Menciptakan alam khayalan yang megah,
tidak perlu dengan bujet tinggi dalam sebuah film. Setidaknya hal itu yang
dilakukan oleh Apichatpong Weerasathakul dalam film ini. Dari production value, “Cemetery of Splendour”
memang terlihat glossy. Walau dengan keterbatasan
dan kesederhanannya, Apichatpong Weerasathakul berhasil menciptakan semesta
tanpa batas.
Membicarakan production value dalam film, memang tidak selamanya berjalan satu
arah. Dengan biaya minim, tidak selalu menghasilkan film yang berkualitas rendah
pula. “Cemetery of Splendour” berhasil menarik saya jauh ke dalam dunia yang
disuguhkannya. Membuat saya seolah tengah berada di suatu dimensi lain yang
penuh dengan keterasingan namun menenangkan. Mengejutkan. Inikah dampak dari
sebuah film yang sederhana ini?
“Cemetery of Splendour” berpusat pada
fenomena misterius yang menyebabkan para tentara mengalami gangguan tidur.
Bukan sembarang tidur, mereka seolah berhibernasi. Para tentara tersebut
ditempatkan dalam rumah sakit yang dibangun dari bekas bangunan sekolah.
Seorang wanita paruh baya bernama
Jenjira (Jenjira Pongpas), mengabadikan waktunya merawat salah seorang tentara.
Itt (Banlop Lonmoi) namanya. Tanpa sanak keluarga yang mengunjunginya, bangkitlah
rasa iba Jen—sapaan akrab Jenjira.
Jen mengalami masalah pada
kakinya—bagian kanan lebih panjang dari kiri. Hal itu membuatnya harus memakai
penyangga ketika berjalan. Suaminya berasal dari Amerika, pensiunan tentara. Mengunjungi
bekas sekolah tersebut seolah mengembalikan kenangan masa lalunya. Dahulu ia
bersekolah di sana. Dalam salah satu adegan, Jen bercerita jika sering
mengantuk saat sekolah dulu. Mungkinkah ada hubungannya dengan epidemik itu?
Sembari merawat Itt—yang kemudian
diakui sebaga putranya, Jen akrab pula dengan Keng (Jarinpatra Rueangram),
seorang wanita yang disebut memiliki indera keenam. Keng dapat meramal, melihat
masa lalu seseorang, dan hal-hal lain semacamnya. Di rumah sakit itu, kemampuan
Keng dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan roh para tentara yang tengah
tertidur pulas.
Apichatpong Weerasathakul selaku
penulis naskah juga, banyak memasukkan isu dan kultural di Thailand ke dalam
film ini. Ia juga menuturkannya secara subtle,
membuat “Cemetery of Splendour” semakin kaya akan aspek misterinya. Namun film
ini bukan mencari mengenai sebab musabab fenomena tidur masal itu. Akan tetapi,
film ini berusaha menyelami sisi lainnya. Tentu, lebih pada arah fantasi.
Kultur Thailand memiliki cukup
kedekatan dengan Indonesia. Keduanya masih kental diliputi kepercayaan soal
mistis. Bagi kedua masyarakat ini, meramal atau menjadi media dari makhluk alam
lain adalah hal yang lumrah. Apichatpong Weerasathakul menggunakan karakter
Keng untuk mewakili cara berfikir sebagian besar masyarakat Thailand, yang
terkadang masih irasional.
Kita tidak tahu apakah Keng
benar-benar memiliki kemampuan tersebut. Sebab sang sutradara memang tidak
menginginkan kita untuk memikirkannya. Tapi apa yang harus kita lakukan adalah
mengamati interaksi antar karakter di sini. Mereka percaya dengan kekuatan Keng.
Mereka percaya akan kekuatan dari alam lain, termasuk kedatangannya sekali pun
di siang bolong. Dari situlah kita akan memahami bagaimana pola pikir
masyarakat sana, serta tanggapan dari sesamanya.
Sempat sadar dari tidur, Itt dan Jen
menghabiskan waktu bersama. Mereka berdua di dalam bioskop, layar di depan
menampilkan trailer film horror. Ini adalah adegan yang menarik
atensi saya. Lagi-lagi, kita bicara kultur di sini. Yang mana?
Kepercayaan tinggi orang Thailand pada
hal-hal gaib, memang mendorong mereka dalam hal serupa di industri perfilman.
Thailand dikenal sangat getol dalam memroduksi film/serial tv berbau horror. Begitu pun Indonesia—kita semua
tahu itu. Film horror adalah
komoditas di sana, selain drama remaja. Ini adalah sekelumit contoh bagaimana
isu dan kultural ditanamkan dalam “Cemetery of Splendour.”
Dari semuanya, saya paling menyukai
sekuen ketika Jen dan Itt (dengan tubuh Keng), melakukan semacam perjalanan
spiritual. Mereka berjalan-jalan di rerimbunan pohon, dimana dalam masa lalu
serta dimensi lain, adalah sebuah istana. Sekuen ini sangat menarik, karena
Apichatpong Weerasathakul tidak menampilkannya dengan dua sudut pandang. Oleh
karena itu, kita seakan diajak untuk bermain dengan imajinasi dalam mewujudkan
narasinya.
“Cemetery of Splendour” adalah arthouse dengan penggunaan steady-cam. Temponya sangat lambat;
bukan jenis film yang mungkin membuat Anda duduk anteng. Film ini mengajak kita
menggali setiap potensi yang tertuang dalam setiap aspek di sekitar kita. Menghayati,
memahami, dan belajar mencintainya. Tidak mudah mengikutinya, tapi “Cemetery of
Splendour” mampu menuntun kita perlahan.
Dalam Website Poker Vita menyediakan games seperti Texas Poker, Capsa Susun, Bandar Poker, Domino QQ, Adu Q, dan Bandar Q.
BalasHapusBanyak masyarakat Indonesia telah mengenal permainan judi online dari berbagai server perjudian online
Informasi Lebih Lanjut:
Bbm : D88B0154
Whatsapp : +62 812-222-2996
|lINK KAMI di : POKERVITA.LIVE
makasih kak abis baca ini saya jadi mau nonton
BalasHapusakibat tidak bayar tagihan xl prioritas