“Everly” tidak ubahnya film female vigilante dengan aroma grindhouse seperti layaknya film-film
milik Quentin Tarantino. Benar saja, “Everly” memiliki senyawa dari “Dwilogy
Kill Bill” (2004) yang keduanya juga bercerita mengenai seorang wanita yang memberontak
pada kelompok yang telah menaunginya. Joe Lynch mengusung kembali konsep
tersebut ke dalam film ini namun tidak lantas mengulang sepenuhnya yang pernah
ada. Dengan kreatifnya ia menggunakan single
location berupa ruang apartemen sebagai battlefield
untuk sekuen aksinya. Salma Hayek yang memiliki kharisma wanita seksi pun
sangat pantas disematkan di posisi leading
role.
Di sini Salma Hayek berperan sebagai
Everly, seperti judulnya ia adalah seorang wanita penghibur yang bekerja pada
pimpinan mobster dari Jepang, Taiko
(Hiroyuki Watanabe). Merasa dikhianati, Taiko berencana membunuh Everly lewat
tangan para wanita penghibur lainnya yang tidak bisa diremehkan kemampuan
kombatnya. Merasa ibu dan anaknya terancam, Everly harus berjuang melawan
setiap suruhan Taiko itu dan ia pun harus terjebak dalam ruang apartemen.
Saya tidak mengira bila “Everly” akan
dibuat dengan sentuhan yang stylish
seperti ini. Salah satunya adalah penggunaan set lokasi yang hanya berada di
ruang apartemen. Berbagai aksi tembak-tembakan yang cukup seru dihadirkan Joe
Lynch sejak menit-menit awal tersebut. Apa yang membuat bagian aksi tersebut
terlihat seru adalah dipilihnya karakter-karakter wanita penghibur sebagai
lawan tanding bagi Everly. Setiap satu musuh roboh, maka disusul yang lainnya
hingga selesainya opening act ini.
Tentunya sangat mengasyikkan sekali melihat para wanita ini saling menembak
seperti orang kesetanan, bahkan sempat ada karakter yang menggunakan senjata
tradisional Jepang. Para wanita simpanan mobster
itu bukanlah wanita sembarangan, sebab mereka semua (termasuk Everly) telah
dibekali dengan kemampuan bela diri dan jago tembak. Semua itu tidak lain
adalah bentuk kesenangan Taiko yang menjadikan wanita-wanita itu semacam ‘mesin
pembunuh’ berbalutkan tubuh seksi. Kemudian pace
pun mulai melambat demi membiarkan penonton tenang sekejap untuk menarik nafas
dalam-dalam.
Joe Lynch juga menyelipkan komedi
hitam di beberapa momen dalam film ini. Sebagian memang lucu, namun sebagian juga
membuat karakter yang ada menjadi terlihat bodoh. Jeda adegan adu tembak di
awal tadi diisi dengan pertemuan antara Everly dengan ibu dan anaknya. Momen
yang menjadi reuni bagi mereka setelah berpisah selama 4 tahun itu tidaklah
dikemas dengan begitu dalam dan cenderung sangat membosankan. Boleh saja bila
sebuah film diisi dengan aksi-aksi brutal nan kejam serasa tiada henti. Tapi sekalinya
memasukkan drama ke dalamnya tentu
diharapkan mampu dibuat lebih bagus lagi. Tidak ada kedekatan sama sekali
antara Everly dengan anaknya, dan konyolnya ia justru meninggalkan anaknya
dalam keadaan yang berisiko. Untung saja bagian ganjil itu segera mereda dan
kemudian disusul dengan aksi tahap berikutnya. Sebagai kelanjutan aksi
‘penyiksaan’ bagi Everly, Joe Lynch menciptakan dua karakter yang cukup menarik
bagi saya, yaitu The Sadist (Togo Igawa) dan The Masochist (Masashi Fujimoto).
Pada bagian ini, saya mulai menyadari
satu hal bahwa konsep dari “Everly” ini selain eksploitasi ala grindhouse ada juga erotic di dalamnya. The Sadist dan The Masochist memberi peranan
yang besar di bagian itu lewat masochism.
Pun dengan Taiko, saya melihat bahwa karakter ini menjadikan Everly sendiri
sebagai pihak submissive seperti
dalam seks lewat siksaan-siksaan yang membuat pihak dominant (Taiko) merasa senang. Dengan kata lain bahwa “Everly” ini
bagaikan “Fifty Shades of Grey” (2015) yang minus aspek romantisnya. Kehadiran
Salma Hayek di bagian leading role
tentu bukanlah tanpa alasan selain memang imej ‘wanita seksi’ yang melekat
dalam dirinya. Tentu saja ini adalah pemilihan cast yang sangat tepat melihat “Everly” dipenuhi erotic di banyak bagiannya. Selain
memasukkan unsur erotic ke dalamnya,
saya juga menyukai cara Joe Lynch menambahkan Japanese style ke dalamnya lewat kostum-kostum dan topeng
tradisional Jepang seperti oni (setan)
misalnya.
Mungkin terlalu berlebihan pula bila kekurangan
pada “Everly” dilimpahkan pada dramanya yang dangkal. Karena sejak awal sendiri
memang film ini dikonsep untuk lebih banyak bagian full throttle daripada drama yang
menyentuh antara ibu dan anak. Tapi mungkin jika bisa dipoles lagi setidaknya
akan lebih ada unsur dramatis meski dari segi kualitas tidak sampai meningkat
pesat. Satu hal lagi yang cukup disayangkan adalah nihilnya karakter rival dari
pihak wanita penghibur sebagai penyeimbang untuk Everly. Sebagai contoh saya
ambil “Kill Bill”, dimana Beatrix Kiddo bertarung dengan hebatnya melawan O-Ren
Ishii sebelum tahap akhir melawan Bill. Karakter rival semacam itu seharusnya
ada sebagai lawan yang tangguh dan menyulitkan bagi heroine di film ini. Di balik segala kekurangan yang ada, “Everly”
masihlah cukup menghibur terutama dari aksi tembak-tembakannya dan penyelipan ero bercampur thriller di dalamnya. Dan Salma Hayek yang usianya hampir kepala 5 pun
masih sanggup membuktikan bahwa kharismanya sebagai wanita seksi masihlah belum
luntur.
6 / 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !