Film horror dengan subjek utama American
Folklore memang sudah tidak terhitung banyaknya. Baik itu yang digarap
dengan hasil memuaskan hingga membosankan sekalipun. Saya akui bahwa film horror semacam ini memang sukses dalam
menghidupkan atmosfir yang mencekam, terutama dalam penggunaan setting seperti kota terpencil ditambah
bumbu-bumbu berupa mitos setempat. Kalau ‘mencekam’ sudah didapat, akankah
semua sudah terpenuhi menjadi sajian yang bagus ?. Memang tidak semuanya. ‘Dark
was The Night” mungkin adalah salah satu contohnya.
Di sebuah kota kecil terisolir
bernama Maiden Woods, digemparkan dengan menghilangnya hewan ternak salah satu warganya,
ditambah dengan jejak-jejak kaki misterius nan besar. Seorang sheriff yang bertugas di sana, Paul
Shields (Kevin Durand) menyelediki hal tersebut. Desas-desus berkembang di
sekitar bahwa ada makhluk misterius yang keluar dari dalam hutan dan mencari
mangsa. Kasus tersebut membuat sheriff Paul
Shields semakin lelah karena di saat itu pula bayang-bayang anaknya yang telah
meninggal terus menghantui.
Sebelum bicara tentang ‘makhluk
misterius’ yang menjadi aktor antagonis di sini, baiknya
jika pertama-tama membicarakan konflik yang dialami oleh karakter utamanya. Paul
Shields adalah seorang sheriff yang
telah berpisah dengan istrinya, Susan (Bianca Kajlich). Perpisahan itu disebabkan
oleh meninggalnya anak kedua mereka yang bernama Tim. Sedangkan anak
pertamanya, Adam (Ethan Khusidman), banyak menghabiskan waktu secara bergantian
dengan mereka. Hubungan Paul dan Susan yang ‘dingin’ masih dibayangi oleh Tim
yang telah tiada. Mudah sekali ditebak jalan cerita ke depannya bahwa sosok
Paul ini akan menjadi penyelamat bagi warga Maiden Woods atas teror yang mereka
alami, dan secara perlahan memperbaiki hubungannya dengan Susan yang kurang
baik. Konflik yang sebenarnya mampu memunculkan simpati itu nyatanya terlampau
sering digunakan dalam film. Apalagi, sosok Tim yang sesekali muncul sekelebat,
kurang dieksplorasi lebih dalam untuk menciptakan korelasi dengan plot utama.
Untuk makhluk misterius di
sini, awalnya saya mengira bahwa bentuk besarnya tersebut menyerupai sebuah
pohon pinus atau semacamnya. Lagipula, film ini juga banyak mengambil setting di hutan-hutan pinus yang
merupakan ‘markas’ utama makhluk misterius tersebut. Jika melihat bentuknya
yang menyerupai pohon (perkiraan saya awalnya), pikiran saya lalu tertuju pada
“Ent”, creature rekaan J.R.R. Tolkien
dalam “The Lord of The Rings” Trilogy. Bagaimanapun bentuknya, tentunya sangat
mengerikan dengan fisik yang tinggi besar. Misteri awal keberadaannya pun sudah
disebar sejak awal lewat jejak-jejak kaki besar yang diharapkan memacu
adrenalin penontonnya. Saya berharap pula bahwa konflik karakter utamanya yang
begitu klise, mampu tertutupi oleh aura ketegangan yang diciptakan oleh
‘monster’ ini. Tapi alangkah mengecewakannya bahwa film arahan Jack Heller ini
lebih banyak berputar-putar soal ‘percaya-tidak percaya’ yang tiada habisnya,
terutama bagi Paul Shields. Durasi waktu pun banyak terbuang lewat perdebatan
yang tiada henti.
Jack Heller rupanya masih
begitu pelitnya untuk menunjukkan wujud asli dari ‘monster’ ini. Kemunculannya
yang setengah-setengah tidak lantas menimbulkan ketegangan, melainkan perasaan
bosan di sini. Harapan terakhir saya tentunya harus menunggu dengan sabar
hingga konklusi untuk melihat makhluk misterius yang disebut Wendigo ini. Tapi wajar saja sebenarnya
melihat indie movie seperti ini harus
menghemat budget (terutama dalam CGI)
untuk mengkreasikan wujud Wendigo
secara nyata. Sayangnya, kekurangan tersebut tidak mampu diatasi oleh Jack
Heller dengan aspek lain yang bisa mendukung kualitas film secara keseluruhan.
Jangan harap pula kesenangan-kesenangan lewat massacre dengan berdarah-darah akan banyak ditampilkan. Sangat
minim dan cenderung tidak diambil secara eksplisit, selain berupa
teriakan-teriakan yang tragis.
Pada akhirnya, “Dark was The
Night” kurang begitu memuaskan dahaga saya sebagai pecinta film horror. Memang, atmosfir menegangkannya
tercipta dengan cukup baik. Penggunaan filter
warna biru gelap juga berpengaruh besar untuk menciptakan suasana yang begitu
dingin mencekam, selaras dengan setting yang
digunakan. Performa Kevin Durrand sebagai pria yang dihantui kesalahan masa
lalu pun dibawakan dengan bagus, hanya saja kurang menarik simpati akibat
konflik yang terlalu dangkal. Tapi setidaknya, “Dark was The Night” masih
membuat saya betah untuk menonton sampai akhir meskipun pengemasannya sendiri
tidaklah sampai over-the-top. Dan
yang paling utama, mampu membuat saya tidak enggan untuk menuliskan ulasan ini.
Sebab seringnya, tidak menulis ulasan diakibatkan terlalu kecewa dengan film
yang ditonton.
5 / 10
Mungkin terinspirasi dari misteri jejak kaji setan devon
BalasHapus