Saya
tegaskan sebelumnya bahwa saya adalah orang yang sangat awam soal olahraga
balapan sepeda. Siapa atlet di bidangnya atau istilah kejuaraannya saja saya
tidak pernah tahu. Siapa Lance Armstrong yang menjadi juara dunia tujuh kali di
Tour de France pun baru saya ketahui sejak menonton “The Program” ini. Karena
tidak pernah mengikuti informasinya, mendengarnya meraih juara tujuh kali pun
menjadi semacam angin lalu bagi saya.
Oke
mari sudahi pandangan subjektif saya soal siapa Lance Armstrong ini. Ayo
meluncur ke bagian film. Jadi, “The Program” ini adalah film yang mengangkat
bagaimana Armstrong ketahuan memakai program dopping selama hampir 20 tahunan. Akibatnya, gelar juara dunia
tujuh kali pun dicabut. Membicarakan gelarnya, Armstrong tidak hanya seorang
jawara di kejuaraan ini. Ia juga fenomena. Ia bak pahlawan bagi mereka-mereka
yang putus asa karena penyakit kanker.
Secara
fisik, tubuh Armstrong (Ben Foster) tidaklah dirancang untuk medan pegunungan.
Hal itu yang membuatnya terus mengalami kekalahan. Semakin parah lagi, ia
mengidap kankes testis stadium akhir. Dunia seolah kiamat baginya. Tidak ada
harapan lagi menjadi juara.
Armstrong
lantas mendatangi seorang dokter Itali yang ahli menangani para atlet, Michele
Ferrari (Guillaume Canet). Uji coba dengan serum ketahanan fisik (atau EPO) pun
berhasil. Armstrong menjadi atlet sepeda yang tidak terkalahkan.
Jika
ini adalah film yang menceritakan tentang skandal, maka harus ada pihak yang
menjadi lawan dari peran utamanya. Dia adalah David Walsh (Chris O’Dowd),
jurnalis dari The Sunday Times. Walsh adalah orang yang meyakini bila Armstrong
telah merusak citra olahraga yang begitu ia cintai. Pengumpulan bukti-bukti pun
dilakukan. Fakta mencengangkan didapatkan. Armstrong ternyata banyak mendapat
dukungan bahkan dari orang-orang berpengaruh di bidang olahraga. Ini skandal
besar. Dan ini juga adalah aib.
“The
Program” disutradarai oleh Stephen Frears dan naskahnya ditulis oleh John
Hodge. Film ini adalah hasil adaptasi buku berjudul “Seven Deadly Sins” yang
ditulis oleh David Walsh. “The Program” adalah film yang menguak soal skandal
dan konspirasi besar, bukan? Mendengar kata “konspirasi,” terasa sangat
mengerikan. Doku-drama ini layak pula untuk menyandang thriller. Tapi sebegitu menegangkankah efek yang diciptakan dalam
film ini?
Jawabannya
: Tidak! Saya sangat menyayangkan bagaimana Stephen Frears justru gagal
menciptakan ketegangannya—dari skandal dan konspirasi di baliknya. Jadi begini.
Saya memang belum pernah mengikuti berita-beritanya. Saya juga belum menonton
film dokumenternya. Meski pun begitu, akhir dari nasib Armstrong sudahlah
jelas—tanpa saya mengetahuinya. Akibatnya, “The Program” berjalan begitu flat dan apa adanya dengan kasus yang
baru mencuat tahun 2012 itu.
“The
Program” tidak lain adalah konversi dari novel menjadi sebuah film. Minim
ketegangan. Minim hentakan. Bukankah seharusnya sebuah biopik mampu menyajikan
apa yang sebenarnya belum diketahui oleh publik? Seharusnya memang seperti itu.
Tapi tidak dengan “The Program.” Tidak ada selipan lagi atau pun misteri yang
semestinya diungkap.
Kronologi
dari Armstrong yang belum apa-apa—lalu divonis kankes testis—hingga menjadi
juara dunia hanya sekedar dituangkan saja. Apa yang harus saya ketahui lagi
dari film ini? Cukup dengan membuka wikipedia.org,
semua sudah terjawab. Namun setidaknya Ben Foster memberikan penampilan yang
bagus sebagai penutup kekurangan film.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !