Berharap banyak kah untuk menonton superhero yang dapat mengecilkan tubuh
ini ?. Jika saya mendapatkan pertanyaan tersebut, dengan tegas saya jawab
“tidak”. Walaupun ekspektasi awal tidaklah besar, bukan berarti Ant-Man tidak
layak tonton. Sebagai hiburan berupa popcorn
movie, boleh saja. Bagi yang sering mengikuti Marvel Cinematic Universe,
mungkin sosok Ant-Man dengan alter ego
bernama Scott Lang ini masih sangat asing sekali. Padahal jika berdasar pada
komik, bisa dibilang bahwa Ant-Man merupakan salah satu former dari The Avengers, bersama sang side-kick, The Wasp. Maka tidak heran bila pengembangan dari
Ant-Man sendiri sudah dimulai sejak tahun 2006. Sayangnya, si manusia semut yang
naskah awalnya ditulis oleh Edgar Wright dan Joe Cornish ini justru berakhir
kurang ‘menggigit’. Berbanding terbalik dengan basic dari semut yang memang suka menggigit.
Cerita diawali dengan setting tahun
1989, ketika seorang scientist
bernama Hank Pym (Michael Douglas) menyatakan keluar dari S.H.I.E.L.D., setelah
menyadari bahwa penemuannya, Pym’
Particles, akan mereka buat replika. Mengetahui bahwa penemuannya sangat
berbahaya, ia bersumpah untuk menyembunyikannya. Ancaman juga datang dari
mantan anak didiknya, Darren Cross (Corey Stoll) yang telah berhasil
mengembangkan shrinking suit,
Yellowjacket. Narasi kemudian berpindah pada Scott Lang (Paul Rudd), seorang
mantan narapidana yang kini telah ditinggal oleh istrinya, dan juga harus jauh
dari anaknya, Cassie (Abby Ryder Fortson). Demi uang, Scott menerima ajakan
mencuri dari teman-temannya yang juga maling kambuhan. Bukan uang yang didapat,
Scott malah mendapatkan shrinking suit dan
menjadikan sang pemilik sebagai mentornya.
Konflik yang menimpa main character seperti deskripsi saya di
atas merupakan sesuatu yang klise. Semua juga menyadari hal itu. Sialnya, latar
belakang yang klise tersebut justru berada pada bagian setup. Akibatnya tidak lain adalah dengan cepatnya mengendorkan
atensi penonton di awal film berjalan. Penonton pun serasa ingin segera
melewati scene by scene yang
memperlihatkan carut marutnya kehidupan Scott Lang bersama mantan isteri dan
terpisah dengan sang anak. Lantas kemudian, apalagi yang ditunggu oleh penonton
jika bukan proses transformasi dari seorang Scott Lang menuju Ant-Man ?. Pada
tahapan ini, sang sutradara Peyton Reed memperkenalkan sosok Ant-Man pada kita melalui
sebuah adegan heist dari Scott
bersama ketiga temannya yang konyol. Sungguh disayangkan, proses ‘perkenalan’
tersebut begitu predictable dan kembali
berpotensi menurunkan atensi. Rupanya, Peyton Reed kurang mampu menghadirkan
pembukaan yang membuat penonton duduk anteng. Ya, saya sempat facepalm di bagian ini.
Tebakan saya ternyata tepat, Ant-Man
memang tidak memiliki sesuatu yang ‘besar’ untuk dipamerkan. Bahkan cenderung ‘kecil’,
sekecil perubahan tubuhnya yang merupakan ability-nya.
Installment kedua belas dari Marvel
Cinematic Universe ini terasa paling ‘aman’ jika dibandingkan dengan para
pendahulunya. Silakan lihat Iron Man (2008) yang begitu impressive dan powerful,
meskipun tidak bisa dipungkiri menurun di sekuelnya. Atau mungkin Captain America
: The First Avenger (2011) yang penuh dengan action sequence dan justru meningkat di bagian sekuelnya. Apapun
itu, setidaknya untuk film solo pertama, wajar saja jika penonton menuntut
lebih dan lebih. Itulah yang tidak dimiliki oleh Ant-Man ini. Paul Rudd yang
komikal dan slengekan, mungkin cocok memerankan Scott Lang. Tapi itu tidaklah
cukup untuk membangun karakter yang lovable.
Adanya malah karakter yang jamak ditemui di film-film drama family. Tony Stark,
Steve Rogers, hingga Peter Quill, semua punya karakterisasi kuat yang tentunya
berimbas pula bagi penonton untuk menyukai filmnya.
Untung saja, Paul Rudd yang juga
seorang komedian ini mampu memberikan sumbangan besar lewat naskah yang juga ia
tulis bersama Adam McKay, sejak hengkangnya Wright dan Cornish. Untuk aspek
komedi, “Ant-Man” cukup berhasil memancing tawa penonton lewat lelucon slaptick dan menyinggung beberapa film.
Lelucon yang ringan, tapi menyegarkan. Paul Rudd juga tidak sendiri, ada
Michael Peña yang memegang kunci kekocakan dengan karakter yang
tidak disangka punya peranan besar di sini. Michael Douglas yang sepintas terlihat
memerankan karakter Hank Pym yang super serius, berhasil mengejutkan saya lewat
momen-momen lucu hasil pancingan dari Paul Rudd. Evangeline Lilly yang berperan
sebagai puteri dari Hank Pym, memang belum memberikan gertakan berarti di film
ini. Tapi waspadalah, kejutan besar akan menanti di bagian akhir. Apakah
Ant-Man akan berlanjut ke Infinity War ?, besar kemungkinan memang. Dibanding
The Guardian of The Galaxy (2014), clue untuk
mengarah ke sana sudah banyak tersebar sepanjang film ini. Apalagi kemunculan
“manusia alap-alap” yang sempat berduel dengan Ant-Man, semakin meyakinkan hal
tersebut.
Seru dan mengasyikkan, itulah Ant-Man.
Tapi apakah mengagumkan ?. Saya rasa, kata tersebut masih terlalu jauh untuk
disematkan pada film ini. Petualangan dengan ukuran tubuh yang kecil memang
seru, tapi bukanlah hal yang baru dalam film. Kekurangan tersebut rupanya
berhasil tertutupi oleh action sequence
yang cukup fantastis, lewat pengambilan gambar yang cepat dan dinamis. Sejalan
dengan Spider-Man yang tangkas, Ant-Man juga ditampilkan begitu gesitnya dengan
permainan perubahan tubuh dari besar-kecil-besar-kecil-besar yang sempat
membuat mata tidak berkedip. Pertarungan lewat pertarungan dengan view dari alam realita (ukuran tubuh
normal) dan liliput, tidak mampu ditolak pesonanya. Sebab, dari situ pulalah
unsur lucunya terselip. Pertarungan di rel kereta api Thomas....best scene bagi saya. Kostum ala
pengendara motor era dystopia yang
cukup garang ini....terbaik setelah Iron Man.
Jauh dari sempurna, Ant-Man masih
tetaplah sajian yang menghibur. Lemah di bagian awal memang, tapi cukup apik
dieksekusi. Bicara soal karakter, tidak ada yang benar-benar menarik
sebenarnya. Tapi beruntung, unsur komedi dengan porsi yang cukup banyak,
berhasil menyelamatkannya dari kedangkalan eksplorasi para karakternya. Tidak
sampai membuat senyum puas, namun tentu saja kemampuan unik Ant-Man sangat
dinantikan untuk kolaborasinya dengan para superhero
Marvel lainnya.
6,5 / 10
Aku kok lebih suka Ant-Man daripada Captain America yang pertama ya mas. Mungkin karena Ant-Man memang lebih fokus ke arah drama keluarga dengan sentuhan komedi, jadi kalopun terdengar klise bukan masalah.
BalasHapusMalahan dibanding Age of Ultron masih lebih milih Ant-Man haha. Film paling aneh dari Marvel (ngalahin anehnya GotG)
Hapuswow, kalo aku malah ngerasa GotG yg paling aneh di MCU. Pemilihan range berupa semesta jauh dgn karakter2 aneh warna-warni membuat ku rada mengernyitkan dahi awalnya. Tapi akhirnya filmnya memuaskan. Alasan lain mungkin karena asing saja dengan superhero GotG.
HapusSedangkan kalo Ant-Man udah 'kenal' cukup lama lewat seriap kartun.
Terima kasih komentarnya mbak Niken.
BalasHapusEmm, rupanya saya malah ada masalah dengan drama keluarganya . hehehehe. Tapi bukan berarti saya tidak suka drama keluarga lo. Justru saya merasa tidak pas saja jika jatahnya terlalu banyak di Ant-Man.
Kalo soal komedi, memang Ant-Man juara dah. Tapi, saya merasanya kok tidak terlalu padat gitu, mulai dari pemanfaatan action sequencenya misalnya. Paruh pertama itulah yg cukup melelahkan bagi saya.
BalasHapusBAYAR PAKAI OVO GO-PAY PULSA XL = AXIS = TELKOMSEL
|| POKER | DOMINOQQ | CEME | CAPSA | SAKONG||
Merdeka Deposit Min Rp.50.000 Bonus 4.500 || Merdeka Deposit Min Rp.100.000 Bonus 8.000
Merdeka Deposit Min Rp.200.000 Bonus 17.000 || Merdeka Deposit Min Rp.500.000 Bonus 45.000
WhastApp : 0812-9608-9061