Saya
tahu kalau “La Sapienza” memang film yang sangat sulit untuk diikuti dan
dipahami keseluruhan alur ceritanya. Saya pula amat sangat awam bila
berhubungan dengan art dan sejarahnya
serta memaknai definisi film yang bagus itu sendiri. Namun dengan kacamata awam
yang saya miliki, saya melihat bahwasanya “La Sapienza” adalah film yang sangat
bagus sekali, indah, dan luar biasa. Eksplorasi karakter adalah salah satu hal
yang selalu saya favoritkan dalam setiap film dan itu juga turut menjadi bagian
dalam film garapan Eugène Green ini. Butuh dua kali menontonnya bagi saya untuk
kemudian dituangkan dalam ulasan ini. Tentunya saya juga yakin bila belum
sepenuhnya memahami film ini namun ‘sedikitnya’ telah membuat saya
terkagum-kagum. Rupanya saya telah kehilangan ‘pegangan’ sewaktu pertama kali
hingga tidak tahu cara menikmatinya.
“La
Sapienza” bercerita tentang arsitek Perancis-Swiss, Alexandre Schmidt (Fabrizio
Rongione) yang berkunjung ke Itali guna menulis tentang Francesco Borromini,
arsitek yang hidup di awal abad 17 dan terkenal lewat style yang disebut Baroque.
Bersama dengan isterinya, Aliénor (Christelle Prot Landman), mereka
bertemu dengan dua bersaudara, Goffredo (Ludovico Succio) dan Lavinia (Arianna
Nastro). Atas saran Aliénor, Goffredo yang seorang arsitek muda lantas ikut
Alexandre menjelajahi Kota Turin dan Roma untuk menikmati peninggalan
Borromini. Sedangkan Aliénor sendiri banyak menghabiskan waktu menemani Lavinia. Ternyata,
perjalanan itu menggali sisi spiritual bagi mereka berempat.
Sebelum
Anda menikmati film yang indah ini, saya sarankan untuk membaca sedikit
mengenai Baroque style. Gaya
arsitektur tersebut banyak digunakan oleh arsitek besar kala itu seperti
Francesco Borromini (1599-1667) dan Gian Lorenzo Bernini (1598-1680) yang
namanya akan disebut berkali-kali dalam film ini. Meski keduanya memakai style yang sama, tapi masing-masingnya
memiliki ciri khas yang berbeda. Mengapa itu perlu ?. Sebab ciri khas itulah
yang nanti menjadi semacam petunjuk untuk memahami karakterisasi dari karakter
dalam film ini, terutama Alexandre dan Goffredo. Memang tidak perlu tahu banyak
mengenai art (terutama bangunan)
untuk memahami film ini, namun petunjuk kecil dari saya cukup membantu agar
Anda tidak ‘tersesat’ dalam menikmatinya. Intinya adalah dari dua karakter
utama di sini masing-masingnya menganut ciri khusus dari dua arsitek besar
tersebut. Dan rupanya, gaya dua arsitek besar tersebut turut mempengaruhi cara
pandang mereka dalam memahami hidup. Menariknya, Eugène Green menyelipkan semacam ‘pergeseran
identitas’ di sini, seperti yang saya juga temukan dalam film “Clouds of Sils Maria” (2014).
“La
Sapienza” banyak mengambil shot-shot
indah dari bangunan-bangunan tua yang ada di Itali. Filmnya sendiri berjalan
dengan tempo yang lambat, tenang, dan menggunakan point of view shot untuk lebih memfokuskan pada karakter yang ada. Dengan
teknik itu pula, para karakter seolah berbicara langsung dengan penonton. Dialognya
pun sangatlah menarik, nadanya kalem, banyak diisi dengan pembicaraan mengenai
seni, sejarah, dan kehidupan tapi tidaklah sampai memusingkan penonton. Kita
lantas diperkenalkan dengan empat karakter yang sudah saya jelaskan dalam
sinopsis di atas. Hubungan Alexandre dan Aliénor sebenarnya cukup
‘berjarak’, itu dapat dilihat dari cara mereka berdua dalam berkomunikasi dan
keseharian yang dilalui. Sedangkan Goffredo dan Lavinia, kedua saudara itu
begitu dekat dan seakan saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Dengan
perjalanan spiritual itu dan perkenalan lebih ‘intim’ antara mereka berempat, twist kecil tapi indah hadir di konklusi
sebagai jawaban atas pemahaman awam mereka selama ini.
Pada
awalnya, Alexandre cukup enggan bersama Goffredo dalam menggantikan posisi
isterinya untuk menemani perjalanan. Namun keingintahuan Goffredo yang besar
akan dunia arsitektur, membuat Alexandre melunak dan kedekatan mereka berdua
tidak bisa dihindarkan. Mereka berbagi pengetahuan dan pengalaman
masing-masing, pun begitu antara Aliénor dengan Lavinia. Dibanding Aliénor
dan Lavinia, menurut saya “La Sapienza” lebih banyak condong ke arah Alexandre
dan Goffredo. Terutama sudut pandang mereka yang menarik terhadap arsitektur
melalui style dari dua arsitek besar
tersebut di atas. Seiring berjalannya pengenalan pada Alexandre dan Goffredo,
di dalamnya akan terselip berbagai macam dialog yang mengarahkan kita pada
siapakah kiblat dari mereka berdua. Seperti yang saya singgung sebelumnya, Borromini
dan Bernini masing-masingnya turut memberikan pengaruh pada Alexandre dan
Goffredo. Namun salah satu dari mereka rupanya tidak menyadari bila di hati
kecilnya telah tertanam ‘gaya’ Borromini, padahal selama ini ia meyakini telah
berkiblat pada Bernini dalam menuangkan desain bangunan dan cara memandang
hidup.
Mungkin
tidak banyak yang bisa saya tuliskan dalam ulasan ini. Cukup dengan Anda
berpatokan pada Baroque style berikut
Borromini dan Bernini serta ciri khas mereka, Anda akan menemukan eksplorasi
karakter yang sangat menarik di sini. Sekedar mengingatkan lagi, “La Sapienza”
juga memiliki kemiripan dengan “Clouds of Sils Maria” dari caranya bertutur
mengenai pendalaman dan pergeseran karakter. Hanya bedanya terletak pada tema
yang diusung, satunya adalah arsitektur bangunan dan satunya lagi adalah
teater. “La Sapienza” banyak bercerita mengenai masa lalu, kini, dan depan,
pengorbanan, religiusitas serta cinta di dalamnya. Semua itu diwujudkan lewat filosofi
yang tertanam dalam bangunan-bangunan indah ala Baroque yang menjadi tanda berakhirnya era Renaissance. Penuturannya pun juga begitu filosofis, puitis, elegan,
dan indah di setiap bagian-bagiannya. Hampir tidak ada momen-momen yang
membosankan selama berjalannya durasi film. Semua tertata rapi, mulai dari
sinematografi yang indah hingga pemilihan lagu-lagu orkestra yang mengalun
merdu.
Beberapa
momen komedik juga ditampilkan oleh Eugène Green di sini. Secara implisit ia turut
menyentil turis yang tidak tahu nilai seni lewat selipan komedi yang
menggelitik. Salah satunya adalah perdebatan turis Australia dengan penjaga
kapel yang amat sangat lucu sekali. Dari adegan itu saya mulai menyadari bahwa
ada perbedaan yang sangat kentara antara mereka yang tahu benar cara menilai
seni dan sebaliknya. Apakah Anda ingin tahu bagaimana ?. Cobalah tonton film
indah yang juga salah satu yang terbaik di tahun ini.
10 / 10
Setiingnya bangunan artistik yang ada di Italia, hmmm jadi pengen kesana dan nonton filmnya disana pasti feelnya lebih dapet :D
BalasHapusya benar mas, sangat saya rekomendasikan untuk ditonton. Udah saya masukin list film terbaik di tahun ini. ditunggu aja insyaallah listnya saya posting di akhir tahun.
HapusTerima Kasih sudah berkunjung ke blog jelek ini ^_^
Agen GAPLE ONLINE Pakai Pulsa Anda T-SEL,XL untuk main di Agen kami
BalasHapusTexas Hold'em Poker,
Capsa Susun, Bandar Poker, Domino QQ, Adu Q, dan Bandar Q.
Permainan games online lain seperti
Sabung Ayam S1288, CF88, SV388, Sportsbook, Casino Online,
Togel Online, Bola Tangkas Slots Games, Tembak Ikan, Casino Games juga Tersedia di Website PokerVita.fun
Terima semua BANK Nasional dan Daerah, OVO GOPAY Pasti Bisa
Hubungi customer service officer kami
Whatsapp : 0812-222-2996
WWW.POKERVITA.FUN