Di awal bulan Agustus ini,
saya sengaja mencari film klasik yang sesuai dengan mood untuk ditonton. Maka, pilihan saya jatuh pada film horror ekspresionis dari Jerman ini.
Memang tidak mudah untuk bisa benar-benar menikmati film klasik, apalagi yang
masih belum memiliki suara alias silent
movie. Seringkali dalam menilai film-film klasik macam ini, saya berusaha
untuk memposisikan diri sendiri sebagai orang yang hidup di era film tersebut
berjaya. Dengan begitu, besar harapan untuk mendapatkan feel dalam menikmatinya. Sebab, akan banyak sekali beberapa adegan
yang mungkin terasa ‘konyol’ untuk dinikmati di era saat ini. Dibandingkan film
klasik ‘bersuara’ lainnya, silent movie
memang lebih berpotensi membuat bosan di tengah-tengah menontonnya.
Nosferatu terdiri dari 5 act atau chapter. Pada act pertama
berkisah tentang seorang pemuda yang tinggal di kota Wisborg bernama Tom Hutter
(Gustav von Wangenheim). Ia tinggal dengan bahagianya bersama sang istri, Ellen
(Greta Schröder). Suatu ketika majikannya, Knock (Alexander
Granach) memintanya untuk pergi ke Transylvania dalam rangka menemui kliennya,
Count Orlok (Max Shreck). Perjalanan menuju kastil milik Count Orlok dilaluinya
dengan penuh rintangan, seperti adanya Werewolf yang selalu mengintai di balik hutan.
“Nosferatu” adalah adaptasi
‘tidak resmi’ dari novel karya Bram Stoker yang berjudul “Dracula” tahun 1897.
Karena tidak mendapatkan right dari
penulisnya, semua nama karakternya sengaja diubah, seperti Count Dracula
menjadi Count Orlok.
Dari segi appearance-nya, sosok Count Orlok atau Dracula ini cukup
mengagetkan karena perbedaan bentuk dengan sosok Dracula yang selama ini saya
ketahui. Orlok atau Dracula dalam film ini digambarkan berkepala plontos tanpa
memakai jubah panjang yang selalu menjadi ciri khasnya. Taring panjang yang
merupakan senjata wajibnya pun juga ditanggalkan di versi film ini. Tapi jangan
salah, penampilannya tetap ‘sangar’, apalagi akting dari Max Shreck ini begitu
meyakinkan dalam menghidupkan karakter Count Orlok ini, meskipun tanpa harus
menggunakan dialog. Akting menawan para cast
dalam film ini lebih banyak menggunakan ekspresi wajah sebagai pengganti dialog.
Wujud seram dari Count Orlok hingga Tom Hutter yang periang, semua bisa hidup
lewat akting berupa ‘ekspresi’ tersebut. Maka tidak salah bila film ini disebut
dengan aliran expressionism. Jika
Itali memiliki golden age perfilman
dengan neorealism-nya, maka Jerman
memiliki expressionism ini.
Meski pengambilan gambarnya
yang masih sangat sederhana, unsur mencekam dapat dibangun dengan begitu baik
oleh sang sutradara, F.W. Murnau. Efek tambahan berupa skoring dari Hans
Erdmann juga mampu menghidupkan atmosfir yang cukup creepy. Teknik-teknik canggih masa itu seperti montase dan stop motion sering digunakan pada saat
momen-momen yang menampilkan unsur supernatural
seperti tubuh Count Orlok yang tiba-tiba fading
atau ketika peti mati bergerak sendiri. Keterbatasan berupa pengambilan
gambar dalam format hitam putih berhasil disiasati dengan sangat baik
menggunakan filter warna yang
berbeda. Seperti warna kuning untuk menampilkan suasana terang atau di siang
hari, dan warna biru cerah untuk setting
malam hari. Penggunaan filter warna
tersebut memang sangat berguna sekali sebagai navigator dalam membantu penonton untuk memahami situasi yang
sedang digunakan dalam film. Karena seperti yang saya lihat, semua pengambilan
gambarnya dilakukan pada siang hari.
Mencekam dan menakutkan,
itulah “Nosferatu”. Tata riasnya, musik, hingga set lokasinya mampu dengan baik
melakukannya. Tapi “Nosferatu” bukanlah tipikal film yang sengaja dibuat untuk
menakut-nakuti penontonnya layaknya film horror
yang lahir kemudian. Seperti halnya Santa Sangre (1989) yang pernah saya
ulas sebelumnya, “Nosferatu” adalah film avant-garde
atau art movie. Mulai dari
pengarahannya hingga naskahnya dibuat dengan nilai seni yang begitu tinggi.
Anda tidak akan menemukan adegan dimana orang ditakut-takuti melalui jump scare atau semacamnya. Memang
sempat ada adegan yang menampilkan demonic
possession, tapi tidak lantas dihadirkan dengan berlebihan hingga
mencakar-cakar orang di sampingnya atau merayap di dinding. Melainkan lewat
koreografi yang begitu indah, adegan ‘kesurupan’ tersebut menjadi sebuah sajian
yang tidak hanya artistik, tapi juga memunculkan nuansa yang saya sebut dengan dark romantic.
Hal menarik yang coba saya
amati lebih dalam mengenai kisah Count Orlok ini adalah diselipkannya fenomena besar
/ mimpi buruk yang pernah melanda daratan Eropa. Saya berinterpretasi bahwa
Count Orlok atau Dracula adalah manifestasi dari “The Black Death”. Tahukah
Anda apa itu ?. Ya, sebuah epidemic yang
pernah melanda Eropa pada tahun 1346 - 1353 hingga menewaskan korban sebanyak 200 juta manusia.
Alasan kuat saya untuk menginterpretasikan ke arah tersebut karena ada salah
satu adegan yang menampilkan kedatangan Count Orlok ke Wisborg dengan kapal,
dan di dalamnya ia bersembunyi dalam peti mati yang penuh tikus. Dahulu orang
Eropa banyak menduga bahwa “The Black Death” disebabkan oleh penyakit pest lewat perantara tikus yang terbawa
lewat kapal dari Asia. Seiring berjalannya waktu, penelitian baru telah
menemukan penyebab utama “The Black Death” bukanlah melalui tikus. Apapun
bentuk penerjemahan dari Count Orlok, dia memanglah sosok dari ‘teror’ yang
sesungguhnya. Bayangan-bayangan dari Count Orlok yang
ikonik pun siap menghantui siapapun di kegelapan malam.
“Nosferatu” adalah salah satu masterpiece bertajuk horror yang bagi sebagian besar penonton
millennium ini dianggap jauh dari kata
creepy, frightening, atau apapun itu. Tapi apa yang saya rasakan,
“Nosferatu” merupakan karya seni indah berwujudkan ‘mimpi buruk’. Sebuah ‘mimpi
buruk’ yang tidak hanya dirasakan oleh Tom Hutter dan seluruh warga Wisborg,
tapi bagi mereka yang tahu nilai seninya.
9,5 / 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !