“American
Hero” garapan Nick Love mengingatkan saya pada “Chronicle” (2012) milik Josh
Trank. Kamera goyang, kekuatan super, isengi orang, dan hal lain semacamnya. Satu
yang pasti bahwa “American Hero” bukanlah film superhero ala buku komik. Ia hanya manusia biasa (baca : bajingan)
dan tanpa kostum serta tanpa niatan menumpas kejahatan.
Superhero tersebut bernama Melvin
(Stephen Dorff). Ia telah bercerai dengan isterinya, Doreen (Keena Ferguson).
Hubungan keduanya juga merenggang. Doreen pun melarang Melvin untuk menemui
anak mereka satu-satunya, Rex (Jonathan Billions). Melvin bahkan dituduh Doreen
telah menculik Rex dan membuatnya mendapatkan hukuman “pelayanan masyarakat.” Singkatnya,
Melvin adalah pecundang sejati.
Terpisah
dengan Rex membuatnya hidup bak gelandangan. Mabuk-mabukan, menghisap ganja,
dan bermain wanita. Ia bersahabat dengan Lucille (Eddie Griffin), mantan
anggota kesatuan yang lumpuh karena tertembak saat bertugas. Di saat Lucille
terbuang oleh keluarganya, Melvin dan ibunya justru memberikan tempat
berlindung. Selain Lucille, Melvin juga bersahabat dengan Lucas (Yohance
Myles); seorang ilmuwan—saya menyebutnya seperti itu karena seragam lab putih
yang selalu dikenakannya. Ia bertanggung jawab dalam melatih Melvin mengendalikan
kekuatannya.
Melvin
memiliki kemampuan super berupa telekinetik. Kekuatan yang sama yang dimiliki
oleh trio dalam “Chronicle.” Telekinetik adalah kemampuan yang mampu
menggerakkan benda-benda di sekitar. Menghancurkan, melemparkan, membengkokkan,
dan semacam itulah. Melvin dianggap menyia-nyiakan bakatnya tersebut. Ia jauh
lebih memilih menjadi orang berengsek daripada memanfaatkannya pada jalur yang
benar. Sesekali ia memamerkannya sebagai sulap jalanan.
Pertanyaannya
adalah darimana asal kemampuan unik Melvin ? Sejauh yang saya ingat, “American
Hero” tidak menjawab pertanyaan tersebut. Naskah yang ditulis oleh Nick Love
sendiri terlalu lemah untuk menghantarkan cerita dan mengembangkan karakternya.
Semuanya klise dan sangat mudah ditebak. “American Hero” tidak ubahnya konsep from zero to hero seperti film-film yang
banyak bertebaran.
Tidak
ada yang salah sebenarnya dengan konsep pasaran itu. Tapi “American Hero” dengan
jelas menjauhkan diri dari unsur menghibur. Sejujurnya pada bagian first act, “American Hero” cukup meraih
atensi saya sebagai penonton. Lantas seiring berjalannya durasi, kekuatan
ceritanya semakin lemah dan tidak terkendali dengan baik.
“American
Hero” adalah film tentang pecundang yang berusaha memperbaiki hidupnya serta
hubungannya dengan orang-orang sekitar. Saya mengerti bila Nick Love memasang
premis bahwa kekuatan super saja tidak cukup membuat seseorang menjadi
sempurna. Tapi sayangnya ia kurang menarik dalam mempresentasikan cerita. Tidak
salah juga jika akhirnya saya menjadi bosan di pertengahan hingga akhir film.
Apakah film ini bercerita menjadi superhero
yang baik atau ayah yang baik, Nick Love juga tidak menguraikan jawabannya.
“American
Hero” dibuat dengan format mockumentary.
Anda tahu seperti apa—dokumenter fiksi lebih mudahnya. Saya sempat menaruh
harapan besar saat menonton trailer-nya—hal
yang sangat jarang saya lakukan. Namun begitu tersaji di depan mata, duo Prof.
X dan Magneto ini (Melvin dengan telekinesisnya serta Lucille dengan kursi
rodanya) gagal menghibur saya. Memang tidak secara total sampah, hanya ada di
beberapa bagiannya yang lemah (itu pun juga banyak). Jika karakter Lucille bisa
digali lagi dengan celetukan yang lebih banyak dan berbobot, film ini berpotensi
menjadi komedi menyegarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !