Saya telah membuang waktu berharga selama 83 menit dengan menonton film ini. Berharap
mendapat sajian istimewa dengan ‘perkawinan’ dua genre kontras, sci-fi dan
horror, yang saya dapat justru adalah
sajian yang payah, membosankan, dan mudah ditebak. Harapan saya tidaklah
muluk-muluk sebenarnya, cukup film yang ringan, tidak harus berlabel “sangat
bagus”, asalkan tidak membosankan. Tapi, The Lazarus Effect telah membuktikan
diri sebagai film yang super jauh
dari kata “sangat bagus”. Berharap melupakannya ?, tentu!.
Sepasang ilmuwan yang juga menjalin kasih, Frank (Mark Duplass) dan Zoe
(Olivia Wilde) membuat percobaan untuk menghidupkan kembali anjing dari kematian.
Bersama dengan 2 asistennya, Clay (Evan Peters) dan Niko (Donald Glover) serta
Eva (Sarah Bolger) yang bertugas merekam, mereka sukses menghidupkan kembali
anjing yang telah mati. Tapi masalahnya, anjing tersebut menjadi liar dan tidak
terkontrol. Suatu ketika, insiden terjadi pada laboratorium tempat mereka
bekerja, hingga memaksa untuk menghidupkan kembali salah satu dari mereka yang sudah
mati.
Ada berapa kira-kira film dengan main
character seorang pasangan suami istri / kekasih yang menjadi ilmuwan /
peneliti ?. Jawabannya adalah sangat banyak sekali. Ada berapa film tentang
eksperimen yang second act-nya berupa
kekacauan dan kegagalan dalam eksperimen ?. Jawabannya juga ada sangat banyak, dan
sangat klise sekali. Begitulah kiranya yang ada pada film ini. Kesan klise
semakin menjadi jadi ketika pasangan ilmuwan tersebut, Frank dan Zoe menunda
menikah karena projek yang mereka kerjakan. Masalah pendanaan yang dicabut juga
menjadi bagian klise yang ‘wajib’ ada pada film bertemakan projek-eksperimen. Segala
unsur klise tersebut ternyata belum cukup untuk mendeskripsikan betapa payahnya
film ini.
Kesalahan yang parah di sini salah satunya adalah menyia-nyiakan cast yang talented, Olivia Wilde dan Evan Peters. Lihat saja Evan Peters yang
cool sebagai Quicksilver di X-Men :
Days of Future Past (2014), di sini dia tidak lain hanyalah mahasiswa yang
berakhir mengenaskan setelah tersedak rokok elektrik. Konyol dan kacangan. Satu
hal yang membuat Evan Peters terlihat lucu di sini adalah saat ia mengenakan
kaos bergambar The Flash (saingannya) pada salah satu scene (tertawa geli). Lucu tapi juga ironis, saya pernah tidak
tertawa di film komedi, tapi mengapa saya justru malah tertawa di film sci-fi horror ini ?. Apa yang saya
tertawakan tentu saja bagian fail
dari film ini. Parahnya, point of view
yang sangat mudah ditebak juga ditampilkan terus menerus, sehingga membuat film
arahan David Gelb ini terasa seperti B
movie, menyesakkan.
Jika disebut sebagai film ‘sampah’ sebenarnya tidak juga. Dalam beberapa
aspek, The Lazarus Effect masih memiliki hal yang patut untuk dimaafkan. Bahkan
di bagian mendekati klimaksnya, David Gelb mencoba untuk memberikan sedikit twist, dan cukup ampuh
untuk membuat saya betah mengikuti sampai akhir. Apakah itu membuatnya sedikit
lebih baik ?. Ya, setidaknya kata ‘sampah’ tidak sampai tersematkan pada film
ini. Dahulu saya sering mengatakan pada teman saya bahwa ada beberapa tipikal
film yang sangat cocok untuk ditonton ketika insomnia. Contohnya, film-film ringan/kacangan yang tidak perlu
banyak menguras otak untuk menontonnya, dapat menyebabkan kebosanan dengan
cepat, dan yang terakhir ampuh menciptakan rasa kantuk. The Lazarus Effect bisa
dibilang salah satu dari film tersebut.
Sesuai dengan judulnya, The Lazarus Effect bercerita mengenai efek yang
diakibatkan setelah dihidupkannya makhluk yang sudah mati melalui sebuah
eksperimen yang disebut Lazarus Project.
Lazarus diambil dari nama tokoh dalam perjanjian baru yang berhasil dihidupkan
kembali oleh Nabi Isa. Tahu apa efek yang dihasilkan dari Lazarus Project ?, yaitu pemaksimalan 90% kemampuan otak. Dengan
begitu, makhluk yang dibangkitkan kembali melalui Lazarus Project akan memiliki kemampuan super semacam telekinesis atau dapat membaca pikiran.
Apa !? Terdengar seperti Lucy (2014) ?, atau memang David Gelb, berencana
membuat copycat-nya untuk mengulangi
kekonyolan dari Lucy ?. Saran dari saya, mengapa tidak sekalian saja meng-crossover-kannya dengan Lucy, dengan
begitu maka terciptalah ‘kekacauan’ yang lebih besar lagi, better ?.
ATAU
3,5 / 10
baru tengok tadi... buleh la
BalasHapusFilm dengan inti cerita menghidupkan orang mati, sudah banyak dibuat, dengan ending yang selalu sama, yaitu selalu saja yang dihidupkan menjadi jahat. Dan memang mudah ditebak ke arah mana penonton digiring. Cenderung membosankan? Belum tentu. Unsur 'twist' atau kejutan menjadi kuncinya. Kalau pandai meramunya dengan kejutan kejutan yang diselipkan dalam bagian film, mungkin akan menjadi film yang tidak membosankan. Banyak contoh, misalnya Pet Sematarynya Stephen King atau yang lebih tegang lagi Re-Aminator.
BalasHapusSorry, maksudnya Re Animator
BalasHapusAsik kok filmnya.
BalasHapusMalah saya berharap ada bagian ke 2 nya.
Justru komentar kamu yang bikin bete
bagus kok
BalasHapusbagus kok
BalasHapus