Pada 15 November 1959, Amerika
digemparkan dengan pembunuhan keluarga Clutter yang terdiri dari 4 orang, di
Holcomb, Kansas Barat. Setelah 2 pelaku tertangkap, diketahui bahwa kejahatan
yang mereka berdua perbuat memang tidak memiliki motif yang begitu jelas. Hal
tersebut kemudian mengusik seorang penulis terkenal, Truman Capote, untuk
melakukan penelitian dan mengangkatnya menjadi sebuah buku. Didasarkan dari
kisah nyata, lahirlah buku yang sangat terkenal berjudul In Cold Blood.
Setelah membaca berita
pembunuhan di Kansas Barat pada halaman depan koran New York Times, Truman
Capote (Philip Seymour Hoffman) ingin segera ke Kansas untuk mewawancarai saksi
mata yang melihat mayat keluarga Clutter bersimbah darah di dalam rumahnya. Dengan
menaiki kereta, ia berangkat bersama sahabatnya yang juga seorang penulis,
Nelle Harper Lee (Catherine Keener). Sebelum mewawancarai saksi mata yang
merupakan sahabat dari salah satu keluarga Clutter, Capote mencoba untuk
mendekati Alvin Dewey (Chris Cooper) yang merupakan polisi dari Biro
Investigasi Kansas. Butuh waktu sekitar satu bulanan, 6 Januari 1960, 2 pelaku
pembunuhan tersebut berhasil digelandang. Mereka adalah Perry Smith (Clifton
Collins Jr.) yang setengah Indian dan Dick Hickock (Mark Pellegrino).
Selama persidangan, Capote
sering memperhatikan Smith yang lebih suka fokus dengan menggambar daripada
mendengarkan tuntutan dari hakim. Hal tersebut semakin membuat Capote penasaran
dengan karakter Perry Smith yang jauh dari kesan seorang pembunuh. Capote pun mencoba
untuk bicara lebih dekat dengan Smith. Dari seringnya bertemu, mereka berdua
pun semakin akrab. Dibanding dengan Hickock, Smith jauh lebih mudah untuk
diajak bicara dan nada bicaranya pun jauh lebih kalem. Capote berharap, dengan
mengorek informasi dari Smith, ia bisa tahu motif yang melatar belakangi mereka
untuk membunuh seluruh anggota keluarga Clutter yang dikenal baik oleh orang
sekitar. Bahkan, Capote diizinkan oleh Smith untuk membaca buku diarinya. Demi
meluluskan niatnya, Capote menawarkan diri untuk menyewakan pengacara yang
dapat membantu Smith naik banding. Tapi, Capote sendiri rupanya cukup kesulitan
dalam mengorek informasi lebih untuk mengetahui motif pembunuhan tersebut. Maka
tidak salah bila buku yang ditulisnya juga berjalan sangat lambat.
Saya tidak akan melemparkan
pertanyaan yang isinya mengenai berhasil atau tidakkah Capote dalam menguak
motif pembunuhan itu. Yang jelas akhirnya ia pun tahu, jika tidak maka In Cold Blood tidak akan tercipta. Fokus
dari film Capote karya Bennett Miller ini sendiri sebenarnya tentang proses
penulisan buku In Cold Blood itu
sendiri oleh Truman Capote. Di satu sisi ia senang dengan hasil dari karya
barunya, dan di satu sisi lagi ia tidak dapat menyelamatkan Smith yang berakhir
di tiang gantungan pada 14 April 1965. Memang sebelumnya, Capote berusaha
menawarkan diri untuk membantu Smith agar mendapat keringanan hukuman. Tapi
menurut saya pribadi, dalam hati kecilnya, Capote tidak berencana menyelamatkan
Smith sama sekali. Memang akhirnya kita semua tahu, bahwa Smith yang terlihat
kalem dan pendiam itulah yang menghabisi seluruh keluarga Clutter, bukan
Hickock. Dengan alasan tersebut, bisa jadi itulah mengapa Capote enggan untuk
menolong, meski pada detik-detik akhirnya Capote sempat datang untuk menghibur.
Pergolakan batin dialami oleh
Capote. Bukunya, In Cold Blood
meledak di pasaran. Bahkan bukunya sering disebut sebagai ‘jurnalisme baru’,
yang menggabungkan gaya penulisan jurnalisme dan sastra. Tapi di balik itu, ia
terus dibayangi oleh sosok Smith yang tewas di tiang gantungan, meski ia
sendiri sebenarnya juga merasa ‘salah’ jika membantu Smith mendapat keringanan
hukum. Sebab ia tahu, kesalahan dari Smith sudah tidak membuatnya tertolong
lagi. Menarik memang untuk menyoroti lebih dalam lagi sosok Truman Capote ini. Sebelumnya,
Capote sukses lewat bukunya yang berjudul Breakfast
at Tiffany’s. Bisa jadi, kesuksesannya tersebut merupakan dorongan untuk
membuat karya baru. Maka dipilihlah kasus pembunuhan di Kansas Barat sebagai next project. Bisa jadi awalnya, Capote
merasa tidak harus menjadi ‘akrab’ dengan Smith, lagipula dia adalah tersangka
pembunuhan. Yang penting, bisa dapat informasi banyak untuk bahan menulis buku,
mungkin itu yang Capote pikirkan sebelumnya. Tapi siapa sangka, dari seringnya
Capote dan Smith bertemu, justru itulah yang membuat mereka semakin dekat dan akrab.
Ada unsur ketidak tegaan juga dalam diri Capote jika dia ‘memanfaatkan‘ Smith
untuk bukunya, meski ia sudah tahu bahwa Smith bakal tidak lolos dari hukuman
mati.
Singkatnya, film Capote ini
mencoba menguak ‘sisi gelap’ dari seorang Truman Capote yang benar-benar
ambisius dalam menggarap bukunya. In Cold
Blood ini sendiri selesai dalam kurun waktu 6 tahun lamanya. Mungkin untuk
menutupi rasa bersalahnya, Capote sudah tidak menulis buku lagi sejak In Cold Blood ini. Truman Capote yang juga bekerja di New York Times ini adalah
sosok yang sangat humoris, mudah akrab dengan siapa saja, dan memiliki cara
bicara yang ‘unik’. Akting dari Philip Seymour Hoffman sangat bagus sekali dalam
menghidupkan sosok penulis terkenal Amerika tersebut. Peran Catherine Keener
sebagai sahabat Capote menurut saya tidak terlalu ditonjolkan, tapi cukup
menjadi selingan dalam setiap curhatan Capote. Sinematografi yang membawa
suasana gelap dan kelam, baik dari sisi pembunuhan maupun sisi lain dari Truman
Capote, mampu dihadirkan dengan sangat baik oleh Adam Kimmel.
Pada tahun 1967, ada film
berjudul In Cold Blood yang didasarkan pada buku In Cold Bloodnya Capote ini. Saya memang belum pernah menontonnya,
tapi mungkin saja film In Cold Blood tadi lebih berfokus pada duo pembunuh ini,
Perry Smith dan Dick Hickock. Film Capote dan In Cold Blood sepertinya menjadi
satu paket yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya adalah 1 kasus yang dilihat
dengan 2 sudut pandang yang berbeda. Saya sudah tidak sabar lagi untuk meluangkan
waktu agar bisa menikmatinya sebagai pelengkap.
ATAU
9 / 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !