangsa manusia yang telah
seenaknya mengacaukan keseimbangan alam lewat penebangan hutan secara
besar-besaran demi mengeruk material yang terkandung di bawahnya. Miyazaki
tidak hanya bertutur soal menjaga kelestarian alam saja, melainkan menyerempet
juga mengenai ‘kebencian’. Sebuah tema yang sebenarnya tidak ringan untuk
diangkat ke dalam film animasi, apalagi menjadi suguhan bagi anak-anak. Terkait
‘tidak ringan’ tersebut, Miyazaki juga berkali-kali menampilkan secara
eksplisit adegan berunsur gore,
seperti anggota tubuh yang terlepas hingga wabah penyakit yang mengerikan.
Kemudian, kutukan yang
diterima oleh Ashitaka dalam sinopsis di atas menggiringnya ke daerah barat
untuk bertemu seorang pemimpin wanita dari daerah pengolah besi bernama Eboshi
Gozen (Yūko Tanaka). Bisa dikatakan, dialah
biang keladi dari kemarahan para Forest Spirit.
Dari penampilannya yang kerap memakai kimono
dengan make-up cukup tebal dan tawa
yang keras, kira-kira apa yang Anda pikirkan dengan penggambaran tersebut ?.
Apalagi kalau bukan prostitute, atau
lebih tepatnya adalah “mucikari”. Benar saja, Eboshi Gozen atau Lady Eboshi
memang mempekerjakan banyak wanita dari kalangan prostitute sebagai pasukan militer. Sedangkan para pria, justru
bagian yang mengolah ternak dan pangan. Miyazaki rupanya menyelipkan hal yang
unik berupa pertukaran peran gender di sini,
wanita mengerjakan tugas pria dan sebaliknya. Pada titik ini, Miyazaki
benar-benar memasukkan konten yang begitu ‘dewasa’ dan ‘berat’ jika dibanding karyanya
yang lain.
Usai saya menjelaskan cukup
rinci soal karakter dan konflik yang diangkat, pasti muncul pertanyaan mengenai
siapakah Princess Mononoke sebenarnya ?. Perlu diketahui bahwa “Mononoke”
hanyalah julukan yang disematkan oleh Eboshi Gozen kepada San (Yuriko Ishida),
putri dari dewa serigala bernama Moro (Akihiro Miwa). Kata “Mononoke” berasal
dari dua huruf kanji yang jika
dibalik menjadi kaibutsu atau berarti
“monster”. San dan Moro telah lama berperang dengan Eboshi Gozen dan pasukannya
karena alasan yang telas saya jelaskan sebelumnya. Jika saya lihat dengan
seksama, “Princess Mononoke” bukanlah film tentang Good vs Evil semata. Banyak karakter yang terasa sangat abu-abu di
sini. Di satu sisi mungkin kita akan benci dengan Eboshi Gozen yang dengan
tamaknya mengeruk kekayaan alam. Tapi di satu sisi kita akan memberikan respect melalui caranya ‘memanusiakan’
kaumnya. Singkatnya, “Princess Mononoke” ini lebih kepada perjuangan seorang
pemimpin dalam melindungi kaumnya, baik itu Eboshi Gozen, San, dan Ashitaka
untuk rakyat Emishi.
“Princess Mononoke” begitu
kompleks sekali dalam mengangkat banyak hal ke dalamnya. Kepedulian pada alam,
mitologi-fantasi, peran gender, perjuangan pemimpin, hingga
sejarah mengenai industrialisasi atau proses westernization di Jepang. Hal itu ditandai dengan mampunya bangsa
Jepang di akhir era Muromachi
tersebut dalam mengolah pasir besi menjadi besi dan kemampuan dalam menciptakan
dan menggunakan senjata api. Bagi mereka yang mempelajari sejarah, terutama
sejarah Jepang, tentunya “Princess Mononoke” merupakan objek yang cocok menjadi
kajian utama. Kisah yang luar biasa bagus ini menjadi lebih memukau lagi ketika
coretan-coretan tangan terampil para ilustratornya dalam memperindah visualnya.
Begitu indah, mengagumkan, dan memanjakan mata. Musik instrumen khas Jepang
yang mengalun merdu begitu serasinya dalam mengiringi frame demi frame
berisikan gambar hutan yang sejuk dan rindang. Penonton pun dibuat terlena di
saat bersamaan hanyut dalam kisahnya.
“Princess Mononoke” begitu
mudahnya merebut hati saya dan berhasil menggeser posisi “Spirited Away”
sebagai film karya Miyazaki terfavorit. Film yang tidak hanya indah dan saya
kagumi, tapi juga sangat sulit sekali mencari celanya. Bukan tidak ada, tapi
saya tidak mau tahu dan tidak akan mencari kekurangan dari karya besar seorang
Hayao Miyazaki ini.
10 / 10
What an awesome review!!
BalasHapusyup tepat sekali
BalasHapusNice review
BalasHapusMasuk dalam katagori Salah satu tugas siswa jurusan animasi untuk mengapresiasi jalan cerita karakter ilustrasi dari sebuah sajian film animasi 2D
BalasHapusSTUDIO GHIBLI Bagus banget karya karyanya
BalasHapus