<Mungkin Mengandung Spoiler>
Pertama
kalinya saya menonton Santa Sangre, saya sudah merasa bahwa ini adalah film
yang superb. Lalu kali kedua saya
menontonnya, penilaian saya masih tidak berubah kalau film horror yang satu ini
benar-benar luar biasa dan berbeda dengan horror pada umumnya. Penuh visual arts yang indah, surrealism, dan pesan moral yang mengena.
Tidak mudah sebenarnya bagi saya sendiri untuk memahami secara keseluruhan apa
yang dihadirkan oleh Alejandro Jodorowsky pada film ini. Tapi setidaknya, saya sedikit
mengetahui bahwa Santa Sangre ini bercerita mengenai usaha manusia dalam
melepaskan diri dari belenggu evil yang
telah menguasai physical dan psychic.
Cerita
berkisah tentang pesulap cilik, Fenix (Adan Jodorowsky) yang lahir dan besar di
keluarga sirkus bernama El Gran Orgo. Ayahnya, Orgo (Guy Stockwell) yang
menjadi pimpinannya, seorang knife-thrower,
sedangkan ibunya, Concha (Blanca Guerra) seorang trapeze artist dan pemimpin sekte bernama Santa Sangre (Holy Blood).
Kuil pemujaannya pada Lirio (patung gadis tanpa tangan) kemudian dihancurkan
oleh warga yang tidak terima dengan ‘kesesatan’ yang disebarkannya. Concha
semakin hancur lagi tatkala melihat suaminya berselingkuh dengan The Tattooed
Woman (Thelma Tixou) yang merupakan objek/partner Orgo dalam lempar pisau. The Tattooed
Woman memiliki anak angkat seumuran Fenix bernama Alma (Faviola Elenka Tapia)
yang menjadi penghibur bagi kesedihan yang dialami oleh Fenix.
Perselingkuhan
Orgo pada The Tattooed Woman semakin menjadi-jadi, Concha pun tidak tinggal
diam. Ia siramkan sulphuric acid pada
mereka berdua. Orgo yang geram, memotong kedua tangan Concha (seperti Lirio
yang menjadi saint pujaannya). Tak berapa
lama, Orgo pun mengakhiri hidupnya sendiri dengan cara yang tragis. Fenix hanya
bisa melihatnya dari dalam trailer, karena sebelumnya ia dikunci dari luar oleh
ibunya. Lalu, The Tattooed Woman membawa pergi Alma tanpa menolong mengeluarkan
Fenix. Bertahun-tahun kemudian, Fenix yang sudah dewasa (Axel Jodorowsky)
mengalami gangguan kejiwaan dan dirawat di sebuah mental asylum. Suatu ketika, kesadarannya kembali pulih (dengan
alasan khusus) dan ia kemudian melarikan diri dari mental asylum tersebut setelah mendapat panggilan dari ibunya. Fenix
pun kemudian menjadi sebuah ‘alat’ untuk melampiaskan segala dendam ibunya.
Santa
Sangre bercerita banyak melalui gerak, musik, dan suasana, daripada naratif. Unsur
fantasi dan wicked comedy-nya begitu
kental terasa di beberapa bagian, seperti dalam beberapa adegan tragic yang ditampilkan, justru menjadi
sebuah pemandangan yang tidak biasa ketika musik band ala Meksiko bermain di
sekitarnya. Beberapa karakternya juga tampil absurd, unusual, dan odd-looking. Sebagai film surealis
dengan penggabungan art yang tinggi (avant-garde), Sante Sangre tampil begitu
indah, menawan, misterius, tapi juga dark.
Sentuhan koreografi antara Axel Jodorowsky dengan Blanca Guerra menjadi sebuah
sajian yang sangat indah sekali untuk dilihat, serasi dan juga dinamis. Dari aspek
visual, sepertinya saya sudah banyak sekali memberikan pujian pada film ini. Tidak
bermaksud membesar-besarkan, memang itulah yang saya rasakan pada aspek visual
dalam Santa Sangre ini. Kelebihan dalam aspek visual itu juga berjalan seimbang
dengan cerita yang dihadirkan dengan sangat kuat dan ber-’energi’.
Meski
bergenre horror, tapi Santa Sangre berbeda dengan horror pada umumnya. Tanpa jump scare, tanpa figur hantu yang
menyeramkan, dan tanpa menampilkan kegiatan exorcise
sekalipun. Kesan horror yang diperkuat dalam Santa Sangre lebih merupakan metafora
berupa evil/kejahatan yang dilakukan
oleh manusia di luar dari akal sehatnya. Kebanyakan, manusia sering melakukan
kejahatan tanpa tahu apa yang melandasi mereka berbuat demikian. Di sini, Fenix
berperan sebagai ‘tangan’ dari ibunya untuk membalaskan setiap dendamnya.
Korban pertamanya adalah The Tattooed Woman, dan berlanjut pada wanita-wanita
yang sebagian besar menjadi ‘penggoda’. Di awal kita akan melihat bahwa Fenix
begitu tak kuasanya menahan tangannya untuk membunuh, sesuai dengan perintah
ibunya. Dalam hal sehari-haripun, kedua tangan Fenix juga sebagai pengganti
tangan ibunya dalam melakukan setiap kegiatan. Concha, merupakan simbol evil yang selalu memerintahkan manusia
dalam berbuat kejahatan, meski dalam benak mencoba keras untuk menolak. Dan pada
akhirnya, manusia diberikan 2 pilihan, antara menuruti sifat evil tersebut atau berusaha dengan kuat
untuk melawannya.
Alejandro
Jodorowsky memberikan twist ending
yang cukup mengagetkan, dimana Fenix akhirnya menghadapi kenyataan bahwa sosok ibu
yang selama ini bersamanya tidak lain adalah boneka ventriloquist dengan bentuk yang menyerupai ibunya. Lalu, apa yang
sebenarnya terjadi ?. Bisa dikatakan, bahwa sebenarnya kejiwaan milik Fenix
masihlah belum sembuh dengan sempurna. Ingatan masa lalunya terhadap kematian
ibunya (ibunya memang sudah mati setelah kedua tangannya dipotong oleh suaminya),
turut menciptakan sebuah halusinasi tentang sosok ibunya yang kemudian tinggal
bersamanya. Dengan kata lain, ketika Fenix membunuh wanita-wanita tersebut
sebenarnya murni ia lakukan sendiri melalui perintah halusinasinya yang
berwujud ibunya. Sangat beralasan memang mengapa Fenix memilih The Tattooed
Woman sebagai korban pertamanya, karena ia melihatnya sebagai orang yang telah
menghancurkan keluarganya, menyebabkan kedua orangtuanya mati, dan bisnis
sirkus keluarga pun juga hancur.
Musik
dari Simon Boswell menjadi iringan pembuka yang menggebrak dengan menampilkan
seekor elang dengan pandangan yang tajam dan begitu gagahnya saat terbang.
Elang tersebut, bisa jadi merupakan interpretasi dari sosok Fenix yang terbang
bebas dari belenggu evil yang selama
ini merasukinya. Tato elang di dadanya (seperti juga milik ayahnya), semakin
memperkuat simbol kebebasan tersebut. Pertemuannya dengan Alma yang telah
dewasa (Sabrina Dennison) menjadi obat kesedihannya, sama persis saat pertama
kali mereka bertemu ketika Fennix sedih dan Alma yang menjadi penghiburnya. Meski
Santa Sangre banyak menampilkan adegan yang vulgar dan explicit violence, tapi memiliki pesan moral kuat dalam mengajarkan
untuk selalu melawan evil (yang bermacam
rupa), dan bukan dengan mendukungnya atau memujanya. Indah dan klasik, salah satu film horror terbaik
yang pernah saya tonton.
ATAU
9,5 / 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO KITA DISKUSIKAN !