Saya tidak tahu banyak mengenai
olahraga yang bernama tinju. Tidak pernah antusias dengan setiap
pertandingannya, apalagi mengidolakan salah satu atletnya. Apa yang saya
rasakan ini layaknya penolakan dari Martin Scorsese ketika pertama kali
dimintai oleh Robert De Niro untuk membuat biopic
dari Jake La Motta ini. Diangkat dari memoir berjudul “Raging Bull : My Story”
yang ditulis sendiri oleh La Motta, film ini tidak hanya berkisah mengenai
perjalanan karirnya saja, melainkan juga carut marut rumah tangganya. Segala
aspek luar biasa dari film ini membuat saya begitu terkesan sehingga sejenak
melupakan ketidakpahaman saya dengan olahraga adu jotos ini.
Diperankan dengan sangat luar biasa
bagus oleh Robert De Niro, Jake La Motta adalah seorang petinju kelas menengah berdarah
Itali-Amerika. Dikenal dengan watak yang temperamen, mudah tersinggung,
pencemburu berat, dan nafsu makan yang begitu besar. Dijuluki sebagai “Bronx
Bull”, amukan Jake La Motta yang destructive
begitu ditakuti di atas ring. Adalah Joey (Joe Pesci), adik sekaligus menejer
Jake yang bertindak sebagai penenang dan penasihat ketika amarah Jake meledak. Hubungan
mereka begitu rumit, tidak jarang mereka saling memaki dan memukul. Tapi di
dalamnya, mereka berdua saling menyayangi satu sama lain.
Opening credit
yang menampilkan Jake La Motta di atas ring dengan slowmo dan iringan musik “Cavalleria Rusticana : Intermezo” yang
megah namun tenang, mengisyaratkan bahwa film ini akan banyak bercerita dengan
suasana yang depresif. Hampir keseluruhan “Raging Bull” yang diambil dengan
hitam putih pun seolah berbicara mengenai sisi kelam nan gelap dari kehidupan
Jake La Motta beserta orang-orang di sekitarnya. Kecuali, beberapa montage berisi pernikahan Jake dengan istri
keduanya, Vickie (Cathy Moriarty), yang sengaja dibuat colourful demi menegaskan suasana tengah bahagia. Selain itu,
semuanya begitu gloomy, keras, dan brutal.
Pembangunan atmosfir yang terasa ‘hitam pekat’ tersebut mewakili kebrutalan
Jake ketika di atas ring, kecemburuannya hingga menyakiti Vickie, dan sifat
temperamen yang membuat keluarganya berantakan.
Tidak lengkap rasanya jika tidak
membicarakan karakter Jake La Motta yang memegang peranan paling besar di sini.
Ia digambarkan sebagai sosok yang temperamen, mudah sekali naik darah, dan
tidak segan-segan memukul jika ada yang tidak sependapat dengannya, baik itu
kepada Vickie maupun Joey yang meskipun adik kandungnya sendiri. Pencemburu, ia
bahkan tidak segan-segan merusak wajah Tony Janiro (Kevin Mahon) ketika
bertanding, hanya karena Vikki menyebutnya tampan. Pemikirannya yang tidak
jernih dengan menuduh Vickie telah selingkuh dengan Joey juga menyebabkan
hubungan mereka berdua menjadi dingin selama bertahun-tahun. Nafsu makannya
yang besar hingga berakibat bobotnya meningkat juga seringkali membuatnya
kerepotan ketika harus bertanding. Gaya bertarungnya yang brutal dan tidak
terkendali memang berhasil membuat lawan-lawannya ketakutan. Tapi dari situlah,
Jake kemudian kesulitan mencari lawan tanding dan terpaksa menganggur.
Dari deskripsi tersebut, dapat dilihat
betapa orang seperti Jake ini begitu
perkasanya di atas ring. Tapi siapa yang menyangka, bahwa Jake ini digambarkan
sebagai pengidap madonna-whore complex,
yaitu ketidakmampuan dalam menyalurkan hasrat seksualnya, atau bisa disebut impotence. Beda di ring, beda di
ranjang. Dalam beberapa adegan, Jake seringkali terlihat menolak berhubungan
intim dengan istrinya, Vikki. Kelemahan Jake yang kontras dengan gelar juaranya
tersebut lantas membuat Vikki seringkali keluar malam sehingga kembali membuat
kecemburuan pada Jake. Tidak hanya itu, kekontrasan karakter Jake ini juga
ditampilkan sebanyak dua kali lewat adegan ia menangis karena kalah dari Sugar
Ray Robinson (Johnny Barnes) dan saat dipenjara. Karakter Jake yang saling
berseberangan ini menjadi daya pikat tersendiri dalam film ini, bagaimana
seseorang yang dikenal dengan amukan bagai banteng ini justru memiliki sisi yang
tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
“Raging Bull” juga bercerita mengenai ambisi.
Ambisi seorang Jake La Motta yang ingin meraih gelar juara di kelas menengah,
hingga ambisinya untuk menjadi ‘boss’. Ya, menjadi boss, karena Jake tipikal
orang yang tidak mau diatur atau bekerja sama dengan orang luar. Padahal, dalam
dunia tinju, seorang ‘bintang’ ring dapat bersinar dengan menggandeng
orang-orang berpengaruh, seperti boss mafia contohnya. ‘Ambisi’ tersebut juga
berlaku bagi Scorsese. Sebab, “Raging Bull” ini sering disebut sebagai film
terambisiusnya, meski sempat menolak membuatnya. Ambisi besar Scorsese dalam
pembuatan “Raging Bull” ini juga merupakan penyelamatan karirnya ketika
masa-masa frustrasi di awal 80-an akibat perceraiannya dan kecanduan obat-obat
terlarang. Pengakuannya ini juga ia sampaikan dalam film dokumenter dari
kritikus film Roger Ebert, Life itself (2014).
Kesuksesan “Raging Bull” terletak pada
banyak aspek, seperti akting luar biasa dari Robert De Niro hingga membuatnya
harus rela menambah bobotnya sampai 27 kg. Dampingan langsung dari “Jake La
Motta” juga menambah kemampuan De Niro lebih maksimal lagi ketika harus
berakting sebagai petinju profesional. Joey Pesci yang sebelumnya adalah aktor
kurang terkenal, mulai terangkat pula lewat film ini. Tidak salah bila kemudian
Scorsese sering mengajaknya bermain dalam film-filmnya. Meski sempat
berganti-ganti penulis naskah, tapi naskah versi Paul Schradder (penulis naskah
Taxi Driver, 1976) yang begitu ‘bertenaga’ dan berani dalam menghidupkan si
banteng ring ini. Walau berisikan konten X-rated lewat kekerasan secara
eksplisit dan kata-kata kotor, “Raging Bull” adalah bukti ‘keindahan’ sebuah
karya biopic yang mungkin sulit untuk
ditandingi. Keindahan lewat cara bertutur, visual, dan performa yang apik. Sebagai
tambahan, jangan lupa dengan cameo
dari Scorsese yang muncul di menit-menit akhir.
9 / 10
Ane udah tautkan blog ente, gan. Salam kenal juga, wismacinema.blogspot.com
BalasHapusSalam kenal juga. OK udah masuk...
BalasHapus