Saya sebenarnya tidak tahu alasan
pastinya mengapa “The Canal” yang sudah rilis sejak tahun kemarin baru bisa
menginjakkan kaki di tanah air. Tapi saya cukup lega bagaimana film dari
Irlandia ini banyak mendapat ulasan positif dan tentunya semakin menguatkan
keinginan untuk menontonnya. Tidak ingin berlama-lama menunggu, akhirnya
tibalah saatnya bagi saya sendiri untuk membuktikan seberapa menakutkannya film
horror yang disutradarai oleh Ivan Kavanagh
ini. Begitu selesai, rupanya “The Canal” masih cukup jauh dari ekspektasi awal
saya. Bicara soal ‘menyeramkan’, “The Canal” cukup mampu menghadirkan rasa
tersebut. Namun, “The Canal” telah kehilangan daya cengkeram di pertengahan hingga
akhir.
“The Canal” mengisahkan seorang juru
arsip film bernama David (Rupert Evans). Tinggal dengan bahagianya bersama
istri, Alice (Hannah Hoekstra) dan putranya yang masih kecil, Billy (Calum
Heath). Suatu ketika, partner kerjanya, Claire (Antonia Campbell-Hughes)
memberikannya sebuah reel berisi
kasus pembunuhan yang terjadi pada tahun 1902. Betapa mengagetkannya, bahwa
kasus pembunuhan tersebut ternyata terjadi di rumah tempat tinggal David saat
ini. Tidak berapa lama, istri David, Alice, menghilang dengan misteriusnya.
Apakah yang terjadi sebenarnya ?.
“The Canal” berjalan cukup pelan di
paruh pertamanya. Di bagian pertama tersebut banyak berisi kehidupan
sehari-hari David sebagai juru arsip film, berkumpul bersama keluarganya,
hingga mengantarkan Billy kecil ke sekolah. Tapi, pembicaraan kecil mengenai
“hantu” dan semacamnya memang cukup sering disinggung beberapa kali. Dengan
naskah yang ditulis sendiri oleh Ivan Kavanagh, ia memang cerdik dalam
memperkenalkan kita lebih dalam pada sosok David berikut keluarganya lewat pace lambat tapi tidak membosankan. Setiap
sudut rumah hingga lika-liku keseharian David menjadi spot utama yang ditonjolkan di bagian setup ini dengan harapan penonton dapat menyelami lebih dalam lagi.
Kemudian, lewat penemuan fakta mengejutkan oleh David dalam sinopsis di atas nampaknya
mulai membuat “The Canal” bersiap-siap untuk menunjukkan kejutan-kejutan yang
mungkin tidak disadari ke depannya.
Aspek yang paling mengena di sepanjang
film ini adalah skoring dari Ceiri Torjussen yang tampil dengan begitu intens,
menguatkan atmosfir eerie seolah
tanpa henti. Bagi yang mungkin mencoba menghindari jump scare sebagai bentuk kebosanan, penonton bisa bernafas lega
sebab elemen tersebut hampir tidak ada dalam film ini. Sebagai gantinya, wujud
‘hantu’ yang sering tampil di sini digambarkan sebagai manusia pada umumnya
lengkap dengan pakaian awal abad 20. Jika Anda tidak cukup takut, maka skoring
dari Ceiri Torjussen dapat menunjang kekurangan di bagian tersebut dan perasaan
‘tidak nyaman’ ketika menonton pun mampu dihidupkan. Beberapa tambahan seperti footage film-film yang sengaja diset ala
film klasik hitam putih juga cukup efektif dalam membangun suasana yang cukup
mencekam, meskipun daya hentaknya tidaklah terlalu besar.
Dari berbagai kelebihannya, “The
Canal” tentu tidak luput dari banyak kekurangan. Ivan Kavanagh rupanya terlihat
keteteran di pertengahan film dalam merangkai alur cerita selanjutnya. Ia harus
memutar otak untuk bisa memberikan kejutan-kejutan tidak terduga, yang ternyata
sudah habis ia kerahkan di bagian sebelumnya. “The Canal” terlalu gamblang
dalam membongkar sendiri rahasianya, seolah-olah film ini selesai di
tengah-tengah tanpa perlu lagi untuk diceritakan. Saya sebagai penonton pun sedikit
mengernyitkan dahi sebab terlalu mudahnya ditebak ke mana film ini mengarah.
Meskipun cukup diapresiasi dengan nihilnya jump
scare, sangat disayangkan pula Ivan Kavanagh masih menyelipkan beberapa
elemen klasik (atau mungkin ketinggalan zaman) lewat semacam dream sequence, yang tentunya bukan hal
baru lagi ada di film-film horror
bertema haunted house. Dibilang haunted house pun, “The Canal” masih
‘nanggung’ dalam penyajiannya.
Tidak mengejutkan dan tidak ada yang benar-benar
baru. “The Canal” memang memiliki DNA dari “Sinister” (2012) dan “The Shining”
(1980), tapi ia masih terlalu jauh menuju pendahulu tersebut. Pendekatan
melalui psychological thriller-nya
memang saya akui bagus, tapi tidak cukup mengesankan. Sebab, ia masih kurang
dalam mengeksplorasi para karakter sehingga masih terasa begitu dangkal. Hubungan
kedekatan David dengan Billy seharusnya bisa digali lebih dalam layaknya Amelia
dengan Samuel di “The Babadook” (2014), mengingat kedua film ini juga
menggunakan pendekatan yang sama.
Singkat kata, “The Canal” memang cukup
‘menyeramkan’ untuk sebuah film horror,
tapi masih sangat jauh untuk menjadi yang terbaik. Aspek berupa skoring musik
memang menjanjikan dalam menghidupkan atmosfir ‘seram’, tapi tidak pada
penyajian visualnya. “The Canal” seakan-akan habis di tengah durasi dan
kebingungan dengan apa lagi harus membuat penonton takut. Kurangnya
pengembangan cerita dan karakter membuat film ini ‘mati’ sebelum saatnya dan
penonton pun akhirnya gagal takut. Overrated
kah ?. Sekarang giliran Anda sendiri yang membuktikan dan menjawabnya !.
6,5 / 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !