Setiap
film-film superhero, selalu menarik
khalayak ramai untuk menontonnya, meski sudah banyak diketahui sebelumnya lewat
banyaknya ulasan negatif. Benar, saya bicara mengenai “Fantastic Fool/Four”
terbaru ini. Dalam ulasan ini, saya tidak akan lagi mengungkit-ungkit masalah
yang sama terkait kontroversi pemilihan cast
dan lain sebagainya. Cast baik-baik
saja, tidak ada masalah berarti di bagian ini. Kesalahan terletak pada nihilnya
pengembangan cerita dan karakter, pengemasan, hingga sampai pada penyia-nyiaan para
cast yang bertalenta tinggi. Dan yang
tidak kalah parah, “Fantastic Fool/Four” telah melenceng jauh dari apa yang
disebut dengan film superhero.
Reed
Richards (Miles Teller) dan Ben Grimm (Jamie Bell) yang telah bersahabat sejak
kecil tengah mengembangkan sebuah teleporter
yang kemudian menarik perhatian dari Prof. Franklin Storm (Reg E. Cathey). Mereka
berdua pun lalu direkrut untuk menyelesaikan “Quantum Gate” bersama putri Prof.
Storm, Sue (Kate Mara) dan adiknya, Johnny (Michael B. Jordan). “Quantum Gate” dirancang
oleh Victor von Doom (Toby Kebbell) yang merupakan anak didik dari Prof. Storm.
Mengetahui eksperimen tersebut berhasil, Reed, Johnny, Victor, dan Ben mencoba
menteleportasikan diri menuju dimensi lain bernama “Planet Zero”. Bencana besar
terjadi setelah itu. Ya, bencana tersebut adalah film ini sendiri.
Bagi
mereka yang sering mengikuti serial kartun “Fantastic Four” di tahun 90-an
mungkin tidak mudah untuk menerima bahwa origin
power mereka kali ini melalui teleportasi, dan bukannya kecelakaan lewat space travel. Sang penulis naskah, Simon
Kinberg menyatakan bahwa “Fantastic Four” kali ini menggunakan pendekatan dari
komik “Ultimate Fantastic Four” yang mulai terbit tahun 2004, tentunya elemen
dari versi orijinal tetap ada. Dalam versi “Ultimate” tersebut, memang
diceritakan bahwa origin power dari
Reed dkk. memang melalui proses teleportasi, berbeda dengan versi orijinal. Para
member pun dibuat dengan look yang lebih muda. Maka saya harap,
tidak ada lagi permasalahan soal origin,
apalagi hilangnya “uban” yang ada di rambut Reed Richards. Bagi saya pribadi,
pemilihan teleport dari versi “Ultimate”
memang tepat dan terasa kekinian. Mengingat beberapa film akhir-akhir ini
tengah ramai menggunakan konsep tersebut.
Pada
bagian setup, memang cukup menjanjikan
melalui perkenalan pada sosok kecil Reed dan Ben. Hingga pada lompatan 7 tahun
dan pertemuan pada Sue, Johnny, dan Victor, masihlah belum ada masalah berarti
di sini. Atensi kemudian mulai sedikit menurun dalam proses pengembangan “Quantum
Gate” yang terkesan berputar-putar tanpa penyelesaian hingga dialog-dialog scientific yang mencoba ‘sok pintar’. Oke,
saya tahu penderitaan para penonton di bagian ini. Ini adalah film tentang superhero, bukan ?. Saya percaya,
penonton tidak akan pernah peduli soal istilah-istilah rumit science di sini. Yang mereka tahu ini
adalah film superhero, dan yang
mereka nanti adalah aksi heroik para superhero
melawan villain, bukannya melihat para
ilmuwan adu debat dalam forum science.
Lewat naskah yang ditulis oleh Simon Kinberg, “Fantastic Four” memang mencoba
untuk menjadi film-film sci-fi adventure disaster daripada menjadi film superhero.
Tone-nya yang gelap tidak lantas
membuat film ini terlihat ‘berat’ layaknya “Batman” ala Nolan, melainkan hanya sebagai
filter warna semata. Dua hal yang
yang tidak mampu berjalan bersama.
Begitu
Reed dkk. mendapatkan superpower
melalui paparan di “Planet Zero” tersebut, kemudian terjadi lompatan waktu hingga
masa 1 tahun setelahnya. Di sanalah tepatnya, awal dari segala bencana besar
dalam film ini. Ya, bencana besar yang saya maksud adalah dari segi cerita,
bukan hanya dari kemunculan manusia manekin saja....maaf, maksud saya Doctor
Doom. Tidak ada pengembangan karakter yang begitu berarti dari sini. Proses
dramatisasi yang seharusnya begitu diharapkan lewat adaptasi dari Reed dkk.
dengan superpower ini justru ditiadakan,
seolah-olah tidak ada yang spesial dengan hal tersebut. Tidak kalah parahnya,
Ben yang begitu setia pada Reed hingga membuatnya menjadi “manusia batu” (The
Thing), seharusnya mampu tergali lewat kekecewaan perubahan tubuh itu. Kepergian
Reed yang seharusnya membuatnya dicap sebagai ‘biang keladi’ justru mampu
dimaafkan dengan mudahnya hanya karena kemunculan Doctor Doom yang ingin
menguasai semesta.
Nampak
jelas sekali di sini bahwa Josh Trank begitu menyia-nyiakan potensi para cast ini. Lihatlah, Milles Teller dengan
performanya yang bagus dalam “Whiplash” (2014) atau “The Spectacular Now”
(2013). Atau Michael B. Jordan, ia juga powerful
dalam “Chronicle” (2012) atau mungkin di “Fruitvale Station” (2013). Keduanya kini
bukanlah apa-apa selain seorang “manusia karet” pecundang yang menghilang tanpa
alasan jelas, dan “manusia api” yang ingin mobil rosokannya kembali. Antar adegan
pun tidak ada koherensi yang membuatnya terlihat begitu rapi. Terlebih di
bagian final battle, tidak ada
satupun hal yang membuat penonton harus peduli ataupun merasa harus bersimpati
pada para Fantastic Four ketika menghadapi Doctor Doom. Setali tiga uang dengan
Fantastic Four, Doctor Doom sama sekali tidak memberikan arti ‘kiamat’ yang sesungguhnya
melalui kemunculan sepintasnya itu. Motifnya saja masih samar-samar. Lucunya lagi,
nama “Planet Zero” layaknya film ini sendiri dimana benar-benar “zero” dalam
memberikan apa yang disebut dengan “hiburan”.
“Fantastic
Four” ini mudahnya disebut sebagai film ‘mentah’ akibat terburu-burunya dalam
proses pembuatan maupun editing. Banyak hole
di mana-mana dan antar act-nya
seolah terlihat hanya sebagai gambar yang disambungkan secara kasar. Besar harapan
bila hak cipta mampu kembali direbut oleh Marvel, jika melihat ke depannya
mereka akan membuat “Inhumans” dan semakin menambah keseruan universe ini.
3,5 / 10
Pas udh lihat eh ternyata jelek ya gan filmnya
BalasHapus