Zombie Apocalypse masih menjadi favorit
bagi sebagian besar penikmat film horror.
Adegan berdarah-darah dan kejar-kejaran dengan mayat hidup ini seakan tidak
pernah lekang oleh waktu, meski berapa kalipun diolah menjadi sebuah film. Di situlah
letak kesulitan dalam membuat film-film zombie,
yaitu bagaimana menciptakan ritme agar tidak membosankan bagi penontonnya,
walaupun harus berpegang pada pakem yang selalu pasti ada. “Maggie”, mencoba
untuk memberikan taste yang berbeda
pada film zombie dengan lebih
menekankan pada unsur drama yang begitu kuat dan meminimalisir adegan keroyokan
para zombie. Demi mengikat atensi,
nama-nama besar pun turut digandeng seperti Arnold Schwarzenegger dan Abigail
Breslin yang sebelumnya bermain di Zombieland (2009).
Kali
ini, wabah virus yang menjangkiti manusia hingga berubah menjadi zombie disebut Necroambulist. Wade Vogel (Arnold Schwarzenegger) berhari-hari
mencari anaknya, Maggie (Abigail Breslin) yang menghilang dan diduga terkena
gigitan oleh zombie. Tidak berapa
lama, Wade menemukan Maggie dalam perawatan di sebuah karantina. Dengan bantuan
salah satu temannya, Wade berhasil mendapatkan kesempatan untuk membawa pulang
Maggie ke rumah untuk berkumpul dengan ibu tiri dan dua adiknya. Bukannya tidak
tahu akan risikonya, apa yang diinginkan Wade hanyalah ingin berkumpul dengan
anak yang paling ia sayangi. Pihak karantina pun memberikan opsi untuk tetap
membiarkan Maggie dikarantina atau Wade melakukan tindakan pencegahan jika
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Sesuai
judulnya, film ini lebih menekankan pada masa-masa Maggie ketika tubuhnya
digerogoti oleh virus Necroambulist
hingga sepenuhnya menjadi zombie. Rasanya
takdir tidak bisa ditolak, ketika seorang manusia terkena gigitan zombie, maka hanya tinggal menghitung
waktu untuk berubah. Seperti itu pulalah yang terjadi pada Maggie. Para pecinta
film-film zombie tentu akan tahu
bahwa apa yang menimpa Maggie tentu sudah dapat ditebak apa yang akan terjadi
di akhir. Tapi konflik yang coba diangkat di film ini adalah rasa kepercayaan
Wade pada anaknya sekalipun tahu risiko apa yang akan dihadapi selanjutnya. Karena
ia tahu, maka yang ia inginkan adalah menikmati saat-saat terakhir kebersamaan
mereka. Pada poin ini, suasana depresif semakin terasa begitu kuat apalagi
dipadu dengan tone yang begitu
gelapnya.
Bagi
Anda pecinta film zombie yang mainstream, jangan harap akan ada banyak
sekali adegan yang menampilkan para zombie
yang saling kejar-kejaran mencari mangsa. Memang sempat ada momen yang
menampilkannya, tapi dengan porsi yang sangat sedikit sekali. Itupun dengan
jumlah zombie yang hanya bisa
dihitung dengan jari. Unsur mencekam yang dibangun di sepanjang film ini
bukanlah lewat serangan para zombie
yang datang tiba-tiba, melainkan penantian dari fase perubahan Maggie menuju ke
wujud final-nya. Mencekam dan juga
depresif, keduanya menyatu seirama dengan tempo yang cukup lambat pula. Henry
Hobson lewat karya debutnya ini mengajak penonton untuk mengikuti keseharian Maggie
sebelum masa terakhirnya menjadi manusia. Berbagai rasa seperti sedih, takut,
dan benci coba ia campurkan menjadi satu pada momen-momen yang menyesakkan itu.
Apalagi melihat pelukan terakhir untuk Maggie dari sahabatnya, Allie (Raeden
Greer) benar-benar membuat heart touching
di sini.
Salah
satu faktor yang begitu kuat membangun suasana dalam film ini adalah akting
Schwarzenegger yang sangat bagus dalam memerankan seorang ayah yang sabar dan
bijak. Cukup mengagetkan, karena dia berhasil membawakan peran family man dengan baik dan mampu lepas
dari peran-peran ikoniknya yang badass.
Melihat karakter Wade yang dimainkannya sebagai sosok yang tegar, berhasil
membuat saya bersimpati. Sayangnya, akting yang bagus dari Schwarzenegger
ternyata tidak mampu diimbangi dengan baik oleh Breslin, sehingga simpati saya hanya
jatuh pada sosok ayah ini daripada Maggie yang terkena gigitan zombie. Rasanya memang cukup sulit untuk
mempercayai bahwa aktor Terminator ini bisa begitu menghayatinya perannya.
Dibanding berakting dengan banyak dialog, Schwarzenegger di sini justru banyak
bermain dengan ekspresi dan ia berhasil dengan baik. Sedangkan untuk Breslin, ia
tetap berakting dengan bagus, hanya saja Schwarzenegger lebih mendominasi.
Dengan
kemasan yang lebih dramatis dari film zombie
lainnya, akankah membuat “Maggie” layak disebut memiliki konsep baru?. Saya
dengan tegas menjawab “tidak!”. “Maggie” masih tetap old fashioned layaknya film zombie
lainnya yang sudah menjamur. Tidak ada yang baru di sini. Apa yang menimpa Maggie
hanyalah efek dramatisir hasil olahan Henry Hobson yang sebenarnya juga ada di
film zombie lainnya, hanya saja memang terlihat sekilas dan tidak
begitu difokuskan. Coba Anda lihat di film zombie
lainnya, tentu selalu ada momen yang menampilkan karakter yang tidak tega
untuk menghabisi orang terdekatnya yang telah berubah jadi zombie. Hobson masih tetap mengulangi hal yang sama, hanya saja memang
dibuat lebih dramatisir dengan tujuan mungkin untuk menarik segmen yang lebih
luas lagi.
Dengan
unsur cerita yang sekedar repetitif meski banyak otak-atik di sana sini, tidak
lantas membuat “Maggie” menjadi film yang buruk. Setidaknya terselamatkan
dengan akting Schwarzenegger yang outstanding
dan atmosfir kelam yang tidak biasa di film zombie yang mainstream. Sesuai
dengan apa yang saya tuliskan di paragraf pertama, memang sangat sulit untuk
menciptakan sebuah film zombie yang
benar-benar berbeda, di saat pakemnya sudah begitu mendarah daging. Sedikit saja
keluar dari jalurnya, bisa berakibat fatal.
6 / 10
sedih melihat film zombie maggie ini, tapi saya lupa endingnya harus nonton lagi
BalasHapusSeru habisss
BalasHapusComan gk greget zombienya kurang banyak hihii, walaupun banya scene yg menegangkan sekaligus mendebarkan plus kasih sayang dramatis, mengambil tempat perdesaan yg "sunyi" wah ini film bisa jdi film malam minggu yg faforit, tapi saran ane nih jgn memfaforitkan/fans tokoh2 para pemain zombie deh takutnya di php klo mati ntr baper kamu :) klo gw lebih seruan dikota sama banya2 org klo film zombi sih.