Lihat saja judulnya, apa
kira-kira yang bisa ditangkap hanya dari judulnya tersebut ?. Sebuah coming-of-age drama yang terasa depresif
dan cenderung diselipi tearjerker
agar mudah diminati penonton ?. Untung saja filmnya tidak se-depresif judulnya
meski memang ada pemicu sebagai tearjerker,
tapi tidak sampai melodramatic hingga
mengucurkan berliter-liter air mata. “Me and Earl and The Dying Girl” tampil
begitu berwarna dan stylish, dapat
dilihat mulai dari pemilihan filter warnanya, skoring, hingga storytelling yang terasa kekinian. Walau
ada embel-embel kata “dying” di judulnya itu, film yang diadaptasi dari novel berjudul
sama karya Jesse Andrews (juga debut penulis naskah di sini) malahan terasa berenergi
dan bagai penggerak mood khususnya di
bagian musik ambient hasil racikan
Brian Eno yang membuat suasana bagaikan dreamlike.
Siswa tahun terakhir, Greg
(Thomas Mann) seorang canggung yang memilih menjadi bagian dari semua klub di
SMA Schenley agar menjadi “invisible”. Dengan kata lain, itulah satu-satunya
cara agar ia bisa menyatu ke semua golongan di sana dan mendapat posisi ‘aman’.
Bersama dengan Earl (Ronald Cyler II), teman masa kecil yang sering ia sebut
sebagai co-worker, mereka habiskan
waktu luang dengan menonton film-filmnya Werner Herzog hingga membuat puluhan
judul film spoof. Suatu ketika, Greg
mendapat permintaan dari orangtuanya untuk menjadi penghibur duka bagi Rachel
(Olivia Cooke) yang menderita leukemia.
Bersama Earl, Greg berencana membuat film sebagai persembahan manis untuk
Rachel.
Sinopsis di atas tentunya
tidak se-sederhana dari cerita yang ada terutama hubungan yang terjalin antara
Greg dengan Rachel. Mereka berdua merupakan teman masa kanak-kanak yang
mengalami fading seiring berjalan
usia. Greg sendiri mengakui bahwa ia tidak begitu dekat dengan Rachel, namun permintaan
dari orangtuanya membuatnya terjebak dalam situasi yang mengharuskan ia untuk
melakukan sesuatu yang tidak ia inginkan. Apalagi kalau bukan menjadi teman
yang kemudian menjadi pendukung masa-masa berat yang dialami Rachel. Tentu saja
penonton sudah bisa menebak bila pada akhirnya hubungan yang terasa canggung di
awal ini pastinya akan berakhir dekat seiring berjalannya waktu. Atau mungkin
timbulnya hubungan asmara ?. Masih terlalu cepat untuk bicara ke arah tersebut
apalagi hubungan mereka bisa dikatakan cukup ‘rumit’. Kerumitan itu muncul dari
Greg sendiri yang terlihat kesulitan dalam mendeskripsikan arti “teman”, terlihat
juga dari relasinya dengan Earl yang menganggapnya bukan teman, melainkan
‘rekan kerja’.
Daripada melihatnya sebagai
film romansa dengan dying character
semacam “The Fault in Our Stars” (2014), saya lebih menyukainya sebagai coming-of-age drama yang banyak
mengedepankan konflik berupa fase sulit seorang anak muda di masa transisi.
Dengan topik yang lebih luas itu, film arahan Alfonso Gomez-Rejon ini banyak
bicara berbagai hal yang lebih dari sekedar hubungan romansa atau persahabatan
biasa. Apalagi dengan melihat ending-nya,
film ini nampak similar dengan “The
Art of Getting By” (2011) yang dimainkan Freddie Highmore dan Emma Roberts.
Baik itu dari konflik maupun konklusinya cukup banyak mengingatkan saya pada
film tersebut. Kelebihan yang dimiliki oleh “Me and Earl” adalah pada
karakterisasinya yang cukup kaya dan relasi antar karakternya yang unik, bila
tidak ingin disebut rumit. Porsi untuk karakternya khususnya pada trio ini
hadir dengan begitu berimbang namun pada akhirnya saya merasa Earl hanya jadi
pihak penengah saja. Tidak masalah, meski hanya jadi penengah tapi ia termasuk
vital dengan kontribusi besar sehingga tidak berakhir sebagai karakter yang
numpang lewat.
Greg adalah tipikal remaja
yang self-loathing dan quirky. Sifat quirky itu ia tunjukkan pada keakrabannya dengan Earl dan Pak
McCarthy (John Bernthal) dengan lingkup yang paling kecil. Menghabiskan waktu
di ruang Pak McCarthy sembari menikmati film-film klasik terutama karya Werner
Herzog adalah cara terbaik bagi mereka untuk menghabiskan waktu. Salah satu
yang menarik di sepanjang film ini adalah hobi mereka dalam membuat film spoof dari film-film ternama yang pernah
ada, sebut saja “A Sockwork Orange” dari “A Clockwork Orange” (1971) atau “Raging
Bullshit” dari “Raging Bull” (1980). Sebuah hobi yang menarik melihat sifat quirky pada mereka yang tidak menjadi
bagian dari klub manapun di SMA Schenley. Rachel pun tidak kalah menarik. Sebagai
seorang yang akhirnya jatuh pada kanker stadium empat, ia tidak berakhir
sebagai gadis ‘sekarat’ yang mengemis belas kasih dari sesama. Justru ia masih
tampil enerjik dengan mengumbar senyum dan aura bahagia. Bahkan sesekali
menertawakan penyakitnya sebagai bahan lelucon nan kocak.
Nah, bila banyak aura bahagia
dan ceria nampak semerbak di sepanjang film ini, apakah pada akhirnya ia ber-happy ending ?. Ini bukan masalah
bagaimana film ini diakhiri, melainkan bagaimana ‘proses’ menuju akhir dari
film ini sendiri. Sebuah proses bagaimana seorang Greg mendapati semua jawaban
atas segala kegamangan di masa transisi remaja ke dewasa, yang meliputi masa
lalu, persahabatan, hingga masa depan (hubungan percintaan juga mungkin ?).
Oleh karena itu ditempatkanlah karakter Rachel yang secara halus membantu mengiringi
Greg dalam proses tersebut. Walau Rachel punya andil besar hingga klimaks,
namun bukan berarti Earl kehilangan aksi di sini. Layaknya Rachel yang
membimbing menuju masa dewasa itu, maka peran Earl di sini adalah sebagai
penuntun masa kanak-kanak Greg menuju tahapan remaja. Dengan begitu, maka dua
sosok berharga, “Earl” dan “Dying Girl” inilah yang membantu dalam menapaki
hidup seorang “Me”. Maka esensi dari film ini sudah jelas ada dimana ketimbang
sekedar mempertanyakan happy atau sad di bagian
akhirnya.
7,5 / 10
udah donlot dan nonton thrillernya.. abis baca review ini jadi penasaran..hehe
BalasHapusthank for sharing,, :)
ya mas sama-sama. hehehe bagus bgt filmnya.
BalasHapusfilm ini menang Audience Award sama Grand jury Prize di Sundance Film Festival ^_^
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusHay halo juga,
BalasHapusEmm kalo film Match Point bisa di cari di lapak donlot kok. Masih banyak hehehe
menang banyak awards nih film, cinematographynya keren
BalasHapus