“The Wave” diawali footage hitam putih tentang bencana
gelombang pasang yang pernah menyapu sebuah kota di Norwegia pada 1905. Berbeda
dengan gelombang pasang yang sering kita saksikan dalam tv, yang satu itu
terjadi akibat runtuhan gunung ke dalam danau. Akibatnya, air dalam danau
meluap sehingga menciptakan gelombang raksasa. Kemudian Roar Uthaug kembali
menghidupkan fenomena alam mengerikan itu ke dalam “The Wave” ini.
Setiap film disaster memiliki formula wajib yang selalu ada. Baik itu buatan
Hollywood atau di luarnya (“The Wave” buatan Norwegia), tidak mengherankan keduanya
sama. Salah satunya adalah ilmuwan. Film disaster
(gempa bumi, banjir, gunung meletus) selalu saja menampilkan ilmuwan yang ahli
di bidang bencana alam tersebut. Memang terkadang menggelikan. Tapi keberadaan
karakter ilmuwan semacam itu terbukti efektif menghidupkan alur cerita.
Kali ini, karakter ilmuwan adalah sang
protagonis itu sendiri. Kristian (Kristoffer Joner) namanya. Ia seorang geologist, tinggal bersama istrinya,
Idun (Ane Dahl Torp) yang bekerja di hotel dekat rumah, serta kedua anaknya,
Sondre (Jonas Hoff Oftebro) dan Julia (Edith Haagenrud-Sande). Mereka menghuni
sebuah rumah sederhana di sebuah desa bernama Geiranger dekat pegunungan Åkerneset.
Geiranger adalah nama nyata sebuah desa di Norwegia. Salah satu destinasi
wisata ternama di negara Eropa Utara itu.
Kristian awalnya bekerja memantau
pergeseran batuan pegunungan Åkerneset itu. Namun kali ini, ia akan
pindah bekerja di bagian perminyakan. Pekerjaan baru, lingkungan baru, dan
rumah baru yang lebih bagus menanti. Sebelum keberangkatan menuju rumah
barunya, Kristian menyadari ada yang salah pada gunung yang selalu ia amati
itu. Bisa ditebak. Bencana mengerikan pun dimulai.
Jika dalam film disaster melibatkan karakter utama beserta keluarganya, salah satu
(atau dua) anggotanya pasti ketiban sial. Seberapa pun besarnya musibah yang
dialami, saya janjikan bila tidak ada satu pun anggota keluarganya yang akan
mati. Saya ambil contoh “San Andreas” (2015) yang saya tonton tidak lama lalu.
Formulanya juga sama persis dengan “The Wave” atau sebagian besar film disaster. Melibatkan keluarga—anggotanya
tertimpa bencana—sang ayah adalah penyelamat—ajaibnya tidak ada yang mati.
Tidak bermaksud memberikan spoiler berlebih pada “The Wave,” film
semacam ini memang masih setia mengusung formula yang sama. Justru yang cukup
mengejutkan bagi saya adalah sang sutradara, Roar Uthaug, jelas sekali
memasukkan gaya Hollywood ke dalam filmnya. Mungkin jika ia memberikan suntikan
khusus kekhasan Eropa, saya berpikir hal itu akan jauh lebih menarik lagi.
Walau pun formulanya bukan hal baru
lagi, “The Wave” menghadirkan film bencana yang lebih realistis jika dibanding
buatan Hollywood. Entah menghemat bujet atau membuatnya lebih nyata, efek
penyapuan gelombangnya tidak over-the-top.
Kemunculannya mungkin hanya beberapa menit saja, tapi tetap meninggalkan
impresi yang mendalam. Asumsi saya, Roar Uthaug selain ingin menghemat bujet,
beralasan juga jika gelombang tersebut tidak muncul secara berlebihan.
Alasannya adalah air gelombang itu berasal dari danau dan ditimbulkan oleh
reruntuhan bebatuan yang terjadi sekejap.
Dalam “The Wave,” ada sekuen menarik
ketika para karakternya terjebak dalam bekas hotel yang digenangi air. Efek klaustrobik
yang diciptakannya benar-benar nyata. Saya pun merasa ikut sesak nafas saat
para karakternya menyelam sambil menahan nafas di dalam air. Saya baca dari wikipedia, Kristoffer Joner sampai
berlatih keras untuk menahan nafas
lebih dari tiga menit. Sebuah usaha menghidupkan karakter yang sungguh
mengagumkan.
“The Wave” mungkin bukanlah film disaster yang spesial. Beberapa bagian
klisenya juga sering kita saksikan dalam film serupa. Tapi bagaimana Roar Uthaug
menghidupkan kembali peristiwa naas itu memiliki nilai tersendiri khususnya
bagi sejarah Norwegia. Dan pastinya tidak lupa demi meningkatkan nilai
pariwisatanya. Walau bayang-bayang peristiwa yang pernah terjadi bisa saja
terulang kembali, “The Wave” memastikan bila Geiranger tetap aman sebagai
tempat wisata yang eksotik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !