Akhirnya sempat juga menikmati karya
terakhir dari Studio Ghibli sebelum masa hiatusnya ini. “When Marnie was There”
ini diadaptasi dari novel karya Joan G. Robinson, dan disutradarai oleh
Hiromasa Yonebayashi. Ia juga menjadi bagian dari penulisan naskahnya. Uniknya,
dua nama besar dari Studio Ghibli, Hayao Miyazaki dan Isao Takahata yang terkenal
lewat “Grave of The Fireflies” (1988) justru tidak menyutradarai karya
perpisahan sementara ini. Tapi jauh sebelumnya saya sudah menonton karya dari
Hiromasa Yonebayashi yang berjudul “The Secret World of Arrietty” (2010).
Pertanyaannya adalah, layak kah “When Marnie was There” menjadi karya
perpisahan hingga waktu yang belum pasti ini ?.
Masih berkisah tentang kehidupan
seorang anak-anak, yaitu tentang Anna Sasaki (Sara Takatsuki), gadis berusia 12
tahun yang tinggal di Sapporo. Anna adalah sosok penyendiri, pemurung, dan
sulit mengungkapkan isi hati. Kesehariannya semakin berat karena ia mengidap
penyakit asma. Ibu angkatnya, Yoriko (Nanako Matsushima) lantas mengirimnya ke
kerabatnya yang tinggal di Kota Kushiro, Hokkaido. Anna yang hobi menggambar,
merasa tertarik sekali menggambar rumah tua di dekat rawa-rawa. Maka,
dimulailah kejadian misterius melalui pertemuannya dengan gadis berambut
pirang, Marnie (Kasumi Arimura).
Dari Sapporo menuju Hokkaido. Dari
pulai di ujung utara Jepang menuju ke pulau paling selatan. Perjalanan di musim
panas tersebut bukanlah sekedar terapi bagi penyakit asma yang diidap oleh
Anna, melainkan lebih dari itu. Bisa dikatakan itu merupakan petualangan
‘spiritual’ bagi Anna demi mencari jawaban atas berbagai alasan yang membuat ia
membenci dirinya sendiri. Karakter Anna di sini memang digali sangat dalam
sekali, berikut dengan Marnie juga tentunya. Anna sendiri mendeskripsikan
dirinya sendiri sebagai “orang yang berada di luar lingkaran”, maksudnya adalah
orang yang berjalan di ‘jalan’ yang berbeda dengan kebanyakan orang. Anna
digambarkan sebagai pribadi yang penyendiri dan hampir tidak memiliki teman
sebaya. Tapi tentunya, kita sudah dapat mengerti bahwa pertemuan dengan Marnie
kemudian akan mengubah jalan pemikiran dan kehidupannya sendiri.
Lantas siapakah Marnie ?. Dari
ciri-ciri fisiknya, rambut pirang dan bermata biru, jelas Marnie bukanlah
karakteristik orang Jepang pada umumnya. Sejak awal pun, Anna dan Marnie memang
sudah dihubungkan dengan benang merah berupa clue yang semakin menguatkan bahwa keduanya memiliki hubungan yang
begitu kuat. Bahkan, waktu pertama kalinya Anna berdiri di depan rumah megah
milik Marnie pun sangat terasa unsur magical-nya.
Rasanya, memang sudah wajib hukumnya bahwa unsur-unsur magis semacam ini harus
selalu ada dalam karya-karya Studio Ghibli. Memang kadarnya tidak se-magis
dalam film-film sebelumnya lewat kemunculan aneka macam creature dan semacamnya, tapi tetap saja bahwa film ini tidak bisa
disangkal keberadaan akan kemagisannya yang kuat. Jikalau dibanding dengan
perwujudan semacam creature yang
terlalu fantasy, unsur magis yang
dihadirkan dalam “When Marnie was There” ini memiliki aura yang dapat
menggetarkan hati dan sanggup membuat merinding.
Sejak kemunculan Marnie yang sungguh misterius,
tentu saja berbagai macam pertanyaan tidak akan pernah lepas dari benak
penonton terkait keeksistensian dari Marnie itu sendiri. Imaginary friend kah ?. Hantu kah ?. Namun, ketika hubungan Anna
dan Marnie diperlihatkan dengan ‘intimnya’ dan seakan mereka hidup untuk saling
melengkapi satu sama lain, seakan menghabiskan waktu jika kita hanya memikirkan
identitas mengenai Marnie yang sesungguhnya. Yang ada kita akan disuguhkan
dengan persahabatan yang erat, saling mengasihi, dan saling menutupi kekurangan
masing-masingnya. Saya sebagai penonton pun turut senang melihat transformasi
dari seorang Anna yang sebelumnya terlihat ‘suram’ namun sedikit demi sedikti
mulai menampakkan ‘cahaya’ lewat senyuman tipisnya dan cara bicara yang lebih
bersahabat. Mungkin ini terlalu subjektif, tapi dengan melihat karakter Anna,
saya pun seakan melihat diri saya sendiri tercermin dalam dirinya. Imbasnya,
saya jadi sangat mencintai karakter Anna ini. Begitupun juga dengan Marnie.
“When Marnie was There” ini bisa disebut
sebagai drama coming-of-age, Hiromasa
Yonebayashi menggunakan pendekatan melalui kisah ‘tumbuhnya’ seorang remaja
dalam mengatasi segala kelemahan (atau mungkin ketakutan ?) untuk menjadi
pribadi baru yang lebih baik. Kisah sederhana tentang tumbuh kembang seorang
anak-anak menuju fase remaja semacam inilah yang membuat saya sangat lekat
dengan karya-karya Ghibli. Dan kembali lagi, Studio Ghibli menggunakan karakter
wanita dalam posisi protagonis utama seperti kebanyakan karya yang sudah-sudah
(*silakan baca ulasan lain terkait Ghibli di blog ini). Proses pendewasaan
tersebut rupanya tidak hanya berlaku bagi hubungan Anna dengan Marnie semata,
melainkan juga hubungannya dengan sang ibu angkat, Yoriko. Anna yang sebelumnya
merasa ada sekat di antara mereka berdua terutama dari cara memanggilnya yang ‘kaku’,
pun mulai mendapat jawaban dari petualangan spiritual ini.
Anna dan Marnie, keduanya bagaikan Gil
dan Adriana dalam “Midnight in Paris” (2011). Hubungan keduanya memang misterius,
tapi terasa sangat akrab, hangat, dan tidak lupa sentuhan magis yang begitu
hebat. Kisah yang indah dengan penuh kesederhanaan ini layaknya pengoyak memori
lama ketika kita sendiri telah jauh berjalan dalam kebimbangan. Maka tanpa
diragukan lagi, “When Marnie was There” adalah bingkisan manis sebagai salam
perpisahan (sementara) dari Studio Ghibli.
8,5 / 10
| POKER | DOMINOQQ | CEME | CAPSA | SUPER10 (new Games) | OMAHA (new Games)|
BalasHapus|BCA | MANDIRI | BNI | BRI | DANAMON |
Kami menerima Transaksi di Semua Bank Nasional + Daerah
Bonus S/D 10 % KHUSUS MEMBER BARU * Bonus Cash Back setiap minggu nya
KAMI SIAP MELAYANI ANDA 24 JAM SETIAP HARINYA
WhastApp : 0812-9608-9061
Lnk : WWW. POKERAYAM. TOP