Di weekend
ini, saya mencoba mencari tontonan yang benar-benar ringan, fun, dan sangat menghibur, terlepas dari
kualitasnya yang baik atau buruk. Maka saya dapatkanlah “Zombeavers” yang
merupakan kepanjangan dari “zombie” dengan “beaver” (berang-berang). Memang
nampaknya sudah menjadi tren di kalangan pembuat B-Horror dengan menamai judul filmnya melalui penggabungan dua
kata, seperti “Sharknado” yang merupakan gabungan dari “Shark” dan “Tornado”. Ya,
saya tahu ini bukan film bagus atau berkelas. Tapi, saya justru sangat terhibur
sekali lewat kebodohan-kebodohan para karakternya, animatronic yang menggelikan, hingga CGI yang amat buruk tapi
sanggup memancing tawa. Apalagi, rasa penasaran saya juga didorong untuk
melihat cameo dari John Mayer di
sini.
Oke langsung saja, teror berdarah
(konyol tentunya) ini dimulai ketika dua pengantar cairan kimiawi, Joseph (Bill
Blurr) dan Luke (John Mayer) menabrak seekor rusa yang tidak berdosa, dan
membuat cairan kimiawi dalam drum masuk ke sungai. Cairan kimiawi tersebut
lantas mengubah para berang-berang menjadi zombeavers.
Di saat bersamaan, datanglah tiga mahasiswi, Mary (Rachel Melvin), Zoe (Cortney
Palm) dan Jenn (Lexi Atkins) yang tengah berlibur dalam kabin. Teror dari para dam-builder telah mengincar nyawa tiga
gadis malang tersebut.
“Zombeavers” mungkin terdengar konyol,
tapi jika ditilik lebih dalam lagi, film ini memiliki cerita yang tidak terlalu
buruk, apalagi karakter yang dihadirkan memiliki karakterisasi yang cukup baik.
Kita diperkenalkan dengan tiga mahasiswi yang tengah berlibur dengan menginap
di kabin, Jenn “The Prude”, Zoe “The Virgin”, dan Mary “The Betrayer”. Tanpa
disangka, ketiganya lalu didatangi oleh masing-masing pacarnya, lalu jadilah
“The Cabin in The Woods” (2011) tapi dalam kemasan yang jauh lebih ringan. Ini
film yang berbujet rendah, semua tentu sudah tahu hal tersebut. Tapi apa yang
membuat “Zombeavers” terasa mengasyikkan adalah totalitasnya dalam menghadirkan
setiap adegan gore-nya, tidak
nanggung seperti “Burying The Ex” (2014) yang notabene berada dalam kelas yang
sama. “Zombeavers” dengan segala animatronic
berang-berangnya mampu membuat saya untuk duduk anteng meski di saat bersamaan
terus dijejali dengan segala kebodohannya.
Kelucuan demi kelucuan yang disuguhkan
semakin menjadi-jadi tatkala para zombeavers
mengepung kabin dan para gadis ini berteriak-teriak bak orang gila. Bagaimana
tidak lucu, boneka berang-berang yang bentuknya kentara sekali seperti boneka
itu bisa-bisanya membuat takut, pikir saya untuk ikut menjadi bodoh. Memang
tidak banyak adegan yang secara eksplisit menampilkan tubuh-tubuh manusia
tercabik-cabik di sini. Tapi sebagai gantinya, saya cukup girang ketika melihat
zombeavers dihajar beramai-ramai. Puncaknya
adalah ketika para gadis-gadis ini menusuk-menusuk zombeavers dengan pisau dapur berikut cara menusuknya yang amat sangat
kaku sekali. Tidak berhenti hanya sampai di situ saja, sang sutradara Jordan
Rubin juga mampu menghadirkan kelucuan (dan kebodohan) melalui caranya
‘menghemat’ bujet. Yaitu cukup dengan hanya menggoyang-goyangkan mobil ketika
menampilkan scene mengendarai mobil. Seperti
di sinetron-sinetron, Jordan rubin tahu betul memanfaatkan segala aspek
kekurangannya menjadi sebuah hiburan menyegarkan.
Pencuri perhatian dalam body horror semacam ini tentunya adalah
pemanfaatan efek yang digunakannya dalam menghidupkan hewan-hewan hasil mutasi
tersebut. Syukurlah, CGI tidak digunakan dalam menciptakan para zombeavers.
Animatronic berang-berang hasil
rekaan “Creature Effects, Inc.” ini sebenarnya jauh dari kesan bagus atau
menyeramkan. Cenderung kaku dan layaknya boneka teman tidur anak-anak. Tapi
kembali lagi, peminimalisiran penggunaan CGI memang patut diapresiasi dan
sangat efektif dalam memaparkan setiap kedetailannya. Segala kekurangan dari
berbagai aspek film dengan bujet rendah semacam ini justru menjadi kelebihan tersendiri.
Kelebihannya tidak lain sanggup memancing kelucuan-kelucuan, entah itu dari
segi aktingnya, tindakan bodoh para karakternya, sampai berbagai macam properti
yang digunakannya. Maka saya rasa cukup membuang-buang waktu bila kita
membicarakan kekurangannya sebagai sisi buruknya.
Saya terhibur, menikmati, dan tentunya
hampir tidak ada momen yang membosankan, kecuali memang Anda bukan tipikal
penyuka B-Horror ‘murah’ seperti ini.
Setidaknya Jordan Rubin masih tetap membuat saya betah untuk tetap menunggu
siapa yang menjadi lone survivor di
sini. Bahkan jika coba dibandingkan dengan film lain sekelasnya seperti “Stung”
(2015), saya tentu lebih memilih “Zombeavers” jika dilihat dari segi totalitas
penyuguhannya. “Zombeavers” memang bukan film yang bagus, tapi lewat
kebodohan-kebodohannya yang menyenangkan dapat menjadi hiburan tanpa perlu banyak
memeras otak. Bahkan di suasana hati yang kurang bagus pun, “Zombeavers” bisa menjadi
mood-booster. Sedikit mengingatkan
bahwa meski berlabelkan B-Horror,
film seperti ini justru memiliki fanbase yang
besar dan tidak sedikit menyandang status cult.
5,5 / 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !