Bicara
soal film western, inilah genre yang
begitu tegas menampakkan sisi kerasnya kehidupan. Semakin keras lagi ketika
latar berupa hamparan rumput yang tandus, gurun yang panas, dan tebing-tebing
bebatuan. Sesuai dengan latar yang digunakan, western tidak luput dari aksi brutal manusia yang saling tembak,
kejar-kejaran dengan kuda, atau justru ganti dikejar oleh suku lokal. Karya
debut dari John Maclean yang berjudul Slow West ini adalah bentuk pengemasan
baru dari western dengan ditambah coming-of-age romance menjadikannya
lebih stylish tanpa mengubah pakem
dari western itu sendiri. Walaupun
ada unsur romance, Slow West tidak
tampil begitu melodramatis. Para pria macho dengan pistol pun masih banyak
berkeliaran di sini.
Seorang
pemuda kurus, clumsy, dan nampak
lemah, Jay (Kodi Smit-McPhee), datang jauh-jauh dari dataran tinggi Skotlandia
menuju Amerika hanya untuk mencari wanita yang dicintainya, Rose Ross (Caren
Pistorius). Jay mengatakan, kesalahannya lah yang telah membuat Rose dan
ayahnya harus pergi ke Amerika. Dengan bawaan yang overload dan pengalaman yang minim, ia jelajahi alam liar para
koboi ini. Dalam perjalanannya, Jay bertemu seorang bounty hunter bernama Silas (Michael Fassbender) dan setuju
mengawalnya sampai hutan bernama Silver Ghost. Petualangan mereka semakin seru
karena dua sosok yang berbeda jauh kepribadian ini. Menegangkan juga, karena
banyak rintangan yang tidak akan pernah mereka duga selama perjalanan.
Mungkin
penonton sudah bisa menebak apa yang akan terjadi ketika dua sosok berbeda
kepribadian ini bersama dalam satu petualangan. Jay akan belajar bertahan hidup
di alam keras dari Silas, begitu pula Silas yang banyak belajar dari kebijakan
seorang Jay. Tapi Slow West tidak semudah itu untuk ditebak, kejutan demi
kejutan akan muncul tiba-tiba dan mengagetkan, meski sebelumnya terasa tone yang begitu pelan dan tenang. Sesekali,
flashback antara Jay dan Rose
ditampilkan untuk menguatkan bahwa hubungan mereka begitu dekatnya. Meski Jay
begitu mencintai Rose, tapi sayangnya Rose hanya menganggap Jay sebagi saudara
saja. Bukti cinta yang kuat tersebut dibuktikan oleh Jay dengan kenekatannya
untuk pergi sendiri ke Amerika. Sampai sini, Slow West masih terlihat ‘aman’
saja, karena kita harus menunggu dengan sabar hingga taringnya benar-benar
keluar.
Seperti
yang saya singgung sebelumnya, Slow West terasa begitu tenang dan menghanyutkan,
seolah mengisyaratkan pada penonton bahwa tidak akan terjadi hal yang besar
setelahnya. Tapi siapa yang sangka, baku tembak yang amat seru justru muncul
tiba-tiba dari pasangan suami istri, contohnya. Adegan demi adegan action yang muncul dadakan itu dikemas
dengan begitu bagus dan rapi oleh Maclean. Dari bagian ini, penonton harus
mulai aware karena siapa tahu hal-hal
yang lebih mengejutkan akan muncul kembali. Dan ternyata benar, sosok pemimpin
bandit bernama Payne (Ben Mendelshon) memperkenalkan diri sambil membawa
kenangan masa lalu bagi Silas. Sosoknya yang memakai jaket wol sedikit
mengingatkan saya pada pemimpin bandit bernama Lucky Ned Pepper (Barry Pepper)
dari film arahan Coen Bros., True Grit (2010). Kemunculan dari Payne di sini bukanlah
sekedar numpang lewat, melainkan akan menjadi jembatan penghubung untuk aksi
yang lebih gila dan lebih brutal lagi.
Pengemasan
baru dari western ala John Maclean
ini terasa sekali di beberapa aspeknya. Seperti latar yang digunakan bukanlah
padang atau gurun tandus, melainkan hamparan bunga-bunga indah berwarna ungu
dan sesekali menjelajahi hutan-hutan pinus nan hijau. Sinematografi dari Robbie
Ryan pun semakin memanjakan mata walau tidak banyak bermain dengan widescreen landscape. Tidak kalah uniknya
lagi, Slow West menggunakan aspek rasio 1:66:1 yang terlihat kuno dari segi frame, tapi modern dan stylish dari
segi visual. Inilah yang patut saya acungi jempol dari keberanian seorang
Maclean untuk mengeksplorasi sesuatu yang baru bagi genre yang dipandang ‘kuno’
ini agar tampil lebih ‘segar’ dan sanggup dinikmati oleh penikmat masa kini.
Saking begitu menikmatinya, saya tak bisa hentikan kedua tangan untuk
memberikan applause padahal film
masih berjalan di pertengahan.
Semua
karakter yang muncul di Slow West dikonstruksi begitu apik dengan
karakterisasinya yang kuat pula, jadi tidak ada istilahnya karakter yang hanya
sebagai tempelan saja. Semua karakternya berhasil menghadirkan sesuatu yang
tidak hanya mengejutkan, tapi juga mampu untuk membuat yang menontonnya
bersimpati. Sebut saja Rose, siapa yang sangka dia akan ditampilkan sebagai
gadis perkasa dengan senapan laras panjang ?. Tentunya sangat mengagetkan, jika
mengingat adegan-adegan flashback-nya
dengan Jay membuatnya terlihat hanya sebagai gadis lugu nan rapuh. Jika dipikir
lagi, sudah berapa kali saya menyebutkan kata “mengejutkan” ?. Saya telah
kehabisan kata, karena hanya itu saja yang ada pada pilihan utama untuk
mendeskripsikan film yang brutal tapi indah ini. Kata tersebut berjalan kontras
dengan judul film ini yang menggunakan embel-embel kata “slow”, yang
seolah-olah bahwa slow/lambat itu
mudah ditebak, padahal kenyataannya bicara sebaliknya.
Senada
dengan judulnya, karakternya yang kaya akan twist
memberikan atensi untuk terus mengikuti kisahnya hingga akhir. Kisah romance-nya dapat berjalan di jalur yang
sama dengan western, yaitu sama-sama
dikemas dengan brutal dan tragis, tanpa banyak memberikan tangis, melainkan
kesan yang romantis. Singkat dan padat, Slow West memberikan pengalaman yang
baru dalam menikmati western yang
mungkin dipandang sudah ketinggalan jaman, menjadi sajian yang begitu
mengasyikkan, lengkap dengan komedi hitamnya yang beberapa kali diselipkan.
9 / 10
BalasHapusBAYAR PAKAI OVO GO-PAY PULSA XL = AXIS = TELKOMSEL
|| POKER | DOMINOQQ | CEME | CAPSA | SAKONG||
Merdeka Deposit Min Rp.50.000 Bonus 4.500 || Merdeka Deposit Min Rp.100.000 Bonus 8.000
Merdeka Deposit Min Rp.200.000 Bonus 17.000 || Merdeka Deposit Min Rp.500.000 Bonus 45.000
WhastApp : 0812-9608-9061