Terkadang,
menampilkan adegan kekerasan dengan tingkat ultra
violence, cukup efektif untuk memaparkan kebutuhan cerita dalam sebuah
film. Sebut saja film-film Quentin Tarantino yang tidak pernah lepas dari
adegan kekerasan yang mengumbar percikan darah di mana-mana. Hal itu tidak
lantas membuatnya menjadi kekerasan yang kosong tanpa arti. Justru dari situlah
Tarantino bercerita melalui kekerasan yang ditampilkan dengan begitu elegan.
Pun begitu dengan film dari Brazil ini, ultra
violence yang memenuhi sepanjang durasinya berlangsung, menjadi cara
bertutur yang lebih dari sekedar dialog biasa.
Bersettingkan
sebuah kota bernama Cidade de Deus/Kota Tuhan yang penuh dengan tindak kriminal
yang tinggi. Tersebutlah gang amatiran yang menyebut diri mereka Tender Trio,
terdiri dari Cabeleira, Alicate, dan Marreco. Dalam sebuah insiden yang diotaki
oleh Zé
Pequeno, mereka bertiga harus berurusan dengan polisi serta membuat gang
tersebut bercerai berai. Zé Pequeno dewasa (Leandro Firmino) kemudian menggantikan
posisi Tender Trio sebagai pemimpin dari Kota Tuhan bersama Bené
(Phelippe Haagensen), adik dari Cabeleira yang sebelumnya tewas ditembak polisi.
Adik
dari Marreco yang bermimpi menjadi seorang reporter, Buscapé
(Alexandre Rodrigues) mencoba untuk membalaskan dendam pada Zé
Pequeno yang telah membunuh kakaknya, tapi sayangnya ia tidak berani melakukannya.
Buscapé
berteman dengan salah satu penguasa Kota Tuhan yang juga menjadi saingan dalam
bisnis narkoba dengan Zé Pequeno, dia adalah Sandro Cenoura (Matheus
Nachtergaele). Zé Pequeno sangat berambisi untuk menguasai Kota Tuhan dan
menghancurkan bisnis Cenoura. Perang antar 2 kubu ini tidak terelakkan. Buscapé
kemudian memanfaatkan momen tersebut sebagai jalan untuk meniti karirnya di
bidang jurnalistik.
Kota
Tuhan digambarkan sebagai kota yang kumuh dan sangat padat penduduk. Para
gangster menguasai kota tersebut dengan bebas berjualan obat-obatan terlarang.
Perampokan oleh para gangster pun sudah menjadi hal yang lumrah. Tender Trio
hanyalah bagian kecil dari gang yang menguasai kota tersebut. Karena
sepeninggal mereka, muncul pula gang-gang baru yang menjadi penguasa dari Kota
Tuhan. Salah satunya yang terkuat adalah Zé Pequeno, yang begitu
berambisi menguasai Kota Tuhan berikut bisnis narkoba yang ia jalankan. Satu
persatu gang yang menjadi penguasa di Kota Tuhan berhasil ia bumi hanguskan,
hingga menyisakan satu gang yang kelak menjadi musuh bebuyutannya.
City
of God bercerita mengenai siklus kejahatan berwujud gangster yang tiada
hentinya muncul. Terus berputar bagaikan sebuah roda. Jika satu gang saja
berakhir, maka gang-gang yang lain akan tetap terus bermunculan. Pihak berwajib
pun sudah bukan lawan tandingnya. Bahkan, beberapa oknumnya saja juga mengais
rejeki dari para gangster tersebut. Wajar saja jika melihat latar belakang dari
warga Kota Tuhan yang notabene bukan orang-orang dari golongan berada,
pendidikan mereka pun juga bisa dikatakan tidak tinggi. Faktor-faktor tersebut kuat
dugaan yang menjadikan anak-anak di Kota Tuhan begitu leluasanya dalam akses
penggunaan senjata api dan terbiasa dengan kekerasan yang dibentuk oleh
lingkungan yang keras itu.
City
of God diadaptasi dari kisah nyata yang benar-benar terjadi di Brazil. Beberapa
foto asli para gangster dan juga footage-nya
ditampilkan pula pada closing credit,
yang semakin menegaskan bahwa peperangan besar antar gang ini memang nyata
terjadi. City of God diceritakan melalui sudut pandang Buscapé, yang
kita lihat mungkin segelintir dari ‘orang lurus’ di Kota Tuhan. Pada kenyataannya
memang Buscapé sering ditampilkan mengkonsumsi ganja, tapi setidaknya ia
memiliki pandangan yang berbeda dengan anak-anak seumurannya yang lebih memilih
menjadi anggota gang. Buscapé memiliki impian yang jelas di masa depan, dan
itulah yang menjadikannya berbeda dengan lainnya. Ada juga momen-momen lucu dari
keputusasaan Buscapé yang membuatnya ingin merampok bus, hanya saja ia urungkan
karena tidak tega dengan si kondektur yang baik hati. Berkali-kali Buscapé mencoba
merampok dengan berbagai cara, tapi semua kembali dengan tangan hampa karena
perasaaan ibanya. Jika dilihat-lihat lagi, ia memang sangat tidak cocok menjadi
seorang perampok.
Adegan
kekerasan tingkat ultra violence yang
tersaji di City of God ini bagi saya bukanlah sekedar omong kosong tidak
berotak. Memang, dengan mudahnya seseorang menembak orang lain hingga mati
ditampilkan begitu nyata di sini. Akting para cast-nya yang natural pun juga semakin menambah yakin. Tapi, semua
adegan kekerasan tersebut ditampilkan begitu apiknya sebagai cara pengungkapan
unsur kekerasan yang tidak bisa dijelaskan lewat sebuah kata dalam dialog saja.
Sangat efektif sekali. Biadab, tapi juga indah. Sebagai penyeimbang, tidak lupa
diselipkan pula unsur komedi meski dengan dosis yang tidak banyak.
City
of God tidak berakhir dengan cerita di mana para gangster berhasil ditumpas dan
kedamaian tercipta. Tidak, tidak seperti itu. Apa yang terjadi di City of God
merupakan sebuah realita, di mana kejahatan dengan wujud gangster akan tetap
terus ada dan muncul di tiap generasinya. Mereka tidak akan pernah berakhir,
karena mereka sendiri merupakan bagian dari sebuah perputaran yang tiada hentinya.
Kebencian dan dendam yang ditimbulkan oleh pihak lain akan tetap terus tumbuh
dan menjalar, sehingga lahirlah para gangster-gangster baru berikut para
pemimpinnya yang berlomba-lomba mengisi posisi tertinggi di sebuah tatanan.
ATAU
9,5 / 10
City of god quentin tarantino fil-film cabeleira chan
BalasHapus